Revitalisasi Tugu Malang akhirnya rampung. Proyek yang berjalan dari Juni dan baru rampung bulan ini berjalan sesuai rencana. Meski begitu, revitalisasi ini justru menuai banyak kritik.
Pasalnya, revitalisasi Tugu ini terkesan tidak punya maksud. Tugu, yang sejatinya landmark, harusnya bisa memberi pandangan jelas kepada tiap orang yang memandangnya. Pandangan yang dimaksud ya identitas kota di mana tugu tersebut berdiri.
Masalahnya, Tugu Malang ini tak memberi gambaran jelas identitas Malang.
Daftar Isi
Jati diri Kota Malang
Banyak kota mengaku punya seribu julukan, dan saya rasa, Malang bolehlah ikut mendaku diri sebagai kota yang punya banyak julukan.
Sebagai contoh, Malang kerap dianggap sebagai Kota Pendidikan (meski harus bersaing keras dengan Jogja, tentu saja). Malang pun kerap dijuluki Kota Bunga. Setelah itu, ikatan sejarah antara Belanda dan Malang bisa bikin kota ini dianggap sebagai Belanda Kecil atau apalah itu.
Nah, sebutan itulah yang bikin Tugu Malang jadi bermasalah.
Tugu Malang, tak menggambarkan satu pun hal yang ada di atas. Padahal misal Tugu tersebut diberi corak khas dari salah satu hal di atas, bisa memberi gambaran jelas akan apa sejatinya jati diri Kota Ngalam ini.
Baca halaman selanjutnya: Wajah baru Tugu Malang setelah direvitalisasi…
Wajah baru Tugu Malang setelah direvitalisasi
Wajah baru dari Tugu Malang terlihat pada pembongkaran pagar luar yang digantikan dengan track dan tempat duduk yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Kemudian juga terdapat penataan ulang taman, penambahan lampu perpaduan warna hijau dan kuning ciri khas Malioboro. Selain itu, ada pembenahan air mancur serta pengecatan pagar dalam.
Bisa dibilang kini Tugu Malang lebih bebas karena tak lagi terkesan terpisah dari sekelilingnya. Masyarakat bisa dengan leluasa ada di daerah Tugu tersebut.
Wait a minute, lampu ala Malioboro?
Inilah yang jadi kritikan keras. Perkara mirip Malioboro ini, sebenarnya sudah kerap dibahas di Terminal Mojok. Tapi rasanya kok kurang mantep kalau tak dibahas.
Begini lho. Kota Malang itu sebenarnya sudah punya corak Belanda yang kuat. Nuansa heritage-nya ya itu. Makanya, jadi lucu kalau Tugu Malang justru punya unsur Malioboro yang jelas Jogja banget. Pun, Malioboro itu punya filosofi tersendiri, yang jelas nggak bisa ditiru secara ugal-ugalan.
Semua gara-gara Kayutangan
Saya kok curiga ini semua gara-gara revitalisasi Kayutangan. Nggak perlu jadi jenius untuk bilang bahwa Kayutangan memang berusaha disulap jadi Malioboronya Malang. Sekarang, Tugu Malang ikut-ikutan kena sikat.
Males mengulang lagi sebenarnya, tapi kenapa sih harus ikut-ikut Malioboro? Filosofinya jelas tak bisa ditiru secara serampangan. Malioboro itu bukan jadi Malioboro karena lampunya, tapi sejarah panjang. Nah, Kayutangan, atau Malang pada umumnya, kan punya sejarah sendiri. Napa malah nyomot dari provinsi sebelah dah?
Ya memang sih berhasil. Keliatan jadi makin ramai, tapi tetap saja ganjil.
Entah mau dibawa ke mana jati diri Kota Malang, kini yang bisa dilakukan adalah menikmati hasil yang ada. Tugu Malang sudah berubah, dan yang kita bisa lakukan ya—apalagi kalau bukan—mengapresiasi. Meski itu harus kita lakukan sembari garuk-garuk kepala.
Penulis: Rindra Afrizqi Anugrah Sukmana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kenapa Malang Terkesan Ingin Menjadi Jogja?