Renovasi trotoar secara masif kini banyak dilakukan di Jakarta. Hampir di setiap kawasan di Jakarta kini bisa dengan mudah menemukan proyek renovasi trotoar. Dari sekian banyak proyek trotoar yang sedang berjalan, ada beberapa yang disertai pelebaran yang dampaknya ke penyempitan luas jalan. Pelebaran trotoar disertai penyempitan jalan menimbulkan kemarahan untuk sebagian warga. Sumpah serapah langsung diarahkan pada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sebenarnya tak sulit untuk mengidentifikasi kalangan yang marah alias nyinyir terhadap trotoar lebar ini. Tanpa perlu mendata lewat lembaga survei, biasanya mereka adalah pendukung fanatik dari gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias Anies Haters.
Banyak Ahokers yang marah dengan cara pelebaran trotoar yang disertai dengan pengurangan lebar jalan ini. Tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Jika mau sedikit repot Googling tentang rencana pelebaran ini di Jakarta, tentu disertai tambahan kata “Ahok” dan kata “Eropa”, maka sebenarnya kita dapat dengan mudah menemukan begitu banyak pemberitaan bahwa trotoar lebar adalah suatu yang sebenarnya dicita-citakan oleh Ahok.
Dalam berita berjudul “Ahok Ingin Lebarkan Trotoar Ketimbang Perluas Jalan di Jakarta”, Ahok sempat mengatakan bahwa pihaknya memutuskan untuk lebih memperlebar trotoar ketimbang menambah rasio jalan. Karena jika terus menambah rasio jalan tanpa memperbaiki transportasi umum, maka tidak akan berpengaruh. Mengingat pertumbuhan kendaraan pribadi juga cukup banyak.
Sebaliknya, kalau trotoar lebar, maka akan membuat orang nyaman untuk berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum. Tujuannya tentu mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian kendaraan pribadi. Saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI, Ahok bahkan sempat mengatakan semua trotoar di Ibu Kota setidaknya harus memiliki ruas 1,5 hingga 5 meter.
“Makanya Eropa justru rasio jalan dikurangi. Mereka mulai melebarkan trotoar, jadi yang kami utamakan adalah rasio untuk pejalan kaki,” kata Ahok seperti dikutip dari berita yang tayang di Merdeka.com pada 23 September 2016.
Dalam berita lain berjudul “Mimpi Ahok Jadikan Sudirman-Thamrin Layaknya Jalanan di Eropa”, Ahok sempat angkat bicara mengenai pelebaran trotoar di Sudirman-Thamrin yang disertai penghilangan ruas untuk jalur lambat. Ahok menilai penghilangan satu jalur bukan hal yang patut dipermasalahkan. Ia kemudian mencontohkan jalanan di kota-kota Eropa yang hanya memiliki satu jalur, tapi memiliki jalan bagi pejalan kaki yang lebar.
Menurut Ahok, semua ide dari rencananya itu berawal dari kunjungannya ke Belanda. Saat itu, ia mengamati jalan-jalan utama di Belanda tidak terlalu lebar, namun memiliki trotoar luas. Di sepanjang trotoar itu, terdapat kafe-kafe kecil untuk tempat hangout warga.
Ahok tidak khawatir pengurangan lajur akan menyebabkan kemacetan. Karena ia meyakini mengatasi kemacetan di Ibu Kota haruslah dengan memperbaiki dan membangun transportasi massal. Bukan dengan terus menerus menambah rasio jalan. Jalan Sudirman-Thamrin adalah salah satu kawasan yang dilewati layanan transportasi publik Mass Rapid Transit (MRT). Saat ini di kawasan tersebut juga sudah terdapat layanan bus transjakarta koridor 1.
“Kami sudah putuskan untuk mengatasi transportasi umum di Jakarta bukan menambah rasio jalan. Kami juga mau mengurangi jalur-jalur jalan,” Ahok dalam berita yang tayang di Kompas.com pada 17 Oktober 2016.
Pada masa lalu, Jakarta adalah kota yang sangat berorientasi dan sangat mendewakan pengguna kendaraan pribadi. Untuk mengatasi macet, maka jalannya yang dilebarin, trotoarnya kecil bodo amat. Jadi nggak heran makin lama Jakarta makin macet.
Pada masa lalu juga, trotoar Jakarta dibikin nggak mempedulikan keberadaan orang tuna netra ataupun pengguna kursi roda. Akibatnya sering kan lihat ada pohon atau tiang listrik di tengah trotoar. Bayangin, gimana caranya pengguna kursi roda lewat di trotoar yang ada pohon di tengahnya? Masa iya harus turun ke jalan dulu?
Kondisi itulah yang sekarang mau diubah. Apalagi sekarang pemerintah lagi giat-giatnya menyediakan transportasi umum yang bagus. Nah, keberadaan transportasi umum yang bagus ini sangat berkaitan erat dengan trotoar yang nyaman. Karena gimana caranya kamu turun dari kereta atau bus yang bagus, tapi trotoarnya nggak nyaman buat dipakai jalan kaki?
Jadi terlepas dari apa pun pilihan politik kamu di Pilkada DKI 2017, tidak seharusnya kamu jadi haters yang nyinyirin apa pun yang dilakukan pejabat yang bukan pilihan kamu, termasuk kebijakan baik kayak pelebaran trotoar ini.
Jadi ya sudah lah. Jangan menjadi pendukung yang fanatik buta sampai akhirnya benar-benar buta dalam melihat kebenaran. Bergabungnya Jokowi dan Prabowo setelah Pilpres 2019 harusnya menjadi pelajaran bagi kita agar jangan terlalu fanatik buta. Karena bisa jadi politisi yang kita dukung ataupun benci nantinya malah jadi temenan.
BACA JUGA Gugatan Seorang Pedestrian Kepada Pengendara Motor yang Sembrono atau tulisan Sadad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.