Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Kabupaten Trenggalek, semua tentang kabupaten ini menjadi sangat penting bagi saya. Mulai dari yang remeh temeh seperti kuliner, pariwisata, manusia, kenangan picisan sampai kebijakan pemerintah daerah yang seringnya kontroversial dan tak berpihak kepada masyarakat kecil selalu menjadi perhatian saya.
Trenggalek pernah punya slogan baru. Sebenarnya slogan ini hasil kreasi pemda, tapi kok tanpa ada woro-woro sebelumnya, tiba-tiba slogan itu sudah mengganti slogan yang ada sebelumnya?
Pas bupatinya Emil Dardak (betul, mas ganteng yang sekarang jadi wagub Jatim) Trenggalek punya slogan Trenggalek Southren Paradise. Saya merasa slogan ini bisa merepresentasikan Kabupaten Trenggalek yang memang seperti surga. Betul, ada banyak surga tersembunyi di sini. Selain punya pantai, Trenggalek juga punya banyak sumber daya alam yang melimpah karena kabupaten ini memiliki lanskap agraris dan maritim yang bikin Trenggalek sangat kaya dari sektor pertanian maupun perikanan/kelautan.
Tapi sekarang, setelah ada bupati baru, Muhammad Nur Arifin—akrab disapa Gus Ipin, Trenggalek jadi punya slogan “Trenggalek Meroket”.
Perubahan slogan ini sebenarnya bikin saya bertanya-tanya, apakah pemimpin daerah memang punya keleluasaan mengganti slogan yang “mewakili” visi dan misi mereka atau tidak.
Soalnya saya jadi punya pikiran yang tidak-tidak karena biasanya kalau ada sesuatu yang diganti, pasti ada dampak yang ditimbulkan. Saya sih merasa tiap kali ganti slogan, artinya warga sedang jadi kelinci percobaan. Tapi ya mungkin saya harus berhusnudzon, menganggap kalau gonta-ganti slogan ini sebagai itikad baik untuk membangun citra masyarakat dan kabupaten yang lebih baik.
Menyoal identitas yang lebih baik, kata sejarah, Trenggalek ternyata pernah punya krisis identitas dan memiliki stigma yang buruk. Kabupaten ini dulu sering dianggap miskin, pelosok, pinggiran, ndesa, nggunung, stagnan dan berasosiasi seng elek-elek (jelek-jelek).
Bahkan di periode 1970-an, nama Kabupaten Trenggalek oleh Bupati Soetran hendak diubah menjadi Trenggalih. Karena kata Trenggalek berasosiasi dan diduga memiliki makna negatif. Sementara kata Trenggalih dipercaya memiliki tuah yang positif dan mampu mendongkrak daerah ini lebih baik, maju dan berkembang dari kondiri sebelumnya. Selain itu Trenggalih memberikan aura dan pengharapan yang baik, yakni Terang Ing Galih.
Saya yakin banyak orang masih belum kenal Trenggalek, tapi nggak apa-apa, kami sebagai orang sini tetap punya kebanggaan dari Pantai Prigi atau Pantai Pasir Putih di Karanggongso, yang pasti dikenal. Pantai ini bisa dibilang seperti pulau Bali.
Saya pernah punya pikiran ingin sekali menata ulang kabupaten ini agar nggak dikenal sebagai kabupaten yang tertinggal. Soalnya kalau diam saja, pengetahuan tentang kabupaten ini bisa jadi musnah. Salah satu upaya untuk ngasih kesadaran ke warga dan pemerintah untuk menggencarkan pengenalan sektor wisata di sini adalah mulai banyak sindiran yang dituliskan melalui media kaos yang menuliskan “Trenggalek itu di mana?” yang dipakai oleh anak-anak muda.
Terlepas dari itu semua. kami punya potensi luar biasa untuk komoditas yang biasa disebut tela atau singkong. Secara nasional nama kabupaten kami sudah cukup dikenal sebagai salah satu daerah produsen singkong atau produk setengah jadi berupa gaplek, tepung gaplek, tepung tapioka dan lainnya.
Bahkan, singkong di sini sudah menjadi tamanan budaya. Namun kini di Trenggalek sudah dipastikan tidak ada petani yang konsentrasi menanam singkong tetapi saya yakin semua petani hampir dipastikan menanam singkong. Artinya, disuruh atau tidak, petani di sini bakal menanam singkong, walau sekadar sebagai tanaman sela.
Entah karena sebagai salah satu kota penghasil gaplek atau karena memang pelafalan bunyi (Trenggalek biasa disebut Nggalek dan Gaplek) yang hampir serupa, Trenggalek dahulu dikenal sebagai Kota Gaplek. Yang tidak kalah gaplek-i lagi, Jare mbah buyut dulu, wong nggalek iku wong e cendek-cendek, elek-elek ngentut-an pisan. Hahaha. Oleh karena itu, Kabupaten Trenggalek jangan bosan gaplek-i (orang-orangnya gaplek-i) dan tetap dikenal sebagai Kota Gaplek.
BACA JUGA Mojokerto yang Kalah Terkenal Dibanding Mojok atau tulisan Muhammad Choirur Rokhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.