Beberapa waktu lalu, saya menulis artikel di Terminal Mojok dengan judul berjudul 5 Alasan Punya Mobil Pribadi di Jakarta Itu Sekarang Sudah Nggak Worth It. Ada banyak tanggapan terhadap tulisan tersebut. Saya jadi mempertanyakan, kalau punya mobil sebegitu merepotkan, kenapa masih banyak orang Jakarta tetap pakai kendaraan pribadi daripada kendaraan umum untuk mobilitasnya? Apakah transportasi umum Jakarta jauh lebih merepotkan daripada mobil atau kendaraan pribadi lain?
Rasa penasaran itu mendorong saya melakukan riset kecil-kecilan. Saya ngobrol dengan beberapa teman-teman dan kenalan yang tinggal dan beraktivitas di Jakarta. Pertanyaan saya simpel saja, kenapa sih kamu nggak naik transportasi umum aja? Jawabannya tentu macam-macam, tapi benang merahnya cukup jelas: kendaraan pribadi mungkin ribet, tapi bagi sebagian orang, transportasi umum masih lebih ribet lagi.
Nah, tulisan ini akan membahas alasan-alasan itu—bukan buat menyalahkan, tapi buat memahami kenapa keputusan naik kendaraan pribadi kadang bukan soal gengsi, tapi soal bertahan hidup.
Kendaraan pribadi itu lebih fleksibel
Salah satu alasan paling sering muncul dari obrolan saya dengan teman-teman adalah “Naik kendaraan pribadi lebih fleksibel.” Dan kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Di Jakarta, waktu adalah mata uang. Selisih lima menit bisa berarti selisih dua jam kalau kamu salah langkah—atau salah moda transportasi.
Dengan naik motor atau mobil sendiri, orang bisa mengatur waktu dan rute sesuka hati. Mau berangkat agak siangan? Bisa. Mau mampir dulu beli kopi atau anter anak sekolah sebelum ke kantor? Gas. Nggak perlu menyesuaikan jadwal bus atau kereta, apalagi nunggu lama di halte sambil mikir, “Ini TransJakarta-nya beneran jalan atau cuma mitos?”
Seorang teman pernah bilang begini: “Gue udah coba naik MRT. Tapi, dari rumah ke stasiun kudu naik ojek dulu. Terus pindah MRT, nyambung lagi jalan kaki. Belum kalo ujan. Ujung-ujungnya malah capek duluan sebelum kerja.” Di sinilah kendaraan pribadi jadi seperti remote control buat hidup di Jakarta. Memang nggak sempurna, tapi setidaknya kitalah yang pegang kendali.
Transportasi umum itu ramai, kadang terlalu ramai
Alasan lain yang sering saya dengar—dan saya yakin ini juga sering dirasakan banyak orang—adalah soal keramaian. Transportasi umum di Jakarta itu ibarat lautan manusia. Pada jam-jam tertentu, terutama pagi dan sore hari, jumlah orang yang naik bisa bikin stasiun atau halte terasa seperti konser tanpa musik. Ada dorong-dorongan, ada desak-desakan, dan ada juga momen pasrah saat kamu nggak perlu lagi jalan, cukup ikut arus dorongan orang lain.
Buat sebagian orang, ini bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga soal energi mental. Berdesakan dalam kerumunan sambil menjaga tas, menjaga napas, dan menjaga emosi itu butuh stamina tersendiri. Apalagi kalau kamu harus berdiri hampir sepanjang perjalanan, sambil berusaha nggak nginjek kaki orang atau ketiban tas punggung sebelah. Naik kendaraan pribadi memang nggak bebas macet, tapi setidaknya kamu bisa duduk, mengatur suhu AC, dan putar playlist tanpa harus rebutan tempat duduk.
Seorang kenalan bahkan bilang, “Kalau habis naik transportasi umum, gue udah habis duluan tenaganya sebelum mulai kerja.” Dan itu masuk akal. Nggak semua orang tahan dengan interaksi sosial yang begitu intens pada pagi hari. Ada yang butuh ruang sendiri, ada yang lebih nyaman berangkat sambil merenung atau dengerin podcast tanpa diganggu aroma ketiak orang tak dikenal. Dalam hal ini, kendaraan pribadi bukan cuma alat transportasi, tapi juga ruang aman buat tetap waras di tengah kerasnya kehidupan kota.
Transportasi umum Jakarta belum terintegrasi sepenuhnya
Di atas kertas, sistem transportasi umum di Jakarta kelihatan keren: ada MRT, ada LRT, ada TransJakarta, ada KRL, ada angkot bertransformasi jadi JakLingko. Tapi kenyataannya, jaringan ini belum sepenuhnya terhubung mulus. Masih banyak titik-titik yang kosong, rute yang harus dipotong sambung, atau moda yang nggak saling kenal satu sama lain. Ibarat keluarga besar yang tinggal serumah, tapi semua diam-diaman.
Banyak yang cerita kalau mau naik transportasi umum itu harus siap naik-turun tiga sampai empat kali, belum termasuk jalan kaki antar titik atau naik ojek buat nyambungin celah rute. Kalau udah gitu, waktu tempuh jadi lebih lama, tenaga lebih terkuras, dan ongkos pun kadang nggak jauh beda dengan naik motor sendiri sambil ngopi di lampu merah.
Teman saya bahkan pernah nyeletuk, “Transportasi umum kita tuh kayak puzzle yang belum lengkap, jadi capek duluan nyusunnya.” Dan, dari situ saya sadar, niat baik infrastruktur memang ada, tapi sampai semuanya benar-benar nyambung dan efisien, banyak warga Jakarta yang akan tetap memilih nyetir sendiri, meskipun harus berjibaku dengan kemacetan dan pengeluaran ekstra.
Kendaraan pribadi lebih privat jadinya lebih damai
Poin ini mungkin terdengar sepele, tapi buat sebagian orang justru jadi alasan utama: kendaraan pribadi memberikan ruang privasi. Di tengah kota yang bising, padat, dan serba buru-buru, duduk sendirian di dalam mobil atau motor bisa jadi momen meditasi kecil. Kamu bisa ngerengek bareng lagu galau, ngobrol sendiri ala podcast, atau cuma diam sambil ngelamun tanpa takut ada yang ngeliatin aneh.
Berbeda dengan transportasi umum, yang mana kamu harus berbagi ruang dengan puluhan, bahkan ratusan manusia lainnya. Setiap sudut jadi ruang sosial. Ada yang ngobrol keras-keras lewat telepon, ada yang nonton video tanpa earphone, dan ada juga yang tidur sambil ngorok tanpa dosa. Buat sebagian orang, ini mengganggu. Bukan karena anti-sosial, tapi karena nggak semua orang siap menerima dunia luar sebelum jam 9 pagi.
Motor dan mobil pribadi juga memberi kendali penuh atas suasana. Mau nyetel musik EDM volume 100? Monggo. Mau naik motor sambil nyanyi tanpa takut dilihatin? Gas. Nggak ada drama rebutan tempat duduk, nggak ada pemandangan random yang memancing insting bertahan hidup. Dalam kendaraan pribadi, kamu jadi penguasa kecil atas waktu, ruang, dan ketenanganmu sendiri. Dan buat banyak orang Jakarta, damai yang seperti itu nilainya lebih mahal dari sekadar hemat ongkos.
Transportasi umum Jakarta masih terlalu bergantung pada “keberuntungan”
Meski sudah banyak perbaikan di sana-sini, naik transportasi umum di Jakarta masih sering terasa seperti ujian kesabaran dan kadang ujian iman. Jadwal yang suka molor, armada yang penuh tanpa ampun, AC yang kadang nyala kadang ngambek, hingga pengemudi yang mood-nya bisa mempengaruhi kenyamanan satu gerbong. Dalam kondisi begitu, penumpang seringkali cuma bisa pasrah dan berharap semesta sedang baik hati hari itu.
Seorang teman pernah bilang, “Naik transportasi umum tuh kayak buka mystery box. Kadang dapet yang adem, kosong, dan lancar. Tapi lebih sering dapet yang panas, desek-desekan, dan berhenti tengah jalan.” Kalimat itu mungkin terdengar lebay, tapi buat yang sudah cukup sering mengalami kejadian seperti bus ngetem kelamaan atau kereta mendadak delay tanpa penjelasan, kalimat itu justru terdengar jujur.
Ketika perjalanan ke suatu tempat jadi tergantung pada keberuntungan, wajar kalau banyak orang akhirnya kembali pada kendaraan pribadi. Setidaknya, meski harus bermacet-macet ria, mereka tahu apa yang akan dihadapi. Nggak perlu cemas ditinggal bus yang lewat tanpa berhenti, atau harus sprint maraton di stasiun karena kereta datang mendadak. Kendaraan pribadi mungkin nggak sempurna, tapi dia setidaknya lebih bisa ditebak dan buat banyak orang Jakarta, sesuatu yang bisa ditebak adalah bentuk kenyamanan yang paling dasar.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kasta Stasiun KRL “Neraka” yang Wajib Diketahui Orang Luar Jabodetabek
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















