Saya masih ingat betapa bersuka-citanya warga Jogja tatkala pertama kali Trans Jogja muncul. Medio 2007 hingga 2008, Trans Jogja resmi mengaspal menduplikasi kesuksesan Trans Jakarta di ibu kota.
Hanya dengan kocek sebesar Rp3 ribu rupiah saja, kita bisa keliling kota dengan mendapatkan fasilitas bus dengan AC. Takdir membuat saya menjadi pelanggan setia selama 4 tahun berturut-turut. Yah, ndilalah, saya keterima di SMA yang hanya bisa dijangkau oleh kendaraan umum seperti Trans Jogja dari rumah.
Bus macam Aspada, Kobutri, Damri hingga Puskopkar tidak memiliki jalur yang membawa saya dari rumah ke sekolah. Tak sampai di situ, kampus saya menerapkan peraturan tidak boleh membawa kendaraan pribadi saat saya masuk ke jenjang universitas. Alhasil, saya menghabiskan 3 tahun perjalanan ke SMA dan 1 tahun ke kampus dengan mengandalkan Trans Jogja.
Saat itu, moda transportasi massal ini sangat relevan karena hanya berhenti di halte. Mereka tidak mengambil atau turunkan penumpang di sembarang tempat. Jadi, waktu tempuh Trans Jogja lebih efisien apabila dibandingkan dengan bus konvensional.
Namun selama 4 tahun kebersamaan saya sebagai penumpang setia Trans Jogja, saya merasakan “dosa” yang bikin kapok. Berikut “dosa” yang saya maksud.
Daftar Isi
Trans Jogja pernah beberapa kali menurunkan saya di tempat yang bukan halte. Alasannya adalah kondisi jalanan sedang macet.
Saya masih ingat, saat itu, sedang ada kampanye akbar salah satu partai politik di Jogja. Parpol ini terkenal memiliki basis masa yang besar. Jadi, lumrah jika terjadi kemacetan.
Oleh sebab itu, Trans Jogja yang saya tumpangi stuck nggak bisa jalan. Lalu, sang kondektur memberikan penjelasan bahwa bus tidak bisa melanjutkan perjalanan dan mempersilakan penumpang turun. Sontak pengumuman ini membuat para penumpang marah.
Ada penumpang yang berusaha meminta uangnya dikembalikan. Namun, kata kondektur, mengembalikan uang berada di luar wewenang kondektur dikarenakan pembayaran ongkos naik bus di lakukan di halte, bukan di kondektur.
Pengalaman lain terjadi saat musim libur akhir tahun. Kebetulan, Trans Jogja yang saya tumpangi melewati Jalan Malioboro. Saat bus sampai di depan Stasiun Tugu, kondektur mengatakan bahwa Jalan Malioboro macet parah dan penumpang diminta untuk turun meninggalkan bus. Seperti kejadian yang pertama, penumpang tidak mendapatkan kompensasi dari kerugian ini.
#2 Penjaga halte malas mengarahkan
Kejadian ini terjadi saat saya sedang transit di Halte Terminal Ngabean. Perlu diketahui bersama, Halte Terminal Ngabean adalah halte yang padat karena menjadi titik persilangan transit.
Dalam suasana yang cukup sesak, terdapat mas-mas colon pengunjung yang bertanya ke penjaga halte perihal bus yang akan ia naiki. Saat mas-mas tersebut sudah naik Trans Jogja, 2 orang penjaga halte ghibah tentang mas-mas barusan.
Dengan kuping saya sendiri, saya mendengar sang penjaga halte males menghadapi penumpang yang suka bertanya-tanya. Kata penjaga halte tersebut, yang penting penumpang masuk bus dulu biar kondektur yang ada di dalam bus yang mengarahkan. Hadeh.
#3 Nunggu lama di dalam bus karena sopir sedang beli es teh
Peristiwa kocak ini saya alami di Halte Prambanan. Saat saya dan penumpang lain sudah ready di kursi masing-masing, sopir malah turun dan tidak balik-balik. Usut punya usut, ternyata sopir sedang membeli es teh.
Hadeh, kan bisa sebelum sampai halte, sampeyan titip pesan ke yang jaga halte. Kasihan para penumpang yang waktunya terbuang percuma menunggu sopir beli es teh. Mbok ya sing cerdas dikit!
Itulah 3 dosa yang tidak mengenakan saat menjadi penumpang Trans Jogja. Besar harapan saya agar Trans Jogja bisa lebih baik karena Jogja ini nggak punya transportasi dalam kota lainnya. Sedih, kan.
Penulis: Arief Nur Hidayat
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.