Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan Mas Rizky yang judulnya Semua Orang Membenci Honda PCX dan Yamaha NMAX, Sampai Mereka Mencoba Motor Tersebut. Saya merasakan hal yang sama, hanya beda jenis kendaraan saja. Kalau Mas Rizky membicarakan tentang Honda PCX dan NMAX, saya sedang membicarakan Toyota Fortuner dan Pajero Sport.
Iya, nggak salah lagi. Fortuner dan Pajero, dua mobil biadab yang sering bikin kalian mengutuk di jalanan.
Selama lebih dari satu dekade, saya punya pemikiran, Ngapain sih orang-orang pada punya Fortuner dan Pajero Sport? Padahal mereka tinggal dalam kota, bukan pedalaman Kalimantan atau Papua yang butuh mobil bongsor buat keperluan offroad?
Pemikiran saya ini pun diamini oleh banyak orang, karena saking banyaknya (oknum) pengendara Fortuner dan Pajero yang ugal-ugalan di jalan arogan tak mau kalah. Banyak di antaranya bukan personil TNI/Polri, tapi memasang strobo lalu tetot tetot sembarangan di kala macet dan nyuruh orang minggir.
Sampai akhirnya, pada akhir 2023, atasan saya di kantor memberikan job sampingan pada saya untuk nganterin beliau dan keluarganya liburan ke Jogja untuk liburan akhir tahun.
“Kamu pernah nyetir ke Jogja nggak pakai Fortuner?”
Saya pun menjawab, “Nyetir ke luar kota sih udah biasa dari SMA. Tapi belum pernah kalau pakai Fortuner”
Lalu beliau pun meyakinkan saya bahwa Fortuner itu sama seperti mobil yang biasa saya kendarai pada umumnya seperti Honda Brio atau Toyota Avanza. Bedanya, ukurannya lebih besar saja. Beliau pun memberi analogi seperti Honda Supra X 100 milik saya dan PCX, nggak ada bedanya selain ukurannya yang lebih besar saja.
Menjajal Toyota Fortuner untuk kali pertama
Pada hari H, saya sangatlah tegang ketika pertama kali berada di cockpit Toyota Fortuner. Meski saya bukan pilot Garuda Indonesia, saya merasa bahwa ukuran body mobil yang besar beserta tenaganya yang besar ini berbanding lurus dengan tanggung jawabnya. Saya bertekad untuk tak muluk-muluk sampai Jogja dengan cepat. Yang penting bawa diri dan seluruh penumpang dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Dah, sesederhana itu.
Saya pun mengobrol dengan kakek dari atasan saya selalu pemilik mobil. Beliau mengajari saya tentang fungsi-fungsi mobil berbadan bongsor tersebut. Satu jam pertama, saya beradaptasi dengan ukurannya yang besar. Saya menginjak pedal rem dan gas pelan-pelan agar nggak terlalu ngebut di jalanan provinsi Kabupaten Sumedang yang berkelok nggak terlalu besar.
Hingga saatnya saya memasuki Tol Trans Jawa yang panjang tersebut.
Pantes pada ngebut
Saya pun akhirnya memahami kenapa para pengendara Toyota Fortuner maupun mobil bongsor sebangsanya ini kerap kali kebut-kebutan di jalan tol. Saya dapat mencapai kecepatan 120 km/jam tanpa harus menginjak pedal gas dalam-dalam. Sebagai orang yang biasanya hanya mengendarai Honda Brio atau mentok-mentok Toyota Avanza, tentu saja saya kaget saat pertama kali mengendarai mobil bongsor ini di jalan tol.
Sebab, ketika mengendarai Honda Brio, saya harus menginjak pedal gas agak dalam untuk mencapai kecepatan lebih dari 80 km/jam. Bahkan, sering kali mobilnya harus ngeden terlebih dahulu selayaknya saat kita sedang buang air besar. Saat melewati tanjakan menuju Bukit Rhema di Magelang maupun Dataran Dieng pun sama, saya nggak harus menginjak pedal gas dalam-dalam untuk melewati tanjakan curam. Dari situ saya paham kenapa banyak pengendara Fortuner yang tergoda buat ugal-ugalan di jalan.
Namun, sesuai tekad saya saat awal mengendarai kendaraan tersebut, saya nggak berani bawa mobil lebih dari 100 km/jam kecuali untuk mendahului kendaraan lain. Dan saya pun hanya mendahului kendaraan lain dari lajur kanan, bukan dari lajur kiri apalagi via bahu jalan karena saya sadar ini bukanlah semesta Grand Theft Auto atau Need for Speed.
Fortuner nggak seburuk itu di tangan yang tepat
Sepanjang perjalanan melewati Tol Trans Jawa, kakek dari atasan saya ini bercerita tentang latar belakangnya membeli Toyota Fortuner meskipun beliau nggak butuh Fortuner buat melintasi pedalaman Kalimantan atau Papua.
Utamanya, untuk membopong keluarganya kalau mau liburan kayak gini. Kalau beli LCGC macam Honda Brio kan nggak bisa muat banyak orang beserta barang bawannya.
Alasan kedua, sebagai pemilik pabrik oven di Sumedang, sering kali beliau membutuhkan mobil untuk membawa oven, material pembuat oven, maupun tetek bengek lainnya dalam kesehariannya sehingga butuh mobil mobil sebesar ini.
Alasan ketiga, beliau ini sudah kepala tujuh. Selama lebih dari setengah abad, beliau bekerja keras banting tulang cari duit. Masa nggak boleh menikmati akhir hidupnya dengan beli mobil dari jerih payahnya?
Selanjutnya, sampai tulisan ini saya tulis, saya dipercaya oleh kakek atasan saya maupun atasan saya untuk membawa Fortuner ini kemana-mana. Mulai dari Jakarta-Bandung untuk keperluan kantor tempat saya bekerja maupun urusan pribadi. Hingga beberapa kali bolak-balik Bandung-Surabaya-Malang untuk dua urusan yang sama.
Pada akhirnya, baik Toyota Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, McLaren, hingga Honda Supra X 100 sekalipun, gimana yang menungganginya. Ada yang menungganginya dengan tanggung jawab, ada yang menungganginya dengan ugal-ugalan. Satu hal yang pasti, setiap kendaraan punya kekurangan serta kelebihannya masing-masing. Dari perkara teknis kendaraan hingga urusan cicilan hingga perpajakannya. Sudah banyak yang review di internet. Sesuaikan saja dengan kebutuhan dan isi dompet masing-masing.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Toyota Fortuner, Mobil yang Memancarkan Aura Kesombongan dan Membuat Pengendara Lupa Diri Sesaat
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















