Suatu hari teman saya menunjukkan kepada saya sebuah akun Tiktok. Kata teman saya itu adalah akun Tiktok yang sangat populer. Saat saya lihat akun TikTok tersebut, dilihat dari username-nya sih itu akun Tiktok sebuah toko ponsel, tapi ganjilnya, hampir seluruh isi video akun tersebut hanyalah video joget-joget saja. Melihat orang berjoget di Tiktok, itu adalah hal yang biasa. Tapi, itu menjadi ganjil ketika sebuah akun toko ponsel melakukan hal tersebut, dan berulang-ulang.
Setelah menyelami akun tersebut selama beberapa menit, saya benar-benar tidak menemukan satu video pun terkait tentang ponsel, atau kelebihan toko tersebut. Mungkin saja ada pembahasan terkait ponsel, tapi mungkin saya tidak menyadarinya karena sudah terlalu banyak video joget-joget model berpenampilan menarik mereka.
Channel YouTube toko ponsel tersebut isinya pun serupa. Sebenarnya, ada sedikit video pada channel tersebut yang masih berhubungan tentang ponsel. Walaupun masih menggunakan model yang berpenampilan menarik, tapi ya setidaknya masih membahas tentang ponsel. Tapi, ya sedikit. Seolah-olah, membahas ponsel bukanlah fokus utama channel tersebut.
Sangat disayangkan, beberapa video terbaru channel tersebut sekarang ini kebanyakan hanya berisikan para model atau tim sales mereka tanpa membahas ponsel sedikit pun. Tentu saja, channel tersebut juga memiliki banyak thumbnail yang tidak bisa saya sebutkan. Saya juga penasaran pada akun Instagram, toko ponsel tersebut. Tapi, anehnya, akun tersebut malah dikunci.
Saya tahu, memang sekarang sudah zamannya para brand dari suatu produk apa pun untuk berlomba-lomba memaksimalkan media sosial. Setiap media sosial yang ramai, pasti akan bermunculan akun-akun sebuah brand.
Saya juga tahu, menaikan engagement pada platform media sosial itu tidaklah mudah. Walau terkesan sepele, hanya bikin konten di media sosial, tapi kreativitas dan konsistensi dibutuhkan. Bahkan ada yang sampai mempelajari algoritma setiap media sosial yang digunakan. Alasannya, tidak lain adalah untuk menaikkan engagement. Harapan dari naiknya engagement, tentu supaya munculnya interaksi yang berakhir pada pembelian produk tersebut. Maka dari itu, banyak brand yang rela mengeluarkan uang ratusan juta kepada agensi hanya untuk membayar jasa mengurus media sosial.
Hasilnya pun belum tentu positif, saya beberapa kali melihat akun sebuah brand pada berbagai platform media sosial yang memiliki konten bagus. Hanya saja, hasilnya tidak memuaskan. Akun tersebut sepi interaksi, minim followers, minim like, subscriber sedikit. Menyedihkan, bukan?
Selalu ada cara bagi pekerja so-called kreatif sekaligus pemalas untuk meningkatkan engagement. Yaitu dengan melakukan kegiatan marketing dengan cara-cara seperti toko ponsel yang saya sebutkan di paragraf awal. Yaitu dengan menggunakan talent, atau model dengan berpakaian ketat dan minim.
Sudah banyak artikel atau bahkan jurnal akademik yang membahas tentang perempuan dalam sebuah iklan. Salah satunya, seperti yang terdapat pada Katadata, sensualitas perempuan dijadikan komoditas, banyak produk yang tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, namun malah menampilkan sisi sensual itu sendiri terhadap iklannya. Lebih lanjut, artikel tersebut juga bilang bahwa iklan yang menonjolkan sensualitas perempuan, dikhususkan untuk kalangan tertentu, yaitu laki-laki.
Walau artikel dari Katadata tersebut tidak dalam konteks pembahasan kegiatan marketing dalam media sosial, tapi bagi saya, tetap saja relevan dengan apa yang saya temukan pada berbagai postingan toko ponsel tersebut. Sekali lagi, minim sekali pembahasan tentang ponsel pada akun media sosial mereka, khususnya khususnya pada TikTok dan YouTube.
Saya juga tidak mengerti, mengapa toko ponsel tersebut melakukan marketing dengan cara seperti ini. Jika dulu di TV ada iklan pompa air dan sepatu boots yang pernah beriklan dengan tema sensualitas perempuan, mereka bisa saja beralasan target produk mereka adalah laki-laki.
Tapi, kasusnya ini adalah toko ponsel, pasar dari toko ponsel tersebut datang dari berbagai kalangan. Rasanya sekarang semua orang menggunakan ponsel, entah apapun jenis kelaminnya, entah apapun etnisnya, kita semua menggunakan ponsel. Lantas mengapa toko ponsel tersebut masih saja menggunakan strategi marketing seperti itu?
Sepertinya, strategi marketing “yang penting viral”, itu harus dipikirkan kembali. Bagaimanapun juga seharusnya kegiatan marketing akan berpengaruh akan citra dari suatu merek itu sendiri. Selain itu, harusnya tim kreatif dari toko ponsel tersebut setidaknya melakukan hal-hal yang benar-benar kreatif, sehingga tidak perlu mengeksploitasi tubuh talent, model, atau sales mereka. Di media sosial, saya juga sering melihat bahwa konten review ponsel, unboxing ponsel, servis ponsel, atau berbagai tips dan trik terkait ponsel masih ramai dan disukai penonton, kok.
Tulisan ini bukan ditujukan untuk para model, talent, atau sales yang terdapat pada berbagai video toko ponsel tersebut. Bagaimanapun juga mereka adalah para pekerja, yang hanya melakukan tugasnya. Tulisan ini saya tujukan untuk “ide digital marketing” toko ponsel tersebut, dan juga pekerja kreatif di balik akun sosmed toko ponsel tersebut, yang menurut saya pemalas, dan cuma memikirkan viral.
BACA JUGA NFL Fans Indonesia, Tempat yang Tepat Untuk Mulai Memahami American Football dan tulisan Muhammad Ikhsan Firdaus lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.