Saya agak heran dengan komposisi pemain yang diturunkan Jurgen Klopp ketika Liverpool dijamu Chelsea di ajang Piala FA. Apa, sih, yang masih ingin dikejar Jurgen Klopp? Apakah Piala FA tidak masuk ke dalam target musim ini? Saya rasa, kalau memang tidak menjadi target itu agak aneh untuk sebuah tim sebesar Liverpool.
Aneh, terutama jika kamu mempertimbangkan soal jadwal. Setelah melawan Chelsea di Piala FA, Liverpool “hanya” akan melawan Bournemouth. Mengapa sampai repot-repot mengistirahatkan banyak pemain utama? Ingat, Chelsea bukan Arsenal yang bisa diatasi hanya dengan pemain kelas B saja. Apalagi Chelsea turun dengan tim utama.
Liverpool juga sudah tidak mungkin meraih rekor tidak terkalahkan Arsenal di Liga Inggris. Bahkan, mereka kalah beberapa kali di liga pun tidak akan merusak peluang untuk menjadi juara musim 2019/2020. Meraih piala tentu saja target tim besar. Kalau Liverpool melepaskan Piala FA, sekali lagi, sangat aneh.
Dan sayang sekali, Liverpool malah kalah. Tentu saja, mereka sangat sulit memegang kendali lini tengah. Fabinho tidak disokong oleh “kualitas” yang biasanya tersedia. Di rumah Chelsea, Fabinho dibantu Adam Lallana dan Curtis Jones.
Tiga pemain ini kalah dalam perebutan lapangan tengah dengan Ross Barkley dan Kovacic yang didukung Billy Gilmour dan dua penyerang sayap yang bermain sedikit narrow dalam beberapa momen. Lini tengah Chelsea semakin berdaya ketika Gilmour bermain apik. Pemain yang menjadikan Cesc Fabregas sebagai panutan ini bermain begitu tenang, sangat waspada, dan berani adu fisik meski kalah kokoh dibandingkan Curtis Jones dan Fabinho.
Apakah Jurgen Klopp abai dengan Piala FA? Apakah pelatih asal Jerman itu hanya akan fokus ke Liga Inggris yang 95 persen sudah diraih dan usaha back-to-back Liga Champions? Ini alasan yang bagus, tetapi tidak bisa menjadi pembenaran melakukan rotasi di Piala FA.
Jika tujuannya adalah rotasi, Liverpool seharusnya melakukannya sejak lama. Sebelum melawan Atletico Madrid, Liverpool tandang ke Carrow Road, kendang Norwich City. Di laga ini, The Reds hanya mengistirahatkan dua pemain saja. Kondisi pemain yang terlalu rutin bermain tanpa jeda yang ideal membuat mereka kalah dari Atletico Madrid.
Apa, sih, yang mau dikejar Klopp? Rekor tidak terlakahkan selama satu musim? Percaya saya. Rekor itu tidak terlalu penting. Ray Parlour, legenda Arsenal, menegaskan kalau rekor invincible memang membanggakan. Namun, di ujungnya, yang paling penting adalah menjadi juara. Titik. Oleh sebab itu, dibutuhkan kedewasaan untuk menghadapi semua laga.
Menjadi invincible di Liga Inggris zaman sekarang memang lebih berat ketimbang di zaman Arsenal. Hampir semua klub di 10 besar bisa saling mengalahkan. Dulu, Arsenal, paling tidak, hanya bersaing begitu keras dengan empat klub saja. Bukan hendak mengecilkan makna invincible Arsenal. Ini soal kedewasaan Liverpool dalam memandang sebuah laga.
Sekarang, setelah rekor tak terkalahkan selama satu musim itu hilang dan tersingkir dari Piala FA, Liverpool mau apa lagi? Menurut saya, fokus mereka ada dua. Pertama, Liga Champions yang masih akan mementaskan leg kedua. Peluang lolos masih sangat terbuka setelah hanya kalah satu gol saja di kandang Atletico Madrid.
Fokus kedua adalah belajar caranya menjadi lebih dewasa untuk musim depan. Rotasi adalah kebijaksanaan yang penting jika Liverpool ingin mengejar semua piala yang tersedia. Kalah di dua atau tiga laga tidak menjadi masalah. Yang paling utama adalah piala di ujung musim ini sendiri. Saya yakin, di dada fans Liverpool masih bergemuruh hasrat menggempur rekor Manchester United: treble winner!
BACA JUGA Virus Corona, Juventus, PS Sleman, dan Sepak Bola dalam Keterasingan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya. Follow Twitter Yamadipati Seno.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.