“Aduh, Bund… Selamat, yaaa, suaminya dapat beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Asyik, nih, bisa jalan-jalan ke Eropa. Jangan lupa kalau pulang bawain oleh-oleh parfum Dior atau tas Longchamp ya, Bund. Mumpung murah-murah, kan, di sana? Jangan cuma cokelat aja. Bosen saya…”
Kalimat-kalimat yang tak jarang saya dengar saat itu. Padahal dalam hati saya ingin berkata, “Haduh, kok ya sudah sampai sana mikirnya? Visa saja belum tentu dapat, kok sudah ngimpi mau jalan-jalan dan belanja? Belanjain kamu, milih pula, kok pedenya setengah mampus.”
Mendapat beasiswa itu baru awal dari sebuah perjalanan ya, Adik-adik. Masih banyak rentetan perjuangan yang nggak muncul di permukaan. Ngertinya jalan-jalan saja. Cari kos-kosan saja belum dapat, mana di sana nggak semudah di Indonesia. Asal dapat yang kosong, bayar, sudah beres.
Dengan kesadaran penuh, saya sebagai support system memerintahkan otak saya agar selalu ingat bahwa jangan sampai saya sebagai pendamping suami—alih-alih membantu meringankan beban di pundaknya—malah justru menambah beban pikirannya.
Dalam situs pencarian, banyak ditemukan berbagai macam tips meraih beasiswa, strategi memilih jurusan yang diminati, atau bahkan cara hidup di sebuah kota bagi mahasiswa baik di dalam maupun luar negeri. Tapi ada satu yang terlewat, bagaimana kiat-kiat menjadi pendamping hidup pasangan yang sedang mengambil program pendidikan. Padahal perannya amat vital, namun tak jarang lepas dari pengamatan.
Bagaimana dengan saya yang kebetulan pernah menjadi anak sekolah juga? Seharusnya sedikit banyak tahu rasanya. Selain itu, saya belajar banyak dari Ibu yang juga diberi kesempatan mendampingi Bapak ketika menjadi mahasiswa S3 di penghujung masa pensiunnya. Sabar adalah kunci. Eits, nggak cuma itu, berikut tips berdasarkan pengalaman saya menjadi pendamping hidup seorang mahasiswa yang mendapat beasiswa ke luar negeri:
#1 Luruskan niat
Sebenarnya nggak cuma kuliah di luar negeri saja, mau di mana dan ngapain saja pun kita harus kembali ke niat awal. Sekolah untuk menimba ilmu dan target utamanya adalah selesai. Baik penerima beasiswa maupun bukan, bahkan di dalam atau di luar negeri bagi saya sama saja.
Seingat saya, selama mendampingi suami sekolah S3, doa yang saya panjatkan hanya “cepat lulus, cepat pulang, gek ndang genti gawean.” Usai menerima beasiswa, pilihannya hanya ada dua: berjalan kalau perlu berlari untuk menyelesaikan atau jalan di tempat menikmati euforia sampai lupa tujuan utama. Hidup itu banyak godaan. Kalau nggak kuat iman, ya jangan heran kalau nantinya nggak sesuai harapan. Ingatlah untuk selalu kembali meluruskan niat.
#2 Belajar untuk lebih memahami diri sendiri sekaligus pasangan
Proses dalam membina rumah tangga termasuk di dalamnya agar lebih memahami diri sendiri berbarengan dengan memahami pasangan. Siap telinga dan pundak untuk mendengar keluh kesah pasangan. Banyak juga yang nggak mampu menyelesaikan pendidikan dengan berbagai macam latar belakang problematika. Bahkan kasus bunuh diri juga nggak sedikit, lho. Kira-kira apa yang mereka butuhkan agar dapat terhindar dari hal demikian, ya? Tentu saja pasangan hidup yang juga harus belajar untuk memahami.
“Wah, pasangan saya lagi butek, butuh refreshing, nih.” Ya kita sebagai pasangan harus mengerti. Minimal nggak nambahin masalah, deh. Itu sudah bagus banget.
#3 Tidak pernah menyuruh untuk mengerjakan disertasi
Lho gimana, sih? Orang sekolah kok nggak boleh ngerjain disertasi? Gimana mau lulus? Sebentar, Sayang, mahasiswa S3 itu harusnya sudah dewasa. Bahkan saat ia memutuskan untuk mengambil program doktoral pun sudah paham konsekuensinya. Ya harus bertanggungjawab mengerjakan disertasi, to? Saya pikir hal itu sudah ada di dalam pikirannya.
Saya memang nggak pernah “menyuruh” suami saya untuk ini dan itu. Sebagai gantinya, saya menciptakan suasana yang nyaman serta menjamin perutnya kenyang agar dia dapat berkonsentrasi mengerjakan disertasi. Ini saya ingat-ingat betul lantaran saya adalah seorang ibu-ibu yang rawan cerewet. Alih-alih membantu, malah bikin pasangan tambah pusing gara-gara dicerewetin. Sudah bisanya cuma nyuruh-nyuruh, nggak bantuin, eh, malah ngirimin tangkapan layar keranjang belanja daring yang lagi diskon. Gimana disertasi bisa cepat selesai, Bund? Hahaha…
Pernah lihat linimasa mahasiswa yang sedang belajar ke luar negeri? Tampak seru dan menyenangkan, kan? Sayangnya kita nggak tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Mungkin rindu kampung halaman atau stres banyak tugas kuliah? Bahkan bisa jadi sedang putus cinta dengan kekasihnya yang berada di belahan dunia lain. Kita nggak pernah tahu…
Kalaupun bukan keluarga kita, minimal kasih dukungan laaah ke mereka. Baik yang sedang bersekolah maupun pendamping hidupnya. Menjadi pendamping hidup mahasiswa S3 itu ya sama beratnya dengan yang sekolah. Ha mbok kiro ora po? Kene yo meh kenthir je… Hahaha.
BACA JUGA 8 Alasan Membenci Mahasiswa Ambis. Makanya Jangan Saklek! dan tulisan Arum Puspitorukmi lainnya.