Tipe-tipe Orang Tegal Saat Makan Tahu Aci

Tipe-tipe Orang Tegal Saat Makan Tahu Aci Terminal Mojok

Tahu aci merupakan makanan khas masyarakat ngapak, belum afdol rasanya apabila orang berkunjung ke Tegal namun tidak makan tahu aci yang original. Saking melegendanya panganan satu ini, tugu tahu aci berdiri tegak di pusat kabupaten, yaitu di Kota Slawi.

Sebagai seorang anak yang lahir dan tumbuh besar di Tegal, tahu aci menjadi hidangan yang wajib ada dalam setiap kesempatan. Entah kumpul keluarga sembari menonton sinetron, ghibah syantik bareng teman satu geng, acara pengajian, sampai walimahan sang mantan. Tahu kuning yang dipotong segitiga kemudian digabungkan dengan aci selalu hadir di piring.

Banyak alasan mengapa tahu aci tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat Tegal, salah duanya adalah pembuatannya yang mudah, namun rawan risiko pletok-pletok dan harganya yang super duper murah. Dengan uang lima belas ribu rupiah saja tahu aci sanggup mengenyangkan satu keluarga. Hal ini juga yang menjadi kultur syok terberat saya ketika memutuskan merantau ke luar kota. Menemukan penjual tahu aci yang rasanya mirip dengan yang di Tegal asli sangat sulit. Kalaupun ada, saya harus berkeliling dahulu mencari pasar malam.

Meskipun makanannya satu, namun cara orang-orang Tegal saat memakan tahu aci terbagi menjadi beberapa kubu. Cara tersebut cukup familier hingga ditiru oleh mereka yang bukan orang asli Tegal.

Pertama adalah tim tahu aci dengan sambal kecap. Ini cukup jadul sih, tapi masih digemari hingga sekarang. Biasanya tipe orang yang memakan tahu aci sambil dicelup ke sambal kecap ala sate kambing ditemukan saat kumpul keluarga.

Menurut pengamatan saya, hal yang mendasari munculnya tipe pemakan tahu aci ini adalah keberagaman individu yang hadir dalam pertemuan keluarga. Jadi, agar bisa diterima oleh semua orang yaaa tahu aci dengan cocolan sambal kecap. Lagi pula tidak mungkin kan, Hyung, satu mangkok sambal kecap dihabiskan sendirian.

Kedua adalah tim tahu aci cocolan saus. Ini masuk dalam kategori tahu aci upgrade ke zaman modern. Penikmat jenis ini biasanya adalah mereka yang tidak suka kecap, namun juga tidak bisa menerima pedasnya cabai rawit. Jadi, daripada hambar makannya ya dicocol saus saja. Toh saus tidak terlalu pedas seperti cabai asli. Meski termasuk mengikuti zaman, tipe ini masih relevan menjaga keaslian tahu aci, selama tahu aci tersebut tidak dipotong-potong. Jika sudah dipotong-potong bukan tahu aci lagi namanya, tapi batagor.

Tahu aci dengan cocolan saus biasanya dihidangkan saat nongki dengan teman sebaya. Entah kumpul untuk belajar kelompok atau curhat masalah beratnya beban kehidupan. Alasannya ya biar lebih simpel saja sebenarnya, tidak perlu repot-repot membuat sambal kecap, apalagi jika bekas kecap berceceran ke mana-mana, auto gagang sapu emak akan melayang.

Selanjutnya adalah tim tahu aci dengan cabai rawit. Ini adalah kasta tertinggi dari dunia per-tahu aci-an. Mereka yang makan tahu aci dengan cabai rawit adalah sosok yang kuat dan tahan banting dari rasa pedas. Sensasinya memang berbeda dan akan lebih Tegal sekali jika bisa memakan tahu aci diiringi cabai rawit.

Tipe pemakan tahu aci dengan cabai rawit juga dibagi menjadi dua. Yang pertama tipe tahu dan aci dimakan bersamaan kemudian menggigit si cabai rawit. Tipe kedua adalah tahu dan aci dipisahkan, maksudnya acinya dulu yang dimakan bersama cabai rawit, kemudian tahu kuning yang dipisahkan tadi dimakan paling akhir sebagai pengobat rasa pedas. Rumit memang, kalau untuk menawarkan rasa pedas kenapa tidak minum saja sih, Jenudin.

Memakan tahu aci dengan cabai rawit dinilai paling simpel dan efisien. Ini juga yang mendasari acara walimahan dan lainnya, pokoknya yang mengumpulkan orang banyak, memilih cabai rawit sebagai pendamping tahu di piring. Murah, tidak ribet, dan tetap enak.

Terakhir, ada juga tipe manusia pemakan tahu aci namun tidak beserta tahunya. Mereka-mereka ini adalah sekte yang paling menyebalkan. Apalagi saat mereka menerapkan sektenya di acara kumpul-kumpul seperti yasinan. Selesai makan-makan akan terlihat tahu-tahu yang terzalimi teronggok tidak berdaya di atas piring, tahunya saja, tanpa acinya atau terkadang hanya ditemani gagang cabai rawit bekas dimakan orang.

Saya merupakan salah satu pengikut kubu pertahuan dari kumpulan orang menyebalkan itu. Tipe pemakan tahu aci dengan meninggalkan tahunya ini memang cukup aneh. Pernah suatu ketika ibu saya protes, “Bilangnya mau tahu aci, tapi tahunya malah nggak dimakan! Kalau gitu dari awal goreng nggak usah pakai tahu!” Begitulah kira-kira protesnya.

Bagaimana jawaban saya? Oh, jelas sangat berkelas. Di pikiran saya ya pengin makan tahu aci, meskipun acinya saja, karena saya tidak suka tahu kuning yang digoreng. Namun, jika saya diberikan acinya saja sejak proses penggorengan, itu bukan tahu aci melainkan cireng, dan sensasinya pasti berbeda meski bahannya sama. Jalan tengahnya yaaa memang tetap membuat tahu aci dengan tahu, untuk kemudian dimakan acinya saja, tahunya menunggu barangkali ada relawan baik hati yang sudi memakannya.

Intinya, bagi penikmat tahu aci, apalagi nyambi berbincang menggunakan bahasa ngapak yang ora ngapak ora kepenak, adalah hal yang paling dirindukan anak perantauan untuk kembali pulang ke kampung halaman.

BACA JUGA Pesona Mas Aldebaran di Sinetron ‘Ikatan Cinta’ Memang Sulit Terbantahkan, Bund dan artikel Yunita Devika Damayanti lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version