Bakpia memang tidak hanya diproduksi di Jogja. Sebagai orang pantura, saya bisa bercerita bahwa Tegal juga salah satu daerah yang dikenal sebagai home industri bakpia, tentu berbeda style dan cita rasa. Selain itu, dalam benak semua orang, baik yang baru pernah ke Jogja, kuliah atau kerja di Jogja, atau bahkan lahir dan besar di Jogja, kata “bakpia” seperti sudah menjadi sinonim yang tak terpisahkan dari definisi Jogja itu sendiri.
Kendati demikian, tetap saja tidak banyak yang mencermati apalagi teliti dalam perkara pilih memilih bakpia. Padahal karakteristik dan kualitas bakpia yang dipilih bisa jadi penentu masa depan generasi muda. Tentu karena pemilihan bakpia sebagai oleh-oleh maupun kudapan ringan yang dinikmati sembari menunggu redanya hujan sangat berhubungan dengan kepribadian, sudut pandang, dan konstruksi berpikir seseorang.
Sebelum semua kenyataan dan faktanya saya beberkan, mari sedikit mengenal bakpia. Bakpia selalu dikatakan sebagai asimilasi budaya dari China. Ada yang bilang asalnya bakpia dulunya kue dengan isian daging babi. Tentu saja dugaan ini salah karena identitas itu sudah terlanjur ada pada diri bakpao. Teori lainnya justru lebih mudah disanggah, menyebut bakpia sebagai keturunan mooncake dan variannya yang juga dibuat di Filipina.
Apa pun kebenaran sejarah yang dianut, penelusuran historis tentang warisan harta karun kuliner dan teknologi serta filosofi yang menyertainya adalah salah satu bahasan yang paling sulit untuk diteliti. Oleh karena itu, saya lebih memilih menyajikan diskusi mendalam dari segi yang lebih kekinian: signifikansi jenis dan merek bakpia terhadap psikologis pembelinya, baik secara sadar maupun tidak.
#1 Bakpia Pathok 25
Pendatang yang membeli bakpia dengan merek satu ini terlanjur terbawa oleh gambar-gambar di sekeliling Jogja dan sekitarnya. Hampir seluruh toko oleh-oleh selalu mencatut nama Bakpia 25. Bahkan para penunggang kuda beroda tiga (baca: becak atau bentor) telah “dicuci otak” untuk membukakan jalan dan mengantarkan para turis sampai tujuan: outlet utama Bakpia 25 yang memang hanya sepelemparan batu dari Malioboro.
Bakpia yang satu ini kalau masih hangat, bisa dinikmati kelembutannya. Mereka yang membeli merek ini bisa dikatakan orang yang cukup moody. Bisa lembut dan hangat saat pertama mengenal, tapi kalau sudah kepalang dingin jadi keras, berkulit tebal, dan tidak menarik sama sekali. Produksi massal yang menguasai pasar kerap berbanding terbalik dengan kualitas dan karakteristik masa lalu yang konon sudah ada sejak 1980.
#2 Bakpia Patuk 75
Mereka yang lahir dan besar di Jogja pasti tahu bahwa jawaban dari merek bakpia pilihan yang pas di lidah orang Jogja asli adalah Bakpia 75. Kulit yang tipis, isian yang banyak, tekstur yang padat, rasa manis yang tidak berlebihan, menyiratkan bahwa sekomplit itulah bakpia yang seharusnya. Jangkep, nggak kurang, nggak pula berlebihan.
Para pendatang mungkin tidak mengerti bedanya. Bahkan ada pula segolongan turis yang justru berpikir bakpia yang berkualitas itu yang tebal kulitnya, beraneka macam rasanya, warna-warni isiannya. Mereka belum tahu saja bahwa para penikmat Bakpia 75 adalah manusia-manusia yang madep, mantep, lan menep. Mengerti akan otentisitas sebuah karya kuliner turun temurun. Paham dan bijaksana menyikapi berkembangnya ratusan jenis neko-neko bakpia kekinian.
#3 Bakpia Kemusuk 033
Tidak banyak yang tahu merek bakpia yang satu ini, tapi mereka yang sekali saja pernah mencobanya, tidak akan bergetar dan gemetar hatinya hingga pindah ke lain hati. Setia sampai mati. Seperti pejuang, bakpia ini memang lahir di kampung pejuang, Desa Kemusuk, Kecamatan Sedayu.
Desa Kemusuk inilah yang jadi saksi kelahiran Mbah Presiden yang fotonya terpampang di mana-mana dengan quote yang sangat legend, “Piye kabare? Enak zamanku to?” Lokasinya memang cukup tersembunyi, di pinggiran Bantul yang berbatasan dengan Sleman, tapi nggak lebih dua puluh langkah dari gerbang museum HM Soeharto.
Mereka yang membeli Bakpia 033 ini juga bisa dibilang petualang dan pengembara sejati. Pencari harta karun dari mulut ke mulut, memastikan dan memilah segan satu di antara ratusan merek bakpia yang bertebaran. Sebelum pandemi, produksi bakpia ini selalu dipesan habis, mustahil membelinya secara langsung pada hari itu juga.
Kulitnya sangat tipis, satu lapisan lembut yang membalut isian kacang hijau yang tentu saja warnanya kuning dan sempurna teksturnya. Menunjukkan ketelitian tak terperikan dari produksi manual lewat tangan-tangan brilian. Hanya ada satu rasa, tetapi entah kenapa nggak pernah bikin bosan. Hangat atau dingin, kualitasnya tetap terjaga. Lidah kita bahkan bisa standing ovation dibuatnya.
#4 Bakpia Kukus Tugu Jogja
Oke, saya harus jujur, jenis bakpia yang satu ini sama sekali bukan bakpia. Tidak ada kulitnya, tidak ada isian khas bakpia, malah ada bungkusan paket butir gel silika. Meskipun demikian, anak-anak muda yang memang sok-sokan kekinian itu nggak ngerti juga. Bahwa media promosi dengan gambar yang mouth watering itu cuma over editing belaka.
Tentu saja seperti semua anomali teori ekonomi dan marketing, yang aneh, nggak otentik, dan eye catching akan selalu jadi trendsetter. Outlet di mana-mana, variannya selalu habis stoknya, ditenteng sana sini dari stasiun kereta hingga bandara di Kulon Progo sana. Mereka yang beli Bakpia Tugu ini memang kaum yang “dewasa” sebelum waktunya, mabuk teknologi dan mengemis pengakuan dari konten. Gitu-gitu aja.
Banyak sebenarnya merek bakpia yang belum saya bahas, tapi ya kalau diumpamakan sebuah film, merek lain-lainnya itu cuma figuran. Karakter tokohnya nggak kuat-kuat amat, cita rasanya banyak yang serupa, variannya sudah mudah diduga. Sebut saja Bakpia Kencana, Bakpiapia, Bakpiaku, Merlino, Citra, Djava, Mutiara, Kurnia Sari, dan ratusan bakpia tak bermerek lainnya.
Lebih dari itu, kalau ingin mengunjungi rumah produksi “film” bakpia, selain tentu saja di kampung Pathuk yang terlalu terkenal itu, sentra bakpia Minomartani bisa jadi pilihan yang mungkin akan menghadirkan plot twist berbeda. Dari situ bisa dimengerti dan dipelajari bahwa karakteristik bakpia yang paling klik dengan lidah dan otak kita adalah perwujudan jati diri tak terbantahkan: jadi manusia seperti apakah kita?
BACA JUGA Teman Saya Mengira Oxygen Absorber Adalah Topping Bakpia Kukus dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.