Kedua adalah perkara makanan. Sebenarnya ini bukan masalah besar karena saya bisa beradaptasi. Hanya, entah kenapa, semua makanan yang saya makan selalu terasa kurang garam dan cenderung manis. Anehnya, sewaktu saya tanya teman saya yang asli sana, dia bilang kalau garamnya pas.
Menu makan harian pun tidak pernah jauh dari nasi sayur tambah lauk. Terkadang kalau sedang bosan, saya biasa beli nasi kucing plus gorengan dari angkringan yang biasa mangkal di Sapen. Tapi, lama-lama, saya akhirnya muak dengan kebiasaan makan saya sendiri. Jatuhnya malah homesick padahal sudah lama tinggal di Jogja.
Dan, ketika pulang, saya bersyukur sekali bisa makan masakan ibu. Padahal tidak ada yang istimewa dari hidangannya. Hanya tempe goreng dan sayur sop. Namun, rasanya benar-benar lezat, terutama rasa asinnya cukup kuat.
Saat saya makan dengan lahap, ibu pasti selalu tanya. “Kakak nggak pernah makan tempe sama sayur di Jogja?”
Kalau sudah begitu, saya cuma bisa nyengir dan menjawab, “Pernah, Bu. Sering malah. Cuma nggak seenak masakan Ibu.” Rasa-rasanya, peribahasa tiada makanan terenak selain masakan ibu itu benar adanya.
Nggak bisa dekat dengan keluarga inti
Faktor ketiga adalah tentang keluarga. Tidak ada yang tahu kapan waktu hidup seseorang akan berakhir. Bisa jadi tahun depan, bulan depan, atau mungkin esok lusa. Saya bersyukur bisa pulang ke Tasikmalaya karena itu berarti saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk lebih dekat dengan ayah, ibu, dan adik.
Saya tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu bersama mereka. Oleh karena itu, di momen kepulangan saya ke Tasikmalaya yang permanen ini, saya berniat untuk memperbaiki hubungan kami. Selain itu, setelah wisuda Juni 2023 lalu, saya sendiri merasa bahwa memang sudah waktunya untuk meninggalkan Jogja.
Note: Apakah suatu hari nanti saya akan kembali ke Jogja? Mungkin saja jika seandainya takdir mengharuskan saya kembali untuk berkarya di sana, ya saya pasti balik. Jika tidak? Ya tidak apa-apa karena “ada 1000 jalan menuju Makkah”.
Penulis: Maulana Hasan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tasikmalaya Tampil Beda: Daerah Sunda, tapi Pakai Papan Nama Aksara Jawa dan Arab Pegon. Kok Bisa?