Banyak sekali mahasiswa yang punya sentimen buruk atau sekadar bingung kenapa ada mahasiswa yang semangat sekali dalam keributan pemilihan calon ketua BEM. Jadi timses calon ketua BEM adalah sebuah aktivitas yang kesannya memang gabut sekali. Kalaupun naik pangkat jadi profesional di kehidupan pasca-kampus paling mentok-mentok cuma jadi BuzzerRp.
Padahal ada banyak sekali hal yang kita bisa dapat dari jadi timses calon ketua BEM. Hal ini bisa bermanfaat dalam banyak sekali situasi.
Menurut saya pemilihan ketua BEM adalah salah satu kegiatan paling kompetitif di kampus. Coba bayangkan saja, di kampus-kampus yang mahasiswanya banyak suara, yang diperebutkan bisa sekitar tujuh sampai lima belas ribu orang. Untuk menang setidaknya perlu sekitar 7500 suara. Jadi dalam waktu sekitar dua sampai tiga minggu, tim harus meyakinkan sekitar 7500 orang terdidik, tanpa menggunakan uang atau kiriman sembako untuk memilih calonnya. Ditambah dengan fakta bahwa tiap fakultas mungkin punya kultur berbeda dan ekspektasi yang berbeda tentang ketua BEM.
Tambah lagi dengan fakta bahwa hampir semua calon ketua BEM fakultas punya preferensi ketua BEM universitas dan sebaliknya. Hal tersebut penting untuk memastikan harmoni antar BEM pada masa kepengurusan selanjutnya. Sehingga para tim sukses tidak hanya harus memikirkan calonnya untuk menang, tetapi juga calon-calon lainnya. Sederhananya akan sangat merepotkan dalam kepengurusan apabila memenangkan BEM universitas tetapi rata-rata BEM fakultas dikuasai lawan politik, begitu pula sebaliknya. Nah, lingkungan sangat kompetitif tersebutlah yang membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya terpaksa putar otak dan mengembangkan skill-nya.
Kemudian muncul pertanyaan, “Memang kalau menang dapat apa?”
Jawaban paling sederhana, kemungkinan untuk diajak jadi pengurus menjadi semakin besar. Tidak selalu karena nepotis, tetapi ketika membahas sebuah organisasi si ketua pasti lebih memilih orang yang pernah bekerja bersama, kan? Di sisi lain, seberapa banyak orang yang cukup nekat untuk mempercayakan posisi-posisi strategis pada orang-orang yang pernah berupaya menyabotase upayanya untuk mendapatkan jabatan-jabatan strategis? Kadang teknik merangkul oposisi seperti di perpolitikan nasional digunakan, sih, tetapi kayaknya nggak sesering itu juga di kampus. Jadi, proses pemilihan bisa jadi kesempatan untuk sampean menunjukan skill yang sampean miliki, dan berharap ditawarin kursi.
“Terus kalau kalah?”
Pertama, sampean bisa kenalan sama senior-senior yang sudah sukses dan masih mau “turun gunung” untuk mengurus kampus. Apakah itu berguna atau tidak, nggak tahu ya tergantung ke mana nasib membawa. Akan tetapi, dapat cerita-cerita pengalaman dari senior-senior merupakan hal yang cukup menyenangkan dan edukatif.
Kedua, makan. Buat anak kosan kere yang kelaparan, basecamp si calon merupakan tempat luar biasa menyenangkan karena selalu ada makanan. Mulai dari gorengan, nasi goreng, sampai fast food hampir selalu tersedia untuk orang-orang yang bertamu. Belum lagi acara makan-makan setelah pemilihan yang hampir selalu ada. Jadi ya orang mengira saya semangat sekali sampai menginap di basecamp, padahal mah sesimpel karena gizi saya lebih terjamin di situ.
Namun, menurut saya yang paling penting dari pemilihan calon ketua BEM adalah skill yang dipelajari. Jadi buat mahasiswa yang nggak kesampean untuk lomba, pemilihan calon ketua BEM bisa banget jadi kompetisi buat mengembangkan softskill sampean.
Pertama, belajar mengenai koordinasi dengan banyak sekali orang. Tim pemenangan calon ketua BEM bisa banyak sekali anggotanya. Permasalahannya tim pemenangan umumnya bekerja dengan suka rela tanpa iming-iming sertifikat apa lagi gaji. Sehingga mendorong orang yang hanya dengan suka rela untuk melakukan tindakan yang produktif secara terorganisir merupakan kesulitan tersendiri yang sangat menarik untuk dipelajari.
Kedua, skill bersosialisasi. Bersosialisasi di sini bukan sebatas pada bertemu dengan orang. Dalam waktu yang sangat singkat dan target yang sebagaimana telah dibahas, setiap pertemuan harus menjadi efektif. Jadi perlu dipikirkan juga siapa orang-orang berpengaruh yang sekiranya mau untuk memberikan bantuan baik dalam bentuk testimoni, mengajak teman-temannya, atau sekadar tidak menyerang calon yang sampean bela.
Pemetaan tersebut baru persiapan awal, selanjutnya perlu dipikirkan apa yang perlu “dijual” kepada tiap-tiap orang penting tersebut, apa yang dapat diminta tanpa membuatnya tersinggung, dan siapa yang tepat untuk melakukan pendekatan. Baru kemudian obrolan dapat dilakukan. Perlu diingat, tiap fakultas memiliki orang berpengaruh yang berbeda-beda sehingga hal tersebut harus dilakukan satu persatu di tiap-tiap fakultas, kalau bisa sampai level jurusan.
Ketiga, skill marketing. Ya, seperti semua kegiatan politik pasti yang sampean jual cuma janji dan selembaran rencana. Sehingga jadi timses akan memaksa anda untuk memikirkan betul-betul memikirkan framing yang ingin dibuat, sampai manajemen media sosial agar antara satu publikasi dan publikasi lainnya dapat saling menunjang. Hal tersebut mencakup bagaimana setiap publikasi mencapai target-target yang diinginkan, bahkan terkadang dilakukan dokumentasi buzzer agar mengetahui di jurusan-jurusan mana saja yang belum terjangkau.
Keempat, skill cyber safety. Saat menjadi tim sukses calon ketua BEM, kesadaran kamu mengenai jejak digital akan menjadi sangat tinggi. Hal-hal seperti harus berbicara apa di platform atau grup apa harus benar-benar diperhatikan, termasuk bagaimana memastikan jejak digital perbincangan-perbincangan yang sebaiknya tidak terekspos publik tidak tersebar. Sampean akan sadar kalau screenshot dan jejak digital lainnya menjadi alat yang sangat berbahaya apabila jatuh ke tangan yang salah. Pada sisi lain, tim sukses juga perlu mengembangkan instingnya untuk mencari rekam digital lawan yang sekiranya bisa dijadikan bahan bikin ribut.
Kelima, skill menguasai panggung dan menciptakan pertanyaan-pertanyaan silet ala mba Najwa Shihab. Hampir semua pertanyaan yang ada saat uji publik BEM adalah pertanyaan yang sudah dipersiapkan. Saya tah karena ini job desk favorit saya.
Pada prinsipnya pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan diajukan karena kita ingin tahu, tetapi untuk mengekspos afiliasi politik, keterbatasan pengetahuan, atau track record yang tidak disukai publik dari calon lawan. Pertanyaan-pertanyaan juga dirancang untuk menekankan dan mengekspos kelebihan calon yang didukung. Pada sisi lain tim juga harus dapat memprediksi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lawan, memikirkan secara matang, dan melakukan briefing ke calon ketua.
Keenam, yang paling peniting, belajar mengelabui peraturan. Selayaknya semua kompetisi, pemilihan calon ketua BEM adalah penghelatan yang memiliki serangkaian peraturan, yang kalau tidak dilanggar sangat rugi karena si lawan juga pasti akan melanggar. Mulai dari pembatasan kampanye yang kalau dibaca baik-baik akan sangat mudah dikelabui. Sampai peraturan batasan, transparansi, dan sumber dana kampanye yang pengawasannya sangat lemah. Intinya, dengan menjadi timses pemilihan calon ketua BEM sampean akan belajar urgensi memahami peraturan dan belajar kreatif untuk tidak terjerat peraturan.
Jadi, buat yang tertarik buat ikut-ikutan demokrasi kampus monggo dicoba. Saran saya hati-hati saja, jangan cuma jadi tumbal senior, atau terlalu dibawa baper sampai-sampai jadi musuh di luar urusan politik. Ingat juga, apalagi ketika sampean muncul di publik taruhan reputasinya besar sekali, jangan sampai blunder karena bisa diingat sampai sampean lulus.
Akan tetapi, apakah ikutan jadi timses calon ketua BEM worth it? Menurut saya sangat. Meskipun dari luar hanya terlihat seperti dua kelompok anak bocah yang merebutkan organisasi paling overrated di kampus. Sebenarnya banyak sekali jaringan, makanan, dan utamanya pelajaran yang bisa banget didapatkan
BACA JUGA Kalau Bikin Kajian Strategis BEM, Tolong Referensinya Jangan Makalah Anak SD