Penjarakan fisik saat pandemi Covid-19 bikin kita merindukan kegiatan yang biasa dilakukan di luar rumah. Pencinta sepak bola kangen dengan euforia nonton pertandingan di stadion karena kompetisi dihentikan. Pencinta kopi harus menyeduh kopi sasetan karena banyak warkop tutup. Pencinta moshing terpaksa mengendurkan ototnya karena hampir tidak ada konser musik. Sebagai pencinta mi ayam, saya juga kena dampaknya. Saya tidak bisa memastikan semua penjual mi ayam di Yogya tutup, tetapi situasi seperti ini membuat saya sadar diri dengan meliburkan jadwal berburu mi ayam agar tak menanggung risiko.
Mencuri-curi kesempatan bukanlah saya banget. Saya enggak senekat DPR dan pemerintah yang memilih melanjutkan rancangan undang-undang kontroversial, seperti RUU Cilaka dan RKUHP. Kalau tidak keluar rumah sudah dianggap berkontribusi memutus rantai penularan, mengapa harus keluar? Bisa-bisa, saya tak akan pernah lagi menikmati mi ayam. Naudzubillah~
Setelah pandemi benar-benar berakhir, saya baru akan melanjutkan berburu mi ayam (kalau ada duit). Masih ada warung-warung mi ayam yang mengundang untuk dicicipi. Kita bisa membuat daftarnya dengan mengikuti postingan-postingan di grup Facebook “Info Mie Ayam Jogja” atau akun kulineran di media sosial lain.
Akan tetapi, dalam berburu mi ayam, kita juga harus pilih-pilih terhadap incaran kita. Saya menahan diri untuk tidak terlalu percaya pada rekomendasi-rekomendasi via media sosial. Kadang-kadang, pendapat kawan sendiri cukup bisa dipertimbangkan sebelum ambil keputusan.
Berbicara makanan memang persoalan selera. Namun, tak sedikit mi ayam yang mengecewakan bila dinilai secara objektif. Saya punya pengalaman buruk berjumpa dengan mi ayam-mi ayam yang kalau saya ulangi lagi rasanya justru kasihan dengan lidah dan uang saya.
Tanpa bermaksud merasa paling otoritatif, saya akan menyusun daftar jenis-jenis mi ayam yang sebaiknya dihindari. Hal ini saya rasa penting sebelum kita melanjutkan perburuan mi ayam setelah wabah covid-19 berakhir.
Daftar ini disusun berdasarkan pengalaman lidah saya mengarungi khazanah per-mi-ayam-an Yogyakarta. Kendati demikian, tidak ada niatan untuk menutup pintu rezeki atau mengumbar kedengkian pada penjualnya, selain sebagai opini belaka. Data-data seperti lokasi dan nama warung tidak saya ungkap. Inilah daftarnya:
Mi Ayam yang memakai mi instan
Dalam pengalaman saya, ungkapan “baca dulu sebelum berkomentar” sepertinya tidak berlaku untuk mi ayam jenis ini. Saat pertama kali membaca iklan mi ayam ini di media sosial, saya justru langsung percaya. Kita juga sepertinya masih percaya-percaya saja saat melihat di daftar menu yang dengan terang tertulis: M-I-E A-Y-A-M.
Berbekal rasa penasaran dan terburu-buru, saya pun mengajak beberapa kawan untuk menjajalnya. Pandangan pertama saat semangkuk mi ayam ini dihadapkan sudah menerbitkan kejanggalan. Kejanggalan itu tampak pada bentuk dan tekstur minya.
Bentuk mi itu keriting. Ketika diluruskan, ia akan kembali seperti semula: keriting. Tekstur kaku juga terasa saat dikunyah. Beda dengan jenis mi basah yang umumnya dipakai penjual mi ayam.
Dugaan saya benar. Ketika menengok kembali lapak si penjual, berjejer beberapa mi instan yang sebelumnya tidak saya perhatikan. Saya punya pendapat bahwa kita belum memakan mi ayam kalau jenis mi yang dipakai adalah mi instan. Kalau cuma mi instan, kita bisa membuat sendiri di rumah. Entah apa yang ada di pikiran penjual ketika berani menyebut olahannya sebagai mi ayam. Lanjot!
Yamin yang disebut mi ayam
Saya bukanlah orang yang kolot. Namun, dalam urusan mi ayam, rasanya adalah sebuah kemurtadan apabila ada yang menganggap yamin sebagai mi ayam. Terlebih kalau hal itu dilakukan penjual.
Beberapa warung yang saya sambangi ketahuan menuliskan mi ayam di daftar menu, padahal mereka sebenarnya menyajikan yamin. Yamin dan mi ayam jelas-jelas memiliki perbedaan. Yamin umumnya disajikan secara terpisah antara kuah dengan mi, sedangkan mi ayam sebaliknya. Ukuran mi yang digunakan untuk yamin juga lebih pipih dari mi ayam.
Dari segi rasa, yamin cenderung asin meski terkadang dikombinasi dengan kecap manis untuk penyeimbang. Ini lantaran toping yamin kebanyakan dalam keadaan kering sehingga tak terlalu memengaruhi kuahnya. Berbeda dengan mi ayam yang biasanya menggunakan potongan daging ayam dalam olahan semur untuk mengintervensi kehambaran kuah.
Kasus yamin yang disebut mi ayam kerap terjadi, maka dituntut disiplin verifikasi sebelum membelinya. Rasanya ambyar mendapati kenyataan tak sesuai ekspektasi.
Mi ayam dengan bumbu yang pelit
Tentu saja kita tak ingin merasakan mi ayam seperti ini. Untuk orang yang mengakui kedigdayaan cita rasa Tumini dalam jagat mi ayam Yogya, bertemu penjual mi ayam yang tidak berani dalam soal bumbu serasa ingin memanggil Chef Juna.
Mungkin mi ayam jenis ini terlihat mengada-ada, tetapi percayalah penjual mi ayam yang pelit bumbu bukan berarti tidak ada di Yogya. Pasalnya, saya pernah mencobanya.
Penjual itu benar-benar menuangkan racikan bumbunya dalam ukuran yang minimalis. Toping dari olahan potongan ayam dan daun bawang yang biasa kita tunggu-tunggu itu seperti hidup segan, dimakan tak mau karena saking sedikitnya. Kalau disuruh milih ya, saya lebih memilih kamu bumbu Indomi daripada bumbu pemberian si penjual.
Bukannya menikmati, memakan mi ayam hambar malah bikin anxiety. Anggaran belanja dan jajan kita seperti terbuang sia-sia. Kita tentu ingin makan mi ayam, bukan makan rebusan minya saja. Jadi, saya sarankan agar menghindari mi ayam jenis ini.
Sekian daftar ini. Semoga bermanfaat dalam memilih mi ayam terbaik.
BACA JUGA Rekomendasi Warung Mie Ayam Mantap dan Murah Meriah di Medan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.