Tiap Sudut Kota Bandung Romantis, kecuali Simpang Dago

Simpang Dago, Neraka di Tengah Romantisnya Kota Bandung

Simpang Dago, Neraka di Tengah Romantisnya Kota Bandung (unsplash.com)

Bandung selama ini selalu digambarkan menjadi kota yang romantis. Apalagi ditambah kini banyak taman gratis dan juga quotes dari Pidi Baiq yang berada di JPO Jalan Asia Afrika. Sayangnya, Simpang Dago nggak termasuk bagian dari romantisnya Kota Bandung.

Simpang Dago adalah sebuah perempatan yang menghubungkan 4 jalan besar di Kota Bandung. Keempat jalan tersebut adalah Jalan Ir H Juanda di sebelah utara, Jalan Dipati Ukur di sebelah timur, Jalan Dago di sebelah selatan, dan Jalan Siliwangi di sebelah barat. Perempatan yang menjadi tempat berdirinya Pasar Simpang Dago ini dilewati tiap hari oleh warga Bandung yang tinggal di kawasan Dago.

Akan tetapi dari pengalaman saya sehari-hari berkendara melewati Simpang Dago, perempatan ini bak neraka bagi pengendara yang melintas. Boro-boro bisa berkendara dengan romantis di sini, kalau lewat sini, pengendara pasti dibuat mengelus dada.

Lampu merah di Simpang Dago Bandung bisa bikin macet hampir 1 kilometer

Untuk perempatan yang letaknya bukan berada di pusat kota, durasi lampu merah di Simpang Dago Bandung rasanya terlalu lama. Sungguh, lampu merah di sini benar-benar menguji kesabaran pengendara, apalagi di sore hari ketika kebanyakan orang pulang kerja. Lamanya durasi lampu merah dii Simpang Dago ini sampai bikin kemacetan sepanjang hampir 1 kilometer.

Kemacetan yang terjadi di Jalan Dago dari arah Dago Pakar dan juga di Jalan Siliwangi dari arah Baksil cukup menyebalkan. Apalagi kalau mengingat kebanyakan pengendara yang melewati perempatan ini sudah penat seharian bekerja. Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengelus dada.

Kondisi jalan yang menguji kesabaran

Di beberapa titik, kondisi jalan di perempatan Simpang Dago ini nggak selalu mulus. Masih ada saja jalanan yang begitu menguji kesabaran.

Misalnya saja kondisi jalan di Jalan Siliwangi tepat sebelum Simpang Dago Bandung. Di sana ada lubang yang sangat mengganggu pengendara. Belum lagi kondisi Jalan Siliwangi ini jadi sempit karena dibagi dua.

Parkiran di depan pasar yang makan ruas jalan

Pasar Simpang Dago yang tepat berada di samping Simpang Dago Bandung ini menjadi tempat belanja bagi warga di Kecamatan Coblong. Nggak heran jika di waktu-waktu tertentu, pengunjung yang datang ke pasar ini begitu membludak. Tapi yang menjadi masalah adalah nggak ada tempat parkir khusus bagi pengunjung pasar ini.

Akibatnya banyak pengunjung yang parkir di pinggir jalan dan terkadang makan ruas jalan sehingga mengganggu pengendara yang melintas di Simpang Dago Bandung. Belum selesai dengan durasi lampu merah yang cukup lama, eh, ini ditambah jalanannya dipenuhi parkir motor sembarangan.

Razia dadakan di Simpang Dago Bandung dan polisi yang bikin saya mengelus dada

Kenangan yang saya dapatkan selama melewati Simpang Dago ini bukan kenangan romantis, melainkan kenangan yang tragis. Gimana nggak, beberapa kali melintasi perempatan ini saya selalu bertemu dengan polisi yang secara tiba-tiba melakukan kegiatan razia.

Saya nggak mempermasalahkan ketika dirazia polisi karena memang itu adalah kesalahan saya saat berkendara. Tapi pernah suatu waktu saya kena razia dengan kondisi semuanya lengkap, hanya plat nomor belakang belum dipasang karena spakbornya rusak. Itu pun plat nomornya ada di bagasi motor. Padahal sisanya sudah lengkap, lho, ya.

Momen yang menyebalkannya adalah pada waktu bersamaan, ada satu pengendara motor yang nggak memasang plat nomor di motornya dan memakai knalpot bising, tapi dibiarkan begitu saja. Memang sih motornya tampak kelihatan lebih mahal daripada milik saya yang kena razia. Saya jadi suuzan kalau polisinya segan merazia motor mewah dan berkelas sekalipun nggak menaati peraturan di Simpang Dago Bandung ini. Tapi semoga itu cuma perasaan saya, ya.

Begitulah pengalaman saya berkendara sehari-hari melewati Simpang Dago Bandung. Pesan saya cuma satu, jangan coba-coba lewat perempatan neraka ini kalau kesabaran kalian setipis tisu dibagi tujuh!

Penulis: Handri Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pertigaan Gandok, Pertigaan Paling Meresahkan di Kota Bandung. Mulai dari Durasi Lampu Merahnya yang Menguji Kesabaran, sampai Ada Teror “Pocong”!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version