Setelah ramai tren pesan kaleng NGL Link di Instagram, gegap gempita sosial media kembali menawarkan tren lain, yaitu tes usia mental. Tes tersebut diklaim dapat mengukur seberapa sepuh mental kita. Hal ini tentu menarik karena usia mental nantinya bisa dikomparasi dengan usia kita sebenarnya, melahirkan narasi bahwa mental ini sesungguhnya lebih cepat berumur daripada tubuh yang menaunginya.
Tes usia mental ini sendiri awalnya rilis di Jepang pada 2013. Hingga kini, sudah ada lebih dari 27 juta orang di 156 negara yang menjajalnya. Menurut data analitik yang dihimpun, rata-rata usia orang Indonesia adalah 25,5 tahun. Secara kultural, usia 25 tahun memang sudah terbilang matang untuk ukuran orang Indonesia. Di usia segitu, ada banyak uji nyali yang tersedia, seperti pertanyaan kapan nikah di setiap acara kondangan dan lebaran, hingga daftar rupa-rupa tagihan.
Oleh karena pembicaraan yang ramai di sosial media, saya pun terdorong untuk mengikuti tes ringan tersebut. Setelah menjawab sekitar tiga puluhan pertanyaan, web mengumumkan bahwa usia mental saya 17 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Nggilani, memang.
Untungnya, saya tidak sendiri. Ketika saya mengklik tagar #TesUsiaMental yang bersemayam di kolom trending, ada banyak orang membagikan hasil tes mereka dan hampir semuanya mendapat hasil bahwa usia mental mereka jauh lebih tua.
Menariknya, hasil tes yang katanya bisa dipercaya itu tak membuat mereka kaget. Justru hasil tersebut seakan jadi bentuk refleksi atas kerasnya hidup dan ributnya isi kepala sehari-hari sehingga membuat mental kebanyakan orang cepat tua. Secara tidak langsung, tes ini seakan mewadahi orang-orang untuk sama-sama mengamini bahwa hidup makin sulit, namun kita tidak punya pilihan lain selain terus berjalan. Miriplah seperti salah satu judul buku Bapak Kepala Suku Mojok, yaitu Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya. Ngwerihh.
Dalam analisis yang lebih serius, fenomena tren ini mengingatkan saya pada perdebatan yang cukup hangat di sosial media beberapa waktu lalu. Yakni tentang narasi bahwa generasi muda zaman sekarang lebih rawan terkena gangguan kesehatan mental. Faktanya, kok ya memang benar. Tes usia mental ini, menunjukkan hal tersebut, meski tak eksplisit.
Sebuah studi yang melibatkan dua kelompok lintas generasi diselenggarakan Holland & Barrett untuk membuktikan hal tersebut. Hasilnya, 41 persen generasi zaman now mengaku mengalami stres secara konstan setiap harinya. Sementara 40 tahun lalu, hanya ada 15 persen generasi muda di zaman itu yang mengalami stres, sisanya mengaku tidak mengalami gangguan berarti.
Padahal, kesejahteraan manusia tentu sudah banyak mengalami peningkatan, tapi kok malah banyak yang mumet? Apakah perkembangan zaman membuat orang makin kufur nikmat? Usut punya usut, pesatnya perkembangan teknologi dan kondisi ekonomi dunia yang makin morat-marit menjadi penyebab utama dari stresnya anak-anak muda. Hasil tes usia mental ini, lagi-lagi, membenarkan hal tersebut meski tak eksplisit.
Banyak orang yang ingin cepat kaya dan khawatir tentang prospek punya rumah pribadi sebelum memasuki usia senja. Padahal kita tahu, eskalasi harga tanah makin gila setiap tahunnya. Nggak cukup sampai di situ, keberadaan media sosial di zaman ini turut menciptakan standar hidup yang tak wajar. Tuntutan sosial pun turut menambah daftar panjang kekhawatiran di zaman ini sehingga banyak anak muda berusaha untuk mencapai goals duniawi seperti body goals, relationship goals, dan masih banyak lagi sebelum tenggat waktu tertentu. Rasanya hidup seperti sinema kejar tayang dengan jiwa-jiwa yang menua kemudian bergentayangan.
Tentu, ini bukan sepenuhnya salah para generasi muda. Sebagai individu yang memang lahir di zaman kemajuan teknologi, kita seakan tak bisa memilih selain ikut terjun dalam arusnya yang bercabang-cabang: banyak yang baik, tapi banyak juga yang membawa ke keburukan. Saya juga nggak tahu ini salah siapa. Bisa jadi memang bukan salah siapa-siapa, atau terlalu banyak yang salah sampai nggak bisa terdeteksi lagi.
Yang pasti, memiliki mental berkali lipat lebih tua dari usia sebenarnya akibat kerasnya tempaan hidup hingga ekspektasi lingkungan yang setinggi tower Burj Khalifa itu mengindikasikan bahwa kamu bakoh dan luar biasa. Dan tes usia mental membuktikannya, ancen urip saiki ki uangelll.
Kalau kalian penasaran tesnya kek mana, klik link ini aja. Selamat mencoba!
Penulis: Salma Fauziah Khairunnisa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menyiapkan dan Menguatkan Diri Memasuki Usia 30