Dibandingkan dengan anak-anak masa kini, sewaktu kecil saya termasuk seseorang yang sulit sekali diajak berfoto. Ada rasa enggan dan ogah. Kala itu, saya juga belum mengenal kata narsis sekaligus canggung jika berhadapan dengan lensa kamera. Seringkali bingung harus bergaya seperti apa. Meski akhirnya, jika terpaksa diajak foto, gaya yang saya gunakan adalah mengangkat dua jari—membentuk huruf V—melambangkan simbol “peace”.
Kebiasaan dalam malas berfoto pun terbawa hingga masa remaja. Semenjak kemunculan handphone dengan fitur kamera sebagai teknologinya, alih-alih bernarsis ria dengan memperbanyak swafoto pada galeri handphone, saya justru lebih senang memotret objek tertentu atau orang lain. Bahkan, saya lebih semangat jika diminta memfoto dibanding difoto.
Walau tidak bercita-cita atau tidak berbakat dalam dunia fotografi, jika menjadikannya sebagai hobi, sah-sah saja, kan? hehe. Itu pun hanya bermodalkan handphone Nokia seri 6600. Ya, kala itu saya hobi memotret menggunakan handphone, bukan kamera profesional. Jadi, harap maklum dengan keterbatasan resolusi pada foto yang didapat.
Meskipun begitu, kamera Nokia 6600 termasuk canggih pada masanya dan tetap diperhitungkan untuk hasil sembarang foto. Selain memang saya antusias karena handphone yang dimiliki termasuk canggih pada zamannya.
Dalam menjalani hobi berfoto tersebut, terkadang saya menjadi lupa waktu karena rasa antusias yang tidak dapat dibendung. Mau di siang hari, sore menjelang maghrib atau malam, jika memang sedang ingin berfoto, ya foto saja—apa pun itu. Sampai akhirnya Ibu berpesan jangan mengambil foto pada waktu maghrib. Mitosnya, segala macam hantu termasuk juga kuntilanak sedang keluari dari sarangnya saat maghrib tiba.
Itu kenapa, Ibu beserta beberapa orang terdahulu menyarankan agar ketika maghrib baiknya di rumah saja, kecuali memang ingin pergi ke masjid. Entah itu mitos yang diceritakan hanya untuk menakuti atau memang nyata adanya. Yang jelas, pada masanya saya terbilang bandel untuk bisa disiplin—saat maghrib harus di rumah. Bahkan seringkali saat maghrib masih berada di luar rumah bersama dengan teman yang lain.
Salah satu sepupu saya yang masih kecil pun sedikit menantang dengan meminta difoto saat adzan maghrib berkumandang. Parahnya lagi, dia meminta foto di depan pintu toilet yang terbuka lebar. Padahal dia sudah mengetahui, toilet adalah salah satu ruangan lembab yang disukai makhluk halus dan dijadikan tempat tinggal. Namun, dia tidak menghiraukan dan tetap meminta untuk difoto.
Tanpa negosiasi berkepanjangan, akhirnya saya memotret dia di depan pintu toilet yang sedang terbuka lebar. Dia bergaya dengan mengedipkan satu matanya. Hasilnya? Nihil. Tidak ada apa pun yang didapat pada jepretan kamera handphone Nokia 6600. Setelah itu, kami bergegas mandi dan solat maghrib berjamaah. Agak kecewa karena tidak mendapat penampakan apa pun, tapi ya sudahlah. Mungkin bisa dicoba di lain waktu.
Keesokan harinya, karena kebetulan sedang libur, pada pagi hari saya iseng mengecek galeri handphone sambil melihat koleksi foto sebelumnya. Lalu, sontak saya kaget ketika melihat beberapa foto sepupu yang bergaya di depan kamar mandi pada hari sebelumnya. Persis di belakangnya, ada sosok berjubah putih dan berambut panjang dengan mata merah menyala. Nampak jelas karena tingginya, melebihi tinggi sepupu saya. Padahal, sebelumnya tidak muncul penampakan apa pun.
Dari yang sebelumnya sengaja mencari-cari, begitu menampakkan diri, saya malah jadi ketakutan. Dilematis rasanya, mau menyimpan fotonya tapi ya takut dan terbayang-bayang jika di rumah sedang sendiri—terlebih jika ingin ke toilet. Tapi jika dihapus pun sayang, kan bisa buat kenang-kenangan dan jadi bahan cerita. Akhirnya, saya memutuskan untuk menghapus foto tersebut. Sebab, rasa takut saya lebih besar dibanding keisengan saya yang tidak seberapa.
Apa yang dikatakan Ibu terbukti benar. Saat maghrib, baiknya jangan melakukan hal yang aneh-aneh, jika tidak ingin melihat dan merasakan hal yang di luar nalar juga batas kewajaran. Dasar memang bandel, ketakutan saya hanya berlangsung sementara. Beberapa hari kemudian, saya mengajaknya kembali berfoto di suatu taman saat maghrib tiba.
Apa yang saya dapatkan pada hasil jepretan foto betul-betul membuat kapok. Lagi-lagi, di belakang sepupu saya ada sosok berjubah putih dengan rambut yang sangat panjang sedang melayang. Total ada tiga foto yang didapat, sepupu saya dengan gaya yang sama, sedangkan sang kuntilanak dalam tiga kali foto seperti semakin mendekati kamera. Seakan ingin membuktikan eksistensinya pada saat maghrib adalah benar-benar nyata. (*)
BACA JUGA Emak-Emak Pencinta Drakor VS Emak-Emak Anti Drakor atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.