Tulisan ini berkisah tentang sahabat. Sahabat saya, nenek saya, pedagang bakso, pedagang martabak, pedagang gorengan, bahkan mungkin sahabat kita semua yang tersengat ulah PLN. Sebut saja namanya Si Melon. Iya, Melon. Namanya menggambarkan rupanya; hijau dan bulat.
Jauh sebelum pandemi Covid-19, bahkan jauh sebelum, sebelum, dan sebelum, si Melon telah menemani kita semua. Keberadaannya sangat membantu keberlangsungan hidup banyak orang. Terutama mereka-mereka para pedagang kecil dan ibu-ibu rumah tangga.
Tidak semua sih, tapi hampir semua. Itu sudah cukup kan menjelaskan betapa penting Si Melon. Si Melon memang tak dapat bicara, dia diam saja saat para kuli menginjak dan melemparnya masuk dan keluar truk, pickup, dan kendaraan lain yang membawanya. Karena bagi Si Melon, memberi manfaat bagi banyak orang adalah tujuan hidup yang sebenarnya.
Perkenalan dengan Si Melon
Supaya kita lebih mengenal Si Melon, tak ada salahnya kita flashback dulu, ke beberapa waktu yang lalu ketika PLN belum bikin jengkel kita semua. Jadi, si Melon ini pertama kali diperkenalkan tahun 2007 oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu dengan dasar hukum Peraturan Presiden No.5 tahun 2006.
Tujuannya antara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah dan mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi. Saat itu, Si Melon diklaim sebagai bahan bakar yang praktis dan bersih. Gimana? Keren bukan Si Melon satu ini? Jadi wajar kalau sejak saat itu Si Melon langsung menjadi sahabat banyak manusia di Indonesia.
Pernah juga sih Si Melon disalahkan sebagai penyebab kebakaran, bahkan sempat hampir dibenci. Tapi, kebenaran akan selalu menjadi kebenaran, bahwa bukan Si Melon penyebab utama kebakaran itu, kita sebagai manusia yang tak akan luput dari salah dan khilaf. Jadi, selama si Melon diperlakukan dengan baik, dirawat, di-cek sebelum digunakan, ditempatkan di tempat yang aman, niscaya tak akan terjadi hal yang tak diinginkan.
Lantas ada urusan apa Si Melon sama si Covid Covid itu? Kok tadi di awal sempat disebut perihal Covid. Oke, mari kita pindah ke sub topik berikutnya.
PLN oversupply Listrik
Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan berita tentang PLN yang mengalami oversupply atau bahasa kerennya “kelebihan pasokan listrik”. Artinya, listrik yang sudah diproduksi tidak terpakai atau daya serap terhadap listrik sangat kecil. Katanya sih kelebihan pasokan PLN itu bisa sampai 6-7 gigawatt (GW) akhir tahun ini.
Saya sih tidak begitu paham 6-7 gigawatt itu sebesar apa, tapi sepertinya memang sangat besar. Buktinya PLN memiliki kewajiban bayar sekitar 3 triliun rupiah per tahun untuk setiap 1 GW. Ini kata Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah, lho. Kalau listriknya tak terpakai, kenapa PLN harus bayar? Katanya sih karena kontrak PLN dengan produsen listrik swasta itu menggunakan skema take or pay, jadi terpakai atau tidak ya harus tetap bayar. Terus Said Abdullah itu orangnya yang mana sih? Ssssttt… udah diem-diem aja, biar diajak naik private jet yang di dalamnya bisa sambil merokok.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, beberapa faktor yang menyebabkan PLN mengalami oversupply antara lain sejumlah PLTU bakal segera beroperasi dalam waktu dekat dengan kapasitas yang sangat besar.
Namun, yang membuat saya menyinggung perihal Covid-19 di awal tadi karena ternyata memang ada kaitan antara pandemi ini dengan kondisi listrik PLN. Haryanto W.S, Direktur Bisnis Regional, Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) PT. PLN (Persero) mengatakan bahwa dampak pandemi corona (Covid-19) pada 2020 membuat kondisi kelistrikan PLN mengalami kelebihan pasokan atau oversupply.
Asumsi saya yang awam soal listrik begini: mungkin saat pandemi Covid-19 itu banyak industri yang mengurangi aktivitas, bahkan berhenti beroperasi, sehingga berdampak pada listrik PLN yang semakin tak terpakai. Jangan ditanya datanya mana, lho. Namanya juga sekadar asumsi pribadi.
Kompor listrik, kendaraan listrik, pokoknya serba listrik
Kelebihan pasokan listrik yang demikian besar membuat PLN kelimpungan. Dengan kata lain, hal itu menjadi beban berat bagi mereka. Akibatnya, PLN ingin masyarakat ikut menanggung beban tersebut. Dengan cara apa? Dengan cara mengintervensi kerajaan para ibu-ibu rumah tangga, yakni dapur. Dengan berbagai alasan, PLN “memaksa” para ibu-ibu atau para emak-emak untuk menggunakan kompor listrik.
Salah satu perwakilan emak-emak di DPR, yakni Raden Wulansari atau biasa kita kenal dengan Mulan Jameela, sudah dengan sangat tegas menyampaikan protesnya, bahwa kompor listrik tidak cocok dengan masakan Indonesia. Ini belum termasuk bagaimana para pedagang bakso keliling harus putar otak agar tetap dapat berjualan dengan kompor listrik. Tak cukup sampai di situ, daya listrik 450 VA juga kabarnya akan ditiadakan. Entah dihapus/dinaikkan itu sama saja, hanya permainan kata belaka. Toh nantinya rakyat tetap akan bayar lebih mahal.
Meski pada akhirnya dibatalkan, kita tahu kalau kompor listrik dan kenaikan daya listrik yang tengah direncanakan tersebut belum cukup mengurangi beban PLN. Sehingga penggunaan kendaraan listrik juga semakin didorong oleh pemerintah akhir-akhir ini. Khusus kendaraan listrik ini tidak perlu dibahas panjang kali lebar sampai kepada siapa yang akan jadi pemasok ini dan itu, bla dan bla. Kita semua tahu, intinya pasti bukan rakyat kecil yang diuntungkan.
Lantas jika semua peralatan dapur akan serba listrik, bagaimana nasib sahabat kita Si Melon? Entahlah, semua dari kita tak ada yang tahu pasti.
Namun, untuk pertama kalinya, Si Melon berbicara meski tanpa suara. Dia bilang hampir mati akibat tersengat listrik 7 gigawatt. Rakyat kebanyakan manggut-manggut saja. Karena pada akhirnya, rakyat ini senasib seperti Melon, ikut menanggung beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Seru ya hidup di bawah pemerintahan ini.
Penulis: Dedi Sulaiman
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mengganti Elpiji dengan Kompor Induksi ketika Aliran Listrik Belum Merata, Pemerintah Sehat?