Dari lini masa Facebook, melintas status Mas Agus Mulyadi tentang pembajakan buku. Juga melintas statusnya Mas Armand Dhani tentang pembajakan buku. Kemudian, saya pindah ke Twitter, tak sengaja melihat sebuah utasan dari Kalis Mardiasih, masih dengan topik yang sama. Pembajakan buku.
Lorong waktu kembali terbuka setelah pak Haji dan Zidan siap, lalu enter. Saya hinggap dalam ingatan beberapa bulan lalu. Saat itu saya baru saja memulai untuk berjualan buku. Jualan online.
Seorang calon pembeli datang dengan bertanya-tanya harga buku ini berapa, itu berapa. Setelah saya melayani dengan sabar, tanpa tedeng aling-aling si Calon Pembeli manampar mental saya dengan sebuah pernyataan: “Wah Mas, kamu jualan mahal banget. Di Pasar Senen sana, saya bisa dapat buku ini dengan harga 20.000.”
“Hah, serius? Tapi asli?”
“Enggak, lah. Ngapain yang asli. Isinya juga sama aja kan.”
Saat itu, detik itu juga, saya baru melihat sebuah kenyataan bahwa tidak semua orang mau untuk membeli buku asli. Pernah saya berpikir, mungkin ini soal harga. Tapi harga buku yang saya tawari waktu itu sebetulnya tidak mahal-mahal banget. Masih di bawah angka 100.000.
Mental saya belum terbentuk dengan baik sebagai orang yang ingin berniaga. Awalnya memang semacam shock terapi. Tapi hal ini cukup membuat saya berpikir untuk mencoba bermacam strategi harga. Modal saya tidak besar. Stok-stokan pun tidak banyak. Begitu pula dengan keuntungan.
Saya tidak sedang bernafsu untuk mendapatkan keuntungan berlimpah. Cukup bakulan buku saya laku. Itu saja sudah membuat saya senang. Nggak apa-apa untung sedikit. Yang penting uang bisa berputar. Yang penting buku bisa distok kembali dari penerbit. Tapi kalau buku yang saya jual harganya dibanding-bandingkan dengan harga buku bajakan. Ya jelas, ramashook blass~
Saya berusaha mengerti, akan selalu ada orang yang mencari-cari harga lebih murah dari harga pasaran. Meskipun harga sudah didiskon, tetap akan ada orang yang mencari diskon lebih banyak lagi. Semacam mencari harga yang paling murah. Semurah-murahnya.
Maka dari itu saya tidak lagi heran, jika calon pembeli tersebut lebih memilih buku bajakan ketimbang buku asli. Yang dia butuhkan bukanlah kualitas fisiknya. Yang penting isinya. Yang penting harganya murah. Kalau bisa 100.000 dapat 5 buku best seller sekaligus. Apapun itu judul bukunya
Tidak semua orang mampu dan mau membeli buku asli. Mungkin mereka merasa sayang untuk mengeluarkan uang lebih banyak. Atau apapun, buku bajakan bukanlah sebuah solusi bagus.
Ada banyak solusi yang bisa kita dapat. Misalnya, dengan mengunduh aplikasi perpustakaan digital di smart phone. Tapi persoalannya juga tidak semua buku yang terbit ada di perpustakaan digital. Apalagi penerbit-penerbit buku indie atau penerbit alternatif.
Lagi pula saya tidak bisa melarang calon pembeli tersebut untuk jangan membeli buku bajakan. Saya tidak bisa memberi nasihat tentang bajakan dengan dalil-dalil dari undang-undang dasar. Itu pilihan pembeli. Juga hak atas uang-uang dari hasil keringatnya. Calon pembeli bebas merdeka untuk menentukan beli buku asli atau bajakan.
Pembajakan ada karena permintaan pasar. Ada konsumen. Kita tidak bisa terus menerus menghajar para pembajak buku. Rasanya konsumennya juga perlu berpikir sebagaimana ia berpikir ketika membaca buku. Apakah buku bajakan ini benar-benar bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat dalam dunia perbukuan?
Sebagai insan yang sedang berusaha merangkak dalam dunia perbukuan, sungguh, saya merasa sedih membaca sebuah tangkapan layar yang membenarkan bahwa pembajakan adalah sebuah keniscayaan. Saya hampir tak mengerti bagaimana bisa narasi-narasi bersudut pandang kemiskinan menjadi dasar legitimasi pembajakan buku.
Seolah itu memaksa saya untuk bisa menerima dengan keterbukaan pemikiran, hati, dan perlakuan, bahwa pembajak buku juga butuh makan. Meminta kita untuk berbagi lahan. Berbagi makanan.
Sadar nggak, sih? Dari rasa kepuasan atas buku yang kita beli, baca, bicarakan, lalu difoto untuk keperluan konten, ada orang-orang di balik buku itu yang juga merasa puas. Sialnya, tidak semua orang mampu bercinta dengan baik.
Bercinta dengan buku bajakan hanya untuk kepuasan nafsu membacanya sendiri. Tapi tidak peduli dengan kepuasan orang-orang yang telah keluar keringat atas kerja keras dalam lahirnya sebuah buku. Tidak peduli dengan orang-orang yang telah membuat nafsu membacanya terpuaskan. Egois.
Padahal dengan membeli buku asli kita akan menyenangkan banyak orang. Kita senang, penulis idola kita juga senang. Editor buku senang, orang yang tugasnya me-layout juga senang. Penjual buku senang, penerbit juga senang. Percetakan senang, karyawannya juga senang.
Sialnya, ada saja pembaca buku yang hanya sekadar ingin beronani. Membaca isinya. Merampas hak-hak orang yang terlibat dalam perbukuan dengan membeli buku bajakan harga murah. Saya tidak mengutuk pembaca buku macam ini. Itu haknya sebagai konsumen.
Kalaupun ada seseorang yang berkata: “Tapi kalau melarang pembajakan, itu artinya mematikan rezeki para pedagang buku bajakan, jangan serakah dong, masak nggak mau berbagi makanan.”
Sungguh luar biasa sekali. Memangnya penulis, editor, layouter, pegawai penerbit, pegawai percetakan, penjual buku, tidak butuh makan juga?
Dengan statement tersebut seolah kita yang terlibat di dunia perbukuan diminta untuk terbuka pikiran, hati, dan perasaan untuk menerima bahwa pembajak buku juga berhak. Kemudian mengesampingkan hak-hak kita yang dirugikan.
Ini sama halnya dengan ada seorang pencopet lalu kita menerima dengan lapang dada dan berpikir kalau pencopet itu juga butuh makan. Mengesampingkan barang kita yang telah dicuri. Kalau memang hak yang dicuri itu milik pribadi, ya nggak masalah diminta ikhlas.
Yang membuat kita nggak terima pembajakan adalah banyak hak-hak orang lain yang juga dicuri. Ayolah, kita kesampingkan dulu penulis-penulis yang selalu kita anggap kaya dari hasil menulis buku. Coba palingkan pandangan kepada orang-orang yang terlibat dalm perbukuan.
Apa kita tega, melihat penulis susah payah meriset ini-itu untuk sebuah karya? Apa kita tega, melihat layouter yang kerja pagi, siang, malam untuk melayout 100, 200, bahkan sampai 300 halaman dalam satu buku?
Apa kita tega melihat editor yang susah-susah mengedit kata demi kata, paragraf demi paragraf hingga menjadi satu keutuhan sebuah buku? Apa kita tega, mendengar kabar sebuah penerbit bangkrut, percetakan buku bangkrut, karyawannya di-PHK gara-gara kerugian dari pembajakan?
Sebuah buku lahir tidak dalam hitungan sehari, dua hari. Ada jalan dan proses yang panjang. Ada begitu banyak keringat yang tercurahkan. Setelah semua proses itu terlewati, lantas kamu jiplak plek-plek-plek gitu aja. Sementara keuntungan dari pembajakan buku dinikmati sendiri dalam lingkaran para pembajak.
Tanpa memikirkan keringat-keringat yang bercucuran selama proses sebuah buku untuk bisa sampai di tangan pembaca, apa ini yang namanya berbagi makan? Apa ini yang namanya berbagi rejeki dari buku? Kalau memang benar seperti itu, sungguh terpujilah wahai engkau para pembajak buku. (*)
BACA JUGA Sancaka di Gundala: Penyebar Virus Literasi dari Jagat Sinema Bumilangit atau tulisan Allan Maulana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.