Dua belas tahun belajar di bangku sekolah tak menyurutkan semangat gue melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ya, kuliah. Berbeda dengan sekolah, kuliah memang memiliki kekhasannya sendiri, mulai kelas yang nomaden (pada umumnya), sebutan ‘kakel dan adkel’ yang berubah ke ‘kating dan adting’ atau lebih tragis ke ‘senior dan junior’. Sebutan tenaga pendidik juga pada umumnya berubah dari guru ke dosen. Dosen pula terbagi lagi menjadi bermacam-macam dosen mulai dari dosen wali, dosen pembimbing skripsi, dosen matkul, dosen tutor, asisten dosen, dan lain sebagainya.
Kali ini gue akan mengulas beberapa hal menarik dari pengalaman gue selama dua belas tahun bersekolah dan dua tahun berkuliah dari bidang yang dua tahun terakhir gue tekuni, yups statistika. Sebelumnya udah tahu belum, apa itu statistika? Apa bedanya statistika dan statistik?
Gue jelasin dulu deh bentar dari penjelasan dengan pendekatan filosofis, kenapa? Sebab biasanya penjelasan secara definisi lebih sulit dicerna dibanding penjelasan dengan pendekatan filosofis disertai contoh.
Menariknya gini, misalkan bapak gue bikin kopi. Nah biar rasanya lebih mantap ditambah gula, kan? Setelah dirasa sesuai, lalu dicicipi satu seruput atau dua seruput. Dari dua seruputan tadi, bapak gue bisa tuh menyimpulkan kopi ini mantap. Bapak gue nggak perlu lagi namanya nyicip segelas kopi untuk menyimpulkan kopi itu sudah mantap. Hal tersebutlah yang dinamakan statistik. Secara definisi, statistik adalah nilai karakteristik yang melekat pada sampel. Pada contoh tersebut adalah tingkat kemanisan kopi (misalnya). Nah dari statistik tersebut dapat pula disimpulkan untuk seluruh populasi (yaitu secangkir kopi) itulah yang kemudian dinamakan statistika inferensia.
Selain statistik, dikenal pula istilah yang lebih umum yaitu statistika. Pada jenjang SMP atau SMA, mungkin kita semua telah mengenal konsep definisi statistika sebagai suatu ilmu yang mempelajari pengumpulan, pengolahan, penyajian data, analisis, dan inferensi data. Statistika adalah mata kuliah wajib khususnya untuk mahasiswa saintek dan soshum. Maka wajar saja jika dosen dan guru yang tentu merasakan jenjang perkuliahan sudah sangat khatam dengan statistika ini.
Sebenarnya apa aja sih prinsip-prinsip statistik yang sering dianut guru dan dosen?
Pengambilan Sampel secara Random
Prinsip random atau acak biasanya diterapkan dalam tunjuk menunjuk siswa atau mahasiswanya untuk maju ke depan mengerjakan soal. Biasanya guru dan dosen menunjuk anak didiknya sesuai absen berdasarkan tanggal hari ini, tanggal lahir anak didik yang ditunjuk sebelumnya, dan sebagainya. Tak dapat dimungkiri prinsip random inilah prinsip yang paling sering digunakan pengajar. Selain memberikan efek deg-degan, tentu penunjukkan secara random ini bersifat menyeluruh dan adil karena semua peserta didik memiliki peluang yang sama untuk dipilih. Oleh karena itu, mereka memiliki rasa was-was yang sama dan semua peserta didik siap untuk menjawab. Walau akhirnya jika tidak ditunjuk akan merasa lega, “Untung gue nggak ditunjuk, gue nggak belajar apa-apa semalem.”
Kekurangan prinsip random menggunakan teknik seperti menggunakan tanggal, bulan, tahun, dan jam ini terbatas oleh angka maksimal. Misalkan jumlah peserta didik di suatu kelas ada 37 anak, tapi seperti yang kita tahu hanya terdapat tanggal 1 s.d. 31. Maka sudah dapat dipastikan pula absen 32 s.d. 37 tidak memiliki peluang {P(32≤X≤37)=0} untuk ditunjuk maju ke depan.
Inferensi
Konsep random inilah yang kemudian dipakai dalam metode sampling. Intinya, apabila kita mengambil sampel secara random maka dapat dipastikan secara statistik sampel tersebut akan mengestimasi populasi. Jadi guru atau dosen tidak perlu mengetahui keadaan semua anak didiknya untuk mengetahui siapa yang paham dan belum paham. Pilihlah random sampel sebagian saja, suruh mengerjakan soal di depan, lalu simpulkan sendiri. Proses inilah yang dinamakan inferensi statistik.
Penilaian secara Random
Pengambilan sampel secara random tentu belum apa apanya menakutkan dibandingkan dengan penilaian random. Banyak kasus yang telah gue dengar, dosen atau guru sewaktu memberikan nilai/indeks akhir tidak benar-benar melihat kompetensi siswa, mengoreksi jawaban dari ujian-ujian mereka. Tenaga pengajar seperti itu biasanya terlalu sibuk dengan urusannya atau bahkan terlalu malas menjalankan kewajibannya. Untuk memberi nilai akhir, biasanya cenderung untuk merandom nilai. A,B,C tentu beruntung apabila mendapat A. Coba bayangkan apabila peserta didik yang rajin justru mendapat nilai C? Tentu random yang seperti ini tidak dapat dibenarkan. Hmmm, semoga Mas Menteri membaca tulisan ini, sehingga bisa mengevaluasi hal-hal yang seperti itu.
Menambah Nilai dengan Standarisasi
Rata-rata, median, dan variansi data perlu benar-benar diperhatikan dalam standarisasi nilai. Sebagai ilustrasi, misalnya di sebuah sekolah ada 9 kelas yang berbeda. Setiap guru matematika mengampu 3 kelas misalnya dan setiap guru tersebut berbeda tipikalnya ada yang pelit nilai ada yang dermawan nilai. Maka dalam hal ini seharusnya sekolah dapat melakukan standarisasi dengan melihat rata-rata dan simpangannya. Contoh gampangnya gini, A adalah siswa yang pintar, rajin, dan tidak sombong kebetulan mendapat nilai yang rendah karena diampu oleh guru matematika yang pelit nilai. Adilkah jika dibandingkan dengan B, anak kelas sebelah yang “petakilan” nilainya lebih tinggi dari si A karena diampu guru yang dermawan nilai?
Prinsip standarisasi ini biasanya dipakai untuk membandingkan nilai antar kelas yang berbeda gurunya, atau dilakukan instansi atau sekolah untuk menaikkan (mengkatrol) nilai yang buruk. Misalnya saja di sebuah sekolah banyak yang mendapat nilai rendah sekitar 30 s.d. 40 karena misalnya sekolah tersebut berstandar internasional sehingga peserta didik tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan cepat. Maka instansi yang mengetahui hal itu akan segera melakukan standarisasi agar nilainya bisa setara nilai nasional. Misal nilai terendah 20 akan menjadi 70, lalu nilai tertinggi yang hanya mencapai 50 akan dinaikkan menjadi 100. Tentu adil bukan?
Praktik semacam ini masih sering terjadi karena antar sekolah biasanya berbeda standarnya, maka dari itu sebenarnya pengukuran nasional seperti UN masih perlu dilakukan untuk standarisasi. Karena jika patokannya dari ujian sekolah saja, kita tidak akan bisa membandingkan nilai peserta didik A dan B yang berbeda sekolah.
Ya, begitulah yang terjadi berdasarkan fakta-fakta lapangan selama dua belas tahun terjun merasakan langsung bangku sekolah dan dua tahun bangku kuliah. Gue ceritain berdasarkan pengalaman pribadi dan fakta lapangan yang terjadi, dari curhatan-curhatan mahasiswa yang selalu memenuhi kolom beranda Facebook dan Instagram gue. Guru dan dosen memang berkuasa, tapi kita juga punya hak nggak sih?
BACA JUGA Memperbesar Peluang Sukses Menurut Teori Probabilitas atau tulisan Rezky Yayang Yakhamid lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.