Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Ternyata Kipas Angin Nggak Penting Amat kalau Ngekos di Jogja

Taufik oleh Taufik
5 Maret 2021
A A
Culture Shock Ngekos di Jogja Gara-gara Kipas Angin Terminal Mojok
Share on FacebookShare on Twitter

Tahun 2018 merupakan tahun pertama saya tinggal di Jogja. Semenjak memilih berdomisili di kota yang estetikanya adiluhung itu, saya menemukan keanehan. Semacam hal yang orang sebut sebagai culture shock. Jadi begini, sebelum ke Jogja, saya menetap di Surabaya selama kurang lebih satu windu lebih beberapa bulan sih sebenarnya. Nah, di Surabaya, sebuah kemustahilan ketika ada yang bisa tidur dengan tenang (terutama anak kos) tanpa kipas angin, AC, atau alat pendingin lainnya.

Gaya hidup mewah menggunakan kipas angin ini saya nikmati sejak pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya. Mengapa saya sebut sebagai sebuah gaya hidup mewah? Di tahun-tahun pertama saya merantau, di kampung saya, di pelosok Wakatobi sana, sekadar tidur dengan kipas menyala saja maka Anda akan dianggap sebagai golongan manusia yang kaya tiada tanding. Lah, di Surabaya, kipas angin malah jadi makanannya anak kos. Tapi, pertimbangan punya atau nggak punya kipas itu kita anggap saja perkara lain.

Selama delapan tahun lebih menjadi warga kos di Surabaya, saya hanya pernah absen menggunakan kipas beberapa bulan ketika uang kiriman masih seret-seretnya di tahun-tahun pertengahan kuliah, padahal kipas angin di kamar saya sedang bermasalah. Dan itu tentu menjadi salah satu kisah sedih. Gimana nggak sedih, saya harus menjadi manusia normal di tengah panasnya Surabaya yang setara dengan panasnya gurun pasir itu. Sungguh sebuah pertaruhan nyawa.

Tentu setelah pindah ke Jogja, hal yang sama saya amini akan terjadi juga di sini. Karena mau gimana pun, toh Jogja nggak gunung-gunung amat (saya nggak berharap berhawa dingin). Pun malah dekat dengan laut, sehingga pemikiran akan sepanas atau paling nggak mendekati panasnya Surabaya sudah tergambar di kepala saya.

Tapi ternyata, lain di pikiran, lain yang dirasakan. Faktanya, pertama kali saya berada di Jogja adalah ketika suhu mencapai titik terendah mencapai 20 sampai 24 derajat Celcius setiap harinya! Dan itu benar-benar hal yang jauh sekali dari yang saya bayangkan ketika di Surabaya. Bayangkan, pada suatu waktu saya pernah merasakan suhu di Surabaya yang mencapai 34 sampai 35 derajat Celcius, lalu saya hijrah ke Jogja yang kondisi suhunya 10 derajat lebih rendah dari itu.

Rasanya nggak perlu saya menjelaskan panjang lebar dampak dari perubahan mendadak ini terhadap tubuh saya. Benar-benar culture shock cuaca yang nggak tanggung-tanggung. Setiap malam, selama tujuh malam berturut-turut, saya menggigil layaknya orang terkena penyakit malaria. Beberapa kali bahkan saya tidur menggunakan sleeping bag. Tujuannya jelas, agar saya nggak bangun dengan kondisi seperti orang yang sedang mengalami gejala maag akut.

Nah, seiring berjalannya waktu, saya berharap bisa segera beradaptasi dengan cuaca yang dingin ini dan menjadi manusia normal. Termasuk kerinduan saya menggunakan kipas angin setiap tidur. Juga agar gaya hidup mewah saya di kampung tetap bisa saya lestarikan, dan ketika pulang nanti gaya hidup mewah (tidur menggunakan kipas angin ini) tetap bisa berlanjut.

Sayangnya, nggak semudah itu, Ferguso. Berjalan setahun di Jogja, saya masih nggak bisa tidur tanpa menggunakan selimut. Dua atau tiga kali bahkan saya harus berangkat kerja dalam kondisi flu berat akibat malamnya kedinginan, sementara paginya harus mandi dengan air yang juga super dingin.

Baca Juga:

4 Dosa Pemilik Jasa Laundry yang Merugikan Banyak Pihak

7 Tabiat Penjaga Kos yang Bikin Penghuninya Betah Tinggal

Kejadian ini sempat sedikit mengalami perubahan, terutama ketika saya pindah kos ke tempat yang saya rasa cukup hangat. Tapi ternyata, adaptasi tubuh dan kebiasaan untuk menyesuaikan dengan cuaca dingin seolah memaksa tubuh saya untuk oke saja dalam setiap kondisi, bahkan kondisi panas sekalipun.

Sampai saat saya telah tinggal di Jogja selama kurang lebih tiga tahun ini, masih menjadi misteri ketika untuk sekadar tidur saja, rasanya nggak ada kedekatan emosional lagi dengan alat bernama kipas angin. Sesekali saya menggunakannya, itu pun bahkan kadang nggak sampai sepertiga malamnya. Saya biasanya akan bangun karena rasa dingin kembali menyerang saya.

Pada suatu titik, saya merasa mengidap penyakit nggak bisa kena kipas angin (lagi). Atau malah kadang saya berpikir, mungkinkah ini kutukan? Entahlah, yang pasti saat ini saya nggak lagi menggunakan kipas sebagai alat yang membantu saya tidur lelap demi mengejar sesuatu bernama suhu dingin. Nggak lagi. Saya sudah nggak lagi menganggap kipas angin terlalu penting. Mau orang-orang kampung saya kelak menghina karena saya sudah nggak memiliki gaya hidup modern karena nggak pernah lagi tidur ditemani kipas angin, pokoknya bodo amat lah!

BACA JUGA Semua Warga Jogja Itu Ramah, kecuali Bapak Kos dan tulisan Taufik lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 5 Maret 2021 oleh

Tags: culture shockkipas anginkos
Taufik

Taufik

Ide adalah ledakan!

ArtikelTerkait

Culture Shock Orang Jakarta Makan Bakso Pakai Lontong Terminal Mojok

Culture Shock Orang Jakarta Makan Bakso Pakai Lontong

27 Januari 2023
4 Hal yang Sebaiknya Dipertimbangkan Perempuan sebelum Memutuskan Tinggal di Kos Campur Mojok.co

4 Hal yang Perlu Dipertimbangkan Perempuan Sebelum Tinggal di Kos Campur

8 April 2025
Smartmi Fan 3: Kipas Angin Modern yang Nggak Banget

Smartmi Fan 3: Kipas Angin Modern yang Nggak Banget

27 Februari 2022
Culture Shock Orang Jogja Saat Merantau ke Surabaya

Culture Shock Orang Jogja Saat Merantau ke Surabaya: Salah Saya Apa kok Dipisuhi Cak Cuk Terus?

5 September 2023
Jalan Candi Gasek, Tempat Terbaik untuk Kos Mahasiswa UIN Malang. Kehidupan Dunia Akhirat Seimbang di Sini

Jalan Candi Gasek, Tempat Terbaik untuk Kos Mahasiswa UIN Malang. Kehidupan Dunia Akhirat Seimbang di Sini

3 Juni 2025
Culture Shock Orang Pemalang Saat Pertama Kali Makan Sego Godog Khas Magelang

Culture Shock Orang Pemalang Saat Pertama Kali Makan Sego Godog Khas Magelang

2 Agustus 2023
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Niat Hati Beli Mobil Honda Civic Genio buat Nostalgia, Malah Berujung Sengsara

Kenangan Civic Genio 1992, Mobil Pertama yang Datang di Waktu Tepat, Pergi di Waktu Sulit

15 Desember 2025
Pendakian Pertama di Gunung Sepikul Sukoharjo yang Bikin Kapok: Bertemu Tumpukan Sampah hingga Dikepung Monyet

Pendakian Pertama di Gunung Sepikul Sukoharjo yang Bikin Kapok: Bertemu Tumpukan Sampah hingga Dikepung Monyet

15 Desember 2025
Hal-hal yang Harus Diketahui Calon Perantau sebelum Pindah ke Surabaya agar Tidak Terjebak Ekspektasi

Hal-hal yang Harus Diketahui Calon Perantau sebelum Pindah ke Surabaya agar Tidak Terjebak Ekspektasi

18 Desember 2025
Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

16 Desember 2025
Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

13 Desember 2025
3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

3 Kebiasaan Pengendara Motor di Solo yang Dibenci Banyak Orang

16 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban
  • Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan
  • Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega
  • Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba
  • Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya
  • Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.