Siapa sangka, JRX pernah sebegitu getol memperjuangkan awareness perihal COVID-19. Bahkan jadi penggiat kabarcovid. Tapi semua berubah. JRX seperti “ganti pemain” dengan teori konspirasinya. JRX yang dulu membela penanganan COVID-19 yang masih jauh dari Indonesia, berubah menjadi skeptik pada pandemi.
Twit dari Teguh Aprianto membuat saya terpikir paragraf di atas. Mas Teguh menunjukkan JRX pernah aktif berkampanye #dirumahaja dan menyebarkan kawalcorona.com melalui media sosial miliknya. Mungkin hari ini kita akan bertanya “mosok sih?” Tapi, realitanya demikian. Cukup search JRX kawalcorona.com dan Anda akan lihat kontribusi Bli Ary Astina ini.
Awal pandemi, gue masih ingat JRX ikut menyebarkan https://t.co/adFv3XtOcH melalui media sosial miliknya dan ikut berkampanye #dirumahaja
Lalu apa yg dilakukan pemerintah saat itu? Mereka berkelakar. Melihat Terawan sesantai itu, JRX mulai menjelajah di internet & terperangkap. pic.twitter.com/dYNHd0g67o
— Teguh Aprianto (@secgron) July 13, 2021
Namun, itu benar-benar di awal pandemi. Bahkan belum bisa disebut pandemi. JRX yang dulu belum mengeluarkan atau “meneluuurkan” teori konspirasi. Lalu, ke mana orang-orang yang kini dilawan JRX waktu itu?
Orang-orang tadi tetap dilawan JRX pada masa itu. Namun, dengan posisi berbeda. Orang-orang itu menempati posisi Drummer SID hari ini: skeptis dengan COVID-19. Lebih dari skeptis, mereka juga mengambil kebijakan yang melahirkan ledakan pandemi pertama di Indonesia.
Orang-orang yang saya maksud adalah pemerintah berikut corong suara mereka. Masih ingat Terawan yang membantah ada COVID-19 di Indonesia? Bagaimana Jokowi membuka keran pariwisata mancanegara bahkan memakai jasa influencer? Ingat “kebal karena nasi kucing”? Ingat corona masuk Batam malah dikira mobil? Ingat? Saya, sih, masih punya screenshot opini ndableg itu.
Menurut Mas Teguh, perilaku pemerintah yang abai menyebabkan JRX muntir dari perjuangannya. Kekecewaan pada tanggapan otoritas melahirkan pertanyaan. Dan sepertinya JRX menjawab pertanyaan itu dengan surfing di internet. Kok, ndilalah JRX nyemplung ke kanal konspirasi.
Konspirasi menjawab pertanyaan JRX perihal pandemi. Mengapa pemerintah abai sampai lahirnya “bisnis” pandemi dijawab secara konspirasi. Kan konspirasi hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang dikemas sebagai fakta. Dari sinilah JRX mulai menemukan jawaban bahwa COVID-19 adalah proyek elite global.
Mungkin proses JRX menjadi pengikut konspirasi tidak se-epik teori Mas Teguh. Namun setidaknya, pandangan Mas Teguh ini selaras dengan apa yang saya lihat hari ini. Lantaran JRX hanyalah satu public figure. Ada belasan figur yang pada akhirnya memandang pandemi sebagai proyek jahat elite global.
Dari teman-teman sampai keluarga sendiri saja mengalami fase ini. Dulu mereka getol dan sampai parno dengan virus yang dulu dikenal corona saja ini. Namun, sikap siaga ini dijawab oeh sifat meremehkan. Mending kalau yang meremehkan hanyalah tetangga dan kerabat. Lha, ini pemerintah langsung, baik personal atau secara sistem.
Ini sangat wajar terjadi. Kalau cocoklogi dengan film Joker, orang jahat adalah orang baik yang disakiti. Orang yang berusaha bersikap baik bisa putar haluan jika sikap ini dinegasi terus menerus. Seperti Joker, sikap positifnya dipertanyakan ketika situasi sosial menegasi apa yang menjadi sikapnya.
Jika sudah dinegasi, ya sudah sikap positif tadi meluruh sampai tuntas sudah. Yang tersisa adalah Joker yang membunuh Murrays saat live TV. Apakah ini berlebihan? Lha tinggal lihat saja buktinya dengan orang-orang seperti JRX ini.
Sikap peduli pada pandemi yang masih jauh ini dilecehkan oleh kelakar. Upaya #dirumahaja dibilang biadab oleh salah satu buzzer yang entah sudah dapat jabatan apa. Sisa-sisa kepedulian pada COVID-19 terus digerus oleh sikap-sikap dan kebijakan goblok. Hasilnya sempurna, runtuh sudah sikap melawan pandemi ini.
Tidak hanya JRX dan public figure senada, masyarakat pun sudah jengah dengan sikap menyepelekan ini. Dulu mau lockdown dilarang. Ingin menutup perbatasan dijawab dengan promo wisata. Menyuarakan pandemi disebut biadab. Dan akhirnya ketika mereka ikut tidak percaya, diancam penjara.
Jadi saya ucapkan terima kasih pada suara pemerintah dan para buzzer. Sikap yang mungkin Anda pikir biasa saja kini berdampak, kan? Jika dulu, raja itu seperti meludah api. Apa yang terucap akan diamini dan “membakar” benak rakyatnya. Sayang sekali, kelakar pemerintah tahun lalu melupakan ludah api ini.
Dan dengan sikap pongah yang penuh ketidak jelasan, para pengikut konspirasi makin bermunculan. Bukannya mengakui kelalaian, malah makin tidak jelas saja keputusannya. Contohnnya, sih, seperti vaksin. Niat vaksin gotong royong malah melahirkan pemikiran bahwa vaksin hanyalah bisnis. Nah, kan, malah melahirkan antivax yang menambah kacau penanganan pandemi.
Pada akhirnya, percuma saja memenjarakan para penganut konspirator yang vokal. Lantaran sejak awal, pemerintah yang melahirkan para penganut teori “jarene” ini. Bahkan sampai hari ini, kebijakan dan keputusan dalam penanganan pandemi seperti menabur benih konspirasi yang terus subur. Terima kasih pemerintah, sudah merepotkan hidup kami!
BACA JUGA Sebenarnya, Pejabat Itu Dibayar untuk Menyelesaikan Masalah atau Minta Solusi dari Rakyat? dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.