Pernah, nggak, lagi mampir ke tempat makan yang sedang kosong, lalu seketika beberapa calon pembeli lain ramai berdatangan?
Pernah? Sama.
Apakah itu artinya sejatinya kita selayaknya jimat berjalan yang mendatangkan rezeki bagi sekitar? Boleh nggak ya kalau minta nggak usah bayar? Kan, kehadiran kita dah kayak eksposur yang mendatangkan pembeli lain, nih. Tak ternilai harganya, lo. Hehehe.
Tapi, kenyataannya kita tak pernah merasakan hal yang sama sendirian. Hal ini, begitu juga beberapa banyak orang lainnya, pernah merasakan hal yang sama.
***
Beberapa kali obrolan di atas muncul di forum informal yang berbeda, saya selalu mendapati lebih banyak orang yang pernah atau bahkan sering mengalami hal demikian ketimbang yang merasa sebaliknya. Tentu asumsi ini tidak terbukti secara statistik. Akan tetapi, nggak beda jauh dengan obrolan “hujan akan turun setelah mencuci kendaraan bermotor” kan?
Jadi, bener nggak, sih, ada orang yang punya kemampuan mendatangkan calon pembeli hanya dengan datang ke tempat makan yang lagi senggang? Atau mampu menurunkan hujan cukup dengan mencuci kendaraan bermotor?
Mood-dependent memory
Manusia cenderung mengingat peristiwa-peristiwa dalam pikiran yang memiliki efek berbeda pada emosi. Entah positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suasana hati membawa asosiasi yang berbeda ke dalam pikiran. Misalnya, pas kita seneng, kita cenderung lebih mengingat kembali peristiwa menyenangkan, pun sebaliknya. Nah, ini ada hubungannya dengan mood-dependent memory.
Ingatan tentang “udah cape nyuci mobil terus hujan” atau “udah bayar sekian ribu rupiah buat nyuci mobil terus hujan” adalah ingatan yang menyebalkan. Lebih menyebalkan dibandingkan dengan “udah nyuci mobil terus hari cerah seminggu” yang mana sebenarnya baik, tapi biasa-biasa aja karena “normalnya gitu”—taken for granted. Sehingga, ingatan pertama lebih menancap di ingatan.
Begitu pula dengan ingatan “datang ke tempat makan yang sepi, lalu tidak lama jadi ramai”. Ingatan ini lebih meninggalkan bekas ketimbang “datang ke tempat yang sepi, dan hingga pulang pun tetap sepi”. Mungkin, selain tidak ada yang bisa dibanggakan (wkwk), tempat makan yang didatangi ketika sepi dan terus berlanjut sepi hingga kita pulang, terasa lumrah. Ya emang sepi aja gitu.
Baca halaman selanjutnya
Beda dengan jika kita datang saat sepi atau bahkan kosong…