Jalanan di Tembalang, Semarang menjadi hal pertama yang membuat saya terkejut sebagai mahasiswa perantauan. Selain tukang parkir yang hampir bisa ditemukan di setiap kesempatan, bahkan di ATM sekalipun. Pengendara Jalanan Tembalang benar-benar menguji mental dan energi saya.
Selama dua semester hidup di sekitar tembalang, saya dilatih menjadi pengendara yang berani, gesit, dan tahan banting. Mereka berkendara secara ugal-ugalan, baik pengendara mobil maupun motor. Terkadang saya bertanya-tanya, mereka ini mengejar apa sih sampai sebegitu ngawurnya berkendara.
Hal yang paling sering saya temui adalah pengendara yang sein kanan, tapi malah belok ke kiri. Mobil yang tetap melewati jalan tertentu walau sudah ada larangannya. Kalau sudah di Tembalang, pengendara seolah-olah dituntut mempunyai mata yang lebih awas. Bahkan kalau bisa, punya indra keenam untuk menebak pergerakan kendaraan sekitar. Apalagi kalau masuk Banjarsari.
Nyatanya jalanan Tembalang yang menyebalkan itu tidak hanya melelahkan bagi pengendara kendaraan, pejalan kaki pun merasakan hal yang sama. Teman-teman saya yang sering berjalan kaki kerap mengeluh lantaran kesulitan menyeberang jalan. Memang, pengendara di sana seolah tidak mau mengalah, bisa 15 menit sendiri menunggu jalan cukup sepi untuk bisa menyebrang. Di sana tidak ada jembatan penyeberangan, fasilitas pejalan kakinya buruk.
Tembalang perlu lebih alon-alon asal kelakon
Terkadang saya mikir, ini orang-orang pada ngejar apaan sih sampai sebegitu ngawurnya naik motor. Pengendara yang ngebut ditambah jalanan yang padat kerap menimbulkan kecelakan lalu lintas. Tembalang benar-benar medan perang.
Merasakan dan melihat ketegangan di jalan setiap hari membuat saya berandai-andai, bagaimana kalau pengendara Jalan Tembalang menerapkan pepatah alon-alon asal kelakon ya? Apakah kondisi jalanan bisa lebih baik? Apakah kecelakaan akan berkurang?
Alon-alon asal kelakon sendiri bermakna pelan pelan asalkan sampai. Terkadang masyarakat non Jawa sering menyalah artikan pepatah ini merujuk pada suatu sikap kemalasan. Namun, penafsiran tersebut menurut saya keliru. Pepatah ini mencerminkan tindakan sabar, tanpa tergesa-gesa, diiringi pemikiran matang (melibatkan perencanaan, bukan pemikiran yang lamban). Oleh karena itu setiap tindakan yang diambil penuh kesadaran serta perhatian.
Kalau pengendara benar menerapkan pepatah itu dalam berkendara, seharusnya jalanan di Tembalang akan lebih baik ya. Tidak ada lagi menyerobot kendaraan lain dari sana-sini. Korban lalu lintas pun bisa terhindarkan. Tidak kalah penting dari memperbaiki mindset berkendara, pemerintah setempat perlu terus memantau kondisi dan fasilitas jalan.
Penulis: Izza Nadiya Hikma
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Daerah Langganan Banjir di Semarang dan Tips Hidup di Sana
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.