Nggak Sepantasnya Ketua DPRD DKI Jakarta Meremehkan Tegal. Tegal Itu Tanah Revolusi!

Heh! Ketua DPRD DKI Jakarta, Tegal Itu Tanah Revolusi! (Unsplash)

Heh! Ketua DPRD DKI Jakarta, Tegal Itu Tanah Revolusi! (Unsplash)

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Tegal, saya geram dengan pernyataan dari Ketua DPRD DKI Jakarta, yang juga politikus PDIP, Prasetyo Edi Marsudi. Dia mengeluarkan pernyataan kontroversial, menyinggung perasaan masyarakat Brebes dan Tegal.

“Daripada kunker ke Brebes, Tegal, beli telur asin bikin kentut bau, mending berangkat kami ke luar negeri,” ujarnya saat Rapat Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Telur asin merupakan makanan favorit masyarakat di Brebes dan Tegal. Dua daerah saling bertetangga di Jawa Tengah, yang masih memiliki keterkaitan historis. Bahkan Brebes dikenal sebagai penghasil utama telur asin. Ingat, telur asin juga salah satu menu yang selalu ada di warung makan, bahkan yang ada di Jakarta, yaitu warteg.

Menurut asumsi saya, ada 2 kemungkinan kenapa Prasetyo Edi Marsudi nyemburin kalimat nggak pantas itu. Pertama, wawasannya memang sempit. Kedua, kurang membaca buku, sehingga pengetahuannya sangat kurang. Padahal, setahu saya, anggota DPRD itu pintar semua dan selalu mikirin rakyat. Apalagi si Edi ini Ketua DPRD DKI Jakarta.

Jangan meremehkan Tegal!

Sebagai putra daerah, saya mengingatkan Ketua DPRD DKI Jakarta untuk jangan pernah meremehkan Tegal! Tahukah kamu, bahwa dulu, Sukarno saja pernah dibikin gelisah oleh kota bahari ini.

Apakah Ketua DPRD DKI Jakarta pernah mendengar Peristiwa Tiga Daerah? Saya yakin belum. Saran saya, bacalah buku yang ditulis oleh Anton E. Lucas dengan judul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Buku ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anton E. Lucas sendiri berkaitan dengan Peristiwa Tiga Daerah.

Anton E. Lucas menjelaskan bahwa Peristiwa Tiga Daerah merupakan suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945. Peristiwa tersebut terjadi di Brebes, Tegal, dan Pemalang. 

Saat itu, seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, dan camat) dan sebagian besar kepala desa diganti oleh aparat pemerintahan yang baru. Terdiri dari aliran Islam, Sosialis, dan Komunis.

Desa Cerih, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal: Awal mula Peristiwa Tiga Daerah

Revolusi sosial tersebut dimulai di Desa Cerih. Desa ini terletak di perbukitan Tegal Selatan, berseberangan dengan Kabupaten Pemalang, dibatasi oleh Sungai Rambut. Lurah Cerih yang bernama Raden Mas Harjowiyono oleh rakyat dilucuti, diberi pakaian goni, sementara istrinya diberi kalung padi.

Mereka kemudian diarak, diiringi dengan bunyi gamelan milik lurah. Setelah itu, mereka diperlakukan seperti ayam, dipaksa minum air mentah dalam tempurung, dan makan dedak. Aksi tersebut dikenal dengan nama “dombreng”, di mana kemudian aksi seperti itu menyebar di desa-desa Kabupaten Tegal dan Pemalang.

“Dombreng” berasal dari Bahasa Jawa, yaitu “tong” dan “breng”, suara pada pukulan kayu atau kaleng kosong. Arak-arakan tersebut diiringi dengan kentongan, seperti yang kita tahu bahwa suara kentongan merupakan penyiar berita tanda ada pencurian. Maka, memang dombreng ini dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa telah ditangkap pencuri desa yaitu para pamong desa yang korup.

Kutil, tokoh kunci Peristiwa Tiga Daerah

Kecamatan Talang menjadi daerah yang terkenal ketika Peristiwa Tiga Daerah berkat Kutil. Dia membunuh banyak orang dan bertanggung jawab atas kematian di wilayah Talang, salah satu korbannya adalah Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Tegal, Mardjono. Dia dibunuh oleh Kutil pada 4 November 1945. Peristiwa Tiga Daerah sering disebut sebagai Gerakan Kutil

Kutil memiliki nama asli Sakyani, seorang tukang cukur dan tidak ada yang tahu pasti asalnya. Tetapi yang jelas, dia merupakan orang pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman mati melalui proses peradilan formal di Pekalongan pada 21 Oktober 1946. Ketika Agresi Militer Belanda 1 (1947), dia berhasil melarikan diri ke Jakarta dan berprofesi sebagai tukang cukur. Tepatnya di Kebun Kacang Gang II Tanah Abang. Ini adalah profesinya sebelum Peristiwa Tiga Daerah.

Pada 1949, Kutil dikenali oleh orang Slawi, lalu dilaporkan ke Belanda. Kemudian, pada 1950, ketika pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dia dibebaskan. Kutil pindah ke Pekalongan pada 13 Februari 1950. Pada tanggal 8 April 1950 ditegaskan kembali hukumannya. Lalu, pada 1 Agustus 1950, dia mengajukan grasi kepada Presiden Sukarno, tetapi ditolak pada 21 April 1954. Dua minggu kemudian, dia dieksekusi di Pantai Pekalongan. Makamnya tidak diketahui hingga sekarang.

Peristiwa Tiga Daerah menyedot perhatian tokoh nasional

Peristiwa Tiga Daerah nyatanya menyedot perhatian tokoh nasional. Presiden Sukarno sampai datang langsung ke Tegal pada 17 Desember 1945. Turut serta Jenderal Soedirman, Fatmawati, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir.

Dalam pidatonya, Soukarno mengatakan “Hai rakyat Tegal, Brebes, dan Pemalang. Jangan kamu mendirikan republik kecil-kecilan, jangan kau mendirikan republik sendiri-sendiri, jangan ada Republik Tegal, Republik Slawi, Republik Talang, Republik Brebes, dan Republik Pemalang. Hentikan tindakan yang sesat, kita harus bersatu, kita harus mendirikan republik yang kuat dan besar.”

Berdasarkan pemaparan di atas, maka jangan sekali-kali memandang rendah Tegal. Perlu diketahui bahwa Tegal bukan hanya tentang warteg, telur asin, tahu aci, logatnya yang kata orang ibu kota dianggap lucu. Tegal, dalam sejarah, merupakan tanah revolusi!

Penulis: Malik Ibnu Zaman

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pengalaman Makan di Warteg Kharisma Bahari Tegal dan Kekurangan yang Saya Rasakan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version