Menjadi pendatang artinya harus bersiap untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Saya memang nggak pernah tahu bagaimana rasanya jadi pendatang. Meskipun demikian, di sekeliling saya ada banyak pendatang yang berasal dari luar kota. Dari merekalah saya kerap mendengar cerita tentang bagaimana kesan pertama mereka dengan kota kelahiran saya, Tegal.
Cerita yang saya dapat dari mereka beragam. Mulai dari culture shock dengan masakan Tegal yang cenderung pedas dan berminyak, cara berbicara wong Tegal yang cepat, ngapak, dan kasar, hingga perilaku berkendara warga Tegal. Rupanya, menurut para pendatang, berkendara di Tegal itu ngeri-ngeri sedap.
Apa iya?
Kendaraan umum di Tegal
Usut punya usut, salah satu hal yang membuat berkendara di Tegal itu ngeri-ngeri sedap adalah banyaknya angkutan kota (angkot) yang mengaspal. Keberadaan angkot ini memang tengah berada di senjakala akibat kredit motor yang semakin mudah.
Akan tetapi bukan berarti angkot nggak lagi menjadi raja jalanan. Kebiasaan sopir angkot menaikturunkan penumpang di jalan membuat pengendara lain harus waspada. Sering terjadi, angkot tiba-tiba menepi untuk memuat penumpang. Ini beneran tiba-tiba, lho, ya. Kalau kendaraan yang di belakangnya nggak fokus, dijamin bakal nabrak.
Setali tiga uang, pengedara sopir bus elep, yaitu bus yang ukurannya ¾ dari bus pada umumnya juga demikian. Bahkan, sering kali bus elep ini lebih bar-bar di jalanan. Sudah menaikturunkan penumpang seenak sendiri, kadang main tancap gas aja padahal kaki penumpang baru naik sebelah.
Penumpang bus elep juga nggak kalah nyentrik. Bus belum sempurna berhenti, maen lompat turun saja. Ngeri!
Jalanan yang serba memburu
Selain faktor banyaknya kendaraan umum yang mengaspal, berkendara di Tegal juga terasa ngeri-ngeri sedap karena di benak para pendatang, semua terasa serba memburu di jalanan Tegal. Orang-orang memacu kendaraannya dengan cepat, saling salip satu sama lain.
Saat di lampu merah pun, lampu hijau belum menyala sempurna sudah ada yang ngegas duluan atau main klakson. Kemudian kalau dari jauh lampu merah akan menyala, kendaraan langsung digas pol biar nggak kena lampu merah. Apa sih yang dicari orang-orang tuh? Buru-buru amat. Begitu para pendatang tak habis pikir.
Ditambah, ada satu kebiasaan pengguna jalan di Tegal yang “agak laen”. Biasanya, saat kita berkendara dan kendaraan di belakang kita mengklakson, kita akan otomatis menepikan kendaraan untuk memberi kesempatan kendaraan di belakang menyalip. Nah, di Tegal nggak gitu. Sering kali dijumpai, saat ada mobil mengklakson motor di depannya, si pengendara motor bukannya introspeksi diri lalu minggir, malah kepalanya nengok ke belakang. Seolah mau bilang, “Apa koen?!”
Dan kendaraannya? Tetap nggak minggir. Kalaupun minggir, minggirnya cuma seuprit.
Lakalantas meningkat
Pendapat para pendatang yang merasa berkendara di Tegal itu ngeri-ngeri sedap seolah terbukti kebenarannya manakala disandingkan dengan jumlah lakalantas yang terjadi di kota yang terkenal dengan warteg alias Warung Tegalnya ini.
Berdasarkan penelusuran, diperoleh data bahwa dari tahun 2021 ke tahun 2022, angka lakalantas di Kota Tegal mengalami kenaikan. Tercatat ada 379 kecelakaan, 36 orang tewas, dan 404 orang luka-luka di tahun 2022. Angka tersebut meningkat dibanding tahun 2021 yang mencatat 272 kasus kecelakaan, 31 orang tewas dan 295 orang luka-luka.
Tak hanya kecelakaan. Pelanggaran lalu lintas sepanjang 2022 juga meningkat dari 3.107 tilang menjadi 5.465 tilang.
Bagaimana dengan tahun 2023? Saya belum menemukan datanya. Namun, jika perilaku berkendaranya nggak berubah, bukan tak mungkin angka lakalantasnya akan meningkat.
Yuk lah, wong Tegal, aja srugal-srugul neng ndalan. Isin oh karo pendatang!
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Culture Shock Berkendara di Tegal: Nyala Lampu APILL yang Agak Laen dan Bau Teh di Mana-mana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.