Sambil menikmati kabut bukit yang berarak turun, sekaligus menunggu waktu berbuka yang tinggal hitungan menit saja, kedua kawan baik itu mengisi senja hari di cangkruk bambu depan rumah. Spot favorit bagi keduanya.
“Kang, menurut sampeyan, orang-orang yang meloncati pagar masjid agar bisa tarawih berjamaah itu gimana?” tanya Misbah sembari menyodorkan HP kepada Kang Salim. Kang Salim mengernyitkan dahi manakala menyaksikan puluhan orang dalam video di HP Misbah dengan sangat ugal-ugalan merangsek; memaksa masuk masjid yang jelas-jelas sudah digembok.
“Saya malah khawatir, jangan-jangan orang-orang seperti itu atau juga kita sendiri masuk ke dalam jenis orang yang disebut Abu Hasan al-Sadzili sebagai at-tahsanu bithaatillah. Yaitu orang yang hanya tampak taat jika di hadapan manusia,” kini Kang Salim mulai angkat suara.
“Loh, nggak bisa gitu dong, Kang. Justru bagus tho kalau masih ada orang yang sampai segitunya. Saking rindunya sama masjid,” balas Misbah nggak terima.
“Tapi menurut saya, sikap mereka itu kok terkesan berlebihan ya, Mis. Soalnya kan gini, kita ini cuma dilarang tarawih di masjid. Itu pun karena ada uzur syar’i; ada pageblug. Beda cerita kalau kita dilarang buat ngerjain tarawih, baik di masjid maupun di rumah. Bener-bener dilarang, nggak boleh ngerjain. Kalau udah kayak gini masalahnya, baru dah tuh silakan kalau mau frontal. Seperti kata dalang edan Sujiwo Tejo: Kalau sampai kau larang aku menyembah Tuhanku, maka urusannya adalah darah!!!”
“Sik, Kang. Saya memaklumi tindakan mereka karena satu hal, tarawih berjamaah kan hanya bisa dikerjain sekali dalam setahun. Kalau ditiadakan, Ramadan jadi kerasa nggak ada istimewa-istimewanya babar blas, Kang. Padahal momen kayak gini itu yang dinanti-nanti dan sangat pas buat mendekatkan diri kepada Gusti Allah.”
“Kalau saya, mau jamaah atau nggak, mau Ramadan atau nggak, saya tetep bisa ngerjain tarawih kok, Mis.”
“Ha? Maksudnya, Kang?” Misbah bener-bener nggak bisa menjangkau arah pikiran Kang Salim.
“Iya, saya itu nggak butuh Ramadan untuk sekadar tarawih, Mis. Karena bagi saya, tarawih bisa dan emang harus dilakukan sepanjang waktu.”
“Husss, lama-lama sesat sampeyan ini, Cak. Hadisnya kan jelas, kalau tarawih itu disunakah hanya pas bulan Ramadan.”
“Secara lahiriah, emang iya tarawih hanya dianjurkan di bulan Ramadan. Tapi dalam urusan ruhani, sudah bukan begitu lagi cara mikirnya.”
“Saya belum pernah denger, Kang.”
“Sekarang coba kita urai pelan-pelan. Tarawih itu asal katanya kan raha yang artinya beristirahat. Nah, kata istirahat di sini dalam pandangan tasawuf diartikan sebagai refleksi untuk kehidupan sehari-hari. Beristirahat yang dimaksud adalah, beristirahat dari kedengkian, kebencian, buruk sangka, dendam, hasrat duniawi, dan segala jenis penyakit hati lainnya. Maka dari itu, jika tarawih kita lakukan secara ruhaniah, sudah semestinya berlangsung sepanjang waktu Nggak terbatas hanya di bulan Ramadan saja.”
“Loh, bukannya istirahat di situ kalau merujuk beberapa hadis maksudnya adalah istirahat setiap dua rakaat atau empat rakaat ya, Kang?”
“Sekali lagi, kalau dilihat dari kaca mata jasadi, emang demikian. Tapi sekarang saya sedang ngajak kamu menelisik ke dimensi ruhani, Mis.”
“Baik, Kang, teruskan.”
“Maulana Jalaluddin Rumi pernah bilang yang intinya gini, Mis: Salat itu bukan cuma gerakan fisik. Gerakan fisik hanyalah kemasan. Salat itu bukan tentang yang tampak, tapi tentang apa yang ada di balik itu. Gerakan fisik kita hanya perantara, sementara ruhani kitalah tujuannya. Buktinya, kenapa salat bisa disebut ibadah ruhani? Sekarang coba pikir, dalam syarat wajib salat ada yang namanya wudu. Orang kalau wudu itu kan yang dibasuh mukanya. Meski nanti dia batal karena kentut, yang dibasuh ketika wudu lagi tetaplah wajah, bukan pantat. Ini menunjukkan bahwa aspek-aspek dalam salat adalah tentang ruhaniah”
“Sedikit tercerahkan, Kang.”
“Konsep ini kalau kita terapkan ke ritual-ritual ibadah, maka kita bakal nemu hakikat dari suatu ibadah, tanpa terhalang tabir jasadiah. Jadinya, kita udah nggak bergantung pada Ramadan untuk sekadar tarawih karena tarawih emang harus kita kerjakan sepanjang waktu. Kita udah nggak butuh Ramadan dan hari-hari tertentu hanya untuk sekadar berpuasa. Karena sepanjang usia kita adalah puasa itu sendiri. Puasa dari menyakiti sesama, puasa dari jabatan dan kekayaan yang melenakan, puasa dari sifat takabur, puasa dari tamak dan riya, puasa dari maksiat, puasa dari keinginan untuk menang sendiri, dan puasa-puasa yang lain.”
“Wah bisa gitu ya, Kang?”
“Heem, Mis. Itulah kenapa syarat beriman adalah harus mengucapkan melalui lisan, meyakini dalam hati, dan merefleksikannya ke dalam laku hidup sehari-hari.” Kang Salim memberi tekanan pada kalimat merefleksikan dan seterusnya.
“Syahadat itu, Mis, kalau hanya dilihat dari yang terlihat, yaitu kalimatnya, maka itu hanya bakal berupa seperti kesaksian seorang murid yang dihukum gurunya. Bilang kapok dan nggak bakal ngulangi lagi cuma di lisan, besok-besok pasti lupa dan ngulangi lagi kesalahan yang sama.”
“Dengan kata lain, kalau syahadat hanya berhenti di kalimat, maka kita bisa dikatakan nggak bener-bener bersaksi tentang ke-Maha Esaan Gusti Allah ya, Kang?”
“Persis. Karena banyak tho yang bersaksi kalau nggak ada Tuhan selain Dia, tapi nyatanya justru memberhalakan harta dan tahta. Banyak yang ngaku beriman tentang keberadaan-Nya, tapi masih aja takut besok nggak bisa makan. Masih saja dihantui dengan bayang-bayang masa depan.
“Nah, Mis, terakhir, coba kamu telisik lagi niatmu. Jangan-jangan tarawih yang kamu kerjain selama ini hanyalah formalitas buat ngisi Ramadan saja. Kalau emang iya, saya cuma mau bilang, jika kamu ngerjain ibadah hanya karena Ramadan, sungguh Ramadan akan berakhir. Kalau kamu puasa, mengekang nafsu hanya karena ini bulan suci, maka nggak menutup kemungkinan setelah pungkas 30 hari nanti, kamu bakal balik lagi jadi pendengki, pemarah, pendendam, dan lain-lain. Tapi kalau kamu ngerjain ibadah murni karena Gusti Allah, maka sungguh pekerjaan itu nggak berbatas waktu. Kamu masih bisa menarawihkan hati dan memuasakan nafsu sepanjang usiamu. ”
“Alhasil sisa hidup kita ini bakal lebih tenang dan hanya berisi kebaikan-kebaikan ya, Kang?’
“Betul. Mis. Karena tujuan Gusti Allah menitahkan kita buat ibadah, nggak lain nggak bukan ya biar kita ini menjadi makhluk yang baik. Yang senantiasa eling lan waspada dari al-fahsya’ (dosa) dan al-munkar (perbuatan tidak pantas).”
Terdengar suara beduk bertalu dari masjid, tanda telah masuk waktu berbuka. Kang Salim tampak menyulut batang kreteknya, alih-alih bergegas menenggak es teh yang sudah disiapkan ibu Misbah.
“Sampeyan ini bener-bener og, Kang. Buka puasa mbok minum-minum dulu gitu, malah ngretek,” gerutu Misbah. “Saya ini masih ngumumi, Mis, buka puasa cuma ngretek.”
“Lah, emang yang nggak umum itu yang kayak gimana, Kang?”
“Kayak bukanya Abdullah Bin Umar.”
“Gimana emang?”
“Kenthu!!!.”
Misbah terbengong di tempatnya.
*Rujukan: Terjemahan Fihi Ma Fihi (Jalaluddin Rumi), Mutiara al-Quran: Menerapkan Nilai-Nilai Kitab Suci dalam Kehidupan Sehari-Hari (Salman Harun), dan mengutip kajian agama Gus Qoyyum Mansur (Pengasuh PP. An-Nur, Lasem, Rembang).
BACA JUGA Kemiskinan dan Kesusahan itu Cuma Berlangsung 40 Hari Saja, kok dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.