Pada kesempatan yang berbahagia ini saya perlu memberikan tanggapan atas tulisan Prabu Yudianto yang mempermasalahkan legal standing dari Nyi Roro Kidul selaku “Menteri Luar Negeri” Kerajaan Laut Selatan atau yang dalam Piagam perjanjian dengan TNI AL itu disebutkan sebagai Keradjaan Bawah Air Yang Manyakrawati Mambaubenda.
Pertama, Prabu Yudianto pada paragraf kesembilan tulisannya menyatakan bahwa apakah menlu sebuah kerajaan berhak memberikan kedaulatan pada negara lain untuk menjelajah wilayah kedaulatannya.
Di dalam hukum perdata dikenal yang namanya surat kuasa atau dalam bahasa keminggrisnya power of attorney. Surat kuasa yang dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang diakui sebagai akta otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam hal ini Nyi Roro Kidul patut dianggap telah diberikan kuasa khusus oleh Kanjeng Ratu Kidul. Terlebih, piagam tersebut bertarikh 1966, yang artinya Indonesia sudah memiliki ahli-ahli hukum yang diwarisi kitab undang-undang hukum perdata Belanda untuk memastikan Nyi Roro Kidul memiliki legal standing untuk menandatangani piagam tersebut.
Berdasarkan analisis dan perkiraan saya tersebut, maka segala tindakan hukum Nyi Roro Kidul tersebut adalah sah dan berkekuatan hukum, termasuk dalam kasus piagam perjanjian dengan TNI AL tersebut untuk memberikan TNI AL keleluasaan menjelajah dan mengeksplorasi wilayah kedaulatannya.
Piagam perjanjian yang dibuat oleh dan antara Kerajaan Laut Selatan dan TNI AL tersebut adalah suatu perjanjian internasional yang mengikat dua bangsa: manusia dan roh halus. Dalam ketentuan hukum perdata dikenal satu asas pacta sunt servanda, yaitu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya. Maka, sudah sepatutnya tidak perlu lagi ada keraguan terhadap keabsahan piagam tersebut.
Satu hal lainnya yang perlu digarisbawahi dari tulisan Prabu Yudianto adalah perihal legitimasi sesosok Nyi Roro Kidul sebagai menlu dari Kerajaan Laut Selatan adalah terkait keragu-raguannya akan kapasitas Nyi Roro Kidul.
Untuk menyegarkan ingatan kita bersama, sudah banyak di kolong langit ini piagam, charta, deklarasi, dan atau urusan tetek bengek lainnya yang dilakukan oleh menteri luar negeri tanpa harus melibatkan presiden. Dalam konteks tulisan Prabu Yudianto, urusan tersebut tidak harus melibatkan Gusti Kanjeng Ratu Hajjah Kencono Sari.
Agar lebih mudah dimengerti, saya beri contoh konkret, yaitu Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau yang kemudian dikenal dengan ASEAN. Pada saat itu, di Bangkok, Soekarno tidak menghadiri sendiri deklarasi tersebut. Pada saat itu, Indonesia diwakili oleh Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri bersama-sama dengan Narciso Ramos dari Filipina, S. Rajaratnam dari Singapura, Thanat Khoman dari Thailand, dan Tun Abdul Razak dari Malaysia.
Dari kelima tokoh tersebut hanya Tun Abdul Razak yang menjabat sebagai wakil perdana menteri, sementara empat tokoh lainnya adalah menteri luar negeri.
Sebagai junjungan tertinggi, Kanjeng Ratu Kidul sudah barang tentu paham, untuk urusan yang demikian ada marwah kerajaan yang harus dilindungi. Mendelegasikan sebagian kewenangannya adalah ciri-ciri pemimpin yang baik. Nggak semua kerjaan harus diborong.
Selanjutnya, untuk menanggapi pertanyaan kedua Prabu Yudianto, yaitu terkait siapa yang diberi wewenang apakah eksploitasi hasil laut hanya boleh dilakukan oleh Angkatan Laut, Mas Prabu perlu membaca kembali secara saksama isi piagam tersebut. Pada kalimat “Ataupun untuk membangun, menggali serta membawa keluar segala sesuatunja. Karena dharma baktinja adalah demi amanat penderitaan rakjat”, sesungguhnya sudah terjawab dengan jelas bahwa Kerajaan Laut Selatan adalah kerajaan yang bertoleransi tinggi dan permisif serta berorientasi kepada wong tjilik, sepanjang itu dilakukan demi kepentingan rakyat. Atau dalam bahasa mudahnya, warung tenda Seafood 88, 99, dan 77 adalah lembaga yang dilindungi secara spiritual oleh Kerajaan Laut Selatan.
Mengenai pertanyaan ketiga, Mas Prabu lagi-lagi lupa, bahwa dalam urusan kenegaraan atau dalam hal ini dalam urusan kerajaan, tamu saja diperkenankan untuk masuk istana apalagi pembantu Kanjeng Ratu Kidul. Apa Mas Prabu ndak pernah lihat Bu Retno Marsudi masuk Istana Negara?
Selanjutnya, mengenai pertanyaan keempat Mas Prabu, tentang nama resmi kerajaan tempat Nyi Roro Kidul, menurut Mas Prabu nama tersebut terlalu sederhana dan antiklimaks. Saran saya Mas Prabu nonton siaran All England atau Olimpiade kalau lagi musimnya, Republik Indonesia di jersey atlet kita cuma ditulis INA tok. United States of America yang rodo panjang cuma ditulis USA. Kurang sederhana apa coba?
Terakhir, pertanyaan yang perlu saya tanggapi adalah tentang tanda tangan yang menurut Mas Prabu dalam piagam tersebut tidak ada tanda tangan Nyi Roro Kidul. Begini, Mas Prabu, sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya Mas Prabu sudah pernah membuat akta di hadapan notaris atau belum?
Jadi, dalam dokumen-dokumen penting yang dibuat pejabat yang berwenang itu ada yang namanya minuta atau dokumen asli, ada yang namanya salinan. Jadi kalau Mas Prabu buat dokumen atau akta di notaris, dokumen asli yang Mas Prabu tanda tangani itu disimpen sama notaris. Nah, salinannya yang nggak ada tanda tangannya itu diserahkan ke Mas Prabu dan pihak lainnya yang membuat perjanjian. Dua-duanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
Demikian kira-kira.
BACA JUGA Seni Menikmati Hidup yang Woles dan Bodo Amat ala Soleh Solihun dan tulisan Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.