Setiap kali temu kangen dengan keluarga di Blora, saya selalu melintasi jalan bypass Cepu. Jalan ini memang cukup strategis dan realistis karena dekat stasiun dan terminal Cepu. Saya pribadi sebenarnya sudah sering bolak-balik lewat jalan ini, khususnya saat masih duduk di bangku SMA dulu. Namun beberapa tahun terakhir saya kerap dibuat penasaran dengan penampakan Taman Budaya Cepu yang letaknya persis di sisi jalan ini.
Awalnya saya kira lahan tersebut bukan milik Pemkab karena dulu hanya ditumbuhi ilalang dan semak belukar lebat. Baru pada tahun tahun 2023 area tersebut mulai dibangun taman yang digadang-gadang akan jadi penunjang kawasan Cepu Raya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru bagi Kabupaten Blora.
Proyek ini memiliki masterplan menjadi kawasan multifungsi dengan berbagai fasilitas, termasuk pusat kesenian, pendapa bupati, dan masjid agung. Kedengaran spektakuler. Tapi terakhir saya pulang, bahkan hingga artikel ini saya tulis, keadaannya malah semakin memprihatinkan. Nuansa nggak terawat kembali hadir setelah pembangunan taman selesai sejak dua tahun lalu.
Kesalahan menyusun skala prioritas sejak awal
Dalam urusan pembangunan, menyusun skala prioritas seharusnya menjadi langkah paling mendasar. Sama seperti mengatur keuangan rumah tangga: kalau atap bocor, tentu yang dibenahi atapnya dulu, bukan malah beli karpet mahal biar ruang tamu kelihatan estetik. Tapi nampaknya, logika sesederhana ini masih belum benar-benar dicerna oleh para pemangku kebijakan di Blora.
Alih-alih menangani masalah krusial seperti jalan rusak yang sudah jadi keluhan tahunan warga, Pemkab Blora kala itu justru memilih membangun Taman Budaya Cepu. Proyek ini bahkan menghabiskan anggaran Rp2,5 miliar dari APBD, lengkap dengan narasi ndakik-ndakik dan janji fasilitas yang—sayangnya—hingga kini malah tidak kelihatan wujudnya.
Taman Budaya Cepu dibiarkan mangkrak wagu, dilanjutkan juga butuh banyak sangu
Proyek ini membuat saya makin merasa miris tatkala membayangkan nasibnya. Terlebih posisi Taman Budaya Cepu saat ini memang serba tanggung. Dibiarkan mangkrak wagu, namun kalau dipaksa dilanjutkan pembangunannya jelas Pemkab akan makin mengkis-mengkis. Lantaran proses pengerjaannya sudah pasti tidak ringan dan membutuhkan biaya tambahan yang sangat besar.
Menurut pernyataan resmi dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Blora, pembangunan kawasan Taman Budaya Cepu secara keseluruhan diperkirakan memerlukan anggaran sebesar Rp133,69 miliar. Angka ini bukan sekadar perkiraan kasar, melainkan berasal dari dokumen Detail Engineering Design (DED) yang menjadi acuan teknis perencanaan proyek. Kepala Bidang Bangunan DPU PR Blora, Muhamad Arif Hidayat, pun menjelaskan bahwa nilai tersebut adalah hasil kalkulasi rinci berdasarkan masterplan kawasan yang sudah disusun sebelumnya.
Jika melihat realisasi saat ini, anggaran yang telah dikeluarkan sebesar Rp2,5 miliar hanya mencakup sekitar 1,87% dari total kebutuhan dana. Artinya, hampir 98% rencana untuk menyelesaikan proyek ambisius ini masih terlalu utopis untuk segera direalisasikan. Apalagi sumber pendanaan lanjutan juga masih menjadi tanda tanya besar bagi Pemkab. Entah untuk menambal kekurangan dana dengan menggunakan APBD, melalui utang daerah, atau cukup dengan berdoa kolektif saat warga Blora menghadiri acara berselawat. Sebuah ironi pahit di mana impian besar pembangunan harus bersaing dengan keterbatasan anggaran dan ketidakjelasan arah kebijakan.
Sebuah kebijakan memang tidak ada yang sempurna, cuma kasus ini terlalu gegabah
Saya mengerti dan mafhum jika suatu kebijakan memang tidak ada yang sempurna. Setiap keputusan pasti punya risiko, ada keterbatasan, dan tentu saja tidak bisa memuaskan semua pihak. Tapi dalam kasus Taman Budaya Cepu ini, saya pikir yang terjadi bukan sekadar ketidaksempurnaan, melainkan tanda-tanda kecerobohan yang terlalu kentara untuk diabaikan. Bahkan terlampau gegabah sejak tahap perencanaan, lemah dalam penganggaran, dan nyaris tanpa rencana jangka panjang yang realistis.
Alih-alih menjadi simbol kemajuan untuk Kabupaten Blora, taman ini justru sekadar menjadi pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup. Perlu nalar sehat, skala prioritas yang masuk akal, dan keberanian untuk berkata “belum waktunya” pada proyek-proyek yang hanya tampak indah dijadikan bahan konten ketimbang berdampak nyata pada kehidupan warga sekitar.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Alasan Blora Kalah Pamor Dibanding Kabupaten Tetangga.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















