Meski telah lulus dari Unesa, kampus tercinta ini, tapi saya masih rutin berkunjung ke sana. Minimal seminggu sekali untuk urusan riset. Nah, setiap ke kampus, saya selalu merasa sedih melihat maba Unesa yang kebingungan mencari kelas, berdesakan di parkiran, hingga duduk berjajar di lantai koridor kampus.
Seandainya mereka jadi maba ITS, mungkin sekarang udah nyaman belajar di kelas yang ukurannya besar itu. Atau kalau mereka jadi mahasiswa Unair, pasti sekarang udah bisa menikmati kantinnya yang mirip food court mall. Intinya, minimal nggak menggelandang, lah.
Oleh karena itu, saya merasa nasib maba Unesa ini sangat nelangsa daripada mahasiswa baru pada umumnya. Bayangin, masih satu bulan berkuliah, tetapi harus merasakan berbagai keburukan di Unesa. Nemen og.
Daftar Isi
Lontang-lantung nggak punya kelas
Menurut saya, masalah terbesar dari perkuliahan adalah nggak punya kelas. Iya, ruangan kelas di Unesa ada, tapi jauh dari kata cukup.
Contohnya aja di prodi Sosiologi yang punya lebih dari 300 mahasiswa. Ruangan yang bisa diakses mahasiswa jurusan ini hanya 4-7 kelas. Itupun harus gantian dengan prodi Pendidikan Sejarah yang mahasiswanya 300 lebih juga. Saat saya bertanya ke salah satu mahasiswa fakultas ekonomi, dia juga mengiyakan kalo kelasnya gentian, bahkan kadang sampai rebutan.
Oleh karena itu, banyak mahasiswa yang lontang-lantung di area kampus buat menunggu prodi lain, atau mencari kelas yang bisa dipakai. Di Unesa, antrean buat dapet kelas udah mirip kayak ngantre bansos, siapa cepat dia dapat. Blas, ra mashok.
Saya jadi heran sama petinggi Unesa, udah dikritik berulang kali perihal kelas, kok ya, nggak sadar. Padahal, ruangan kelas bagian dari hak mahasiswa lho, Pak!
Kurangnya fasilitas umum di Unesa
Minimnya fasilitas umum di Unesa juga menjadi penderitaan bagi maba, utamanya mahasiswa Ketintang. Mereka nggak punya tempat buat nugas bareng atau sekedar ngobrol-ngobrol aja.
Kantin, perpustakaan fakultas, atau gazebo memang ada, tapi lagi-lagi, nggak cukup. Misalnya aja fakultas ilmu sosial dan politik. Jumlah mahasiswa fakultas ini lebih dari 2000 ribu orang, tapi gazebo yang disediakan cuman 4, perpustakaan cuman 1 dan kursinya nggak lebih dari 10. Miris banget, kan?
Bayangin, sudah harus mengantre kelas, tapi tempat tunggunya nggak ada pula. Alhasil, lantai-lantai di koridor kampus yang jadi sasaran para maba.
Jadi, pemandangan mahasiswa makan hingga goler-goleran di lantai kampus sudah menjadi pemandangan biasa saat saya berjalan.
Terus-menerus kuliah online
Pemangku kebijakan di Unesa memang luar biasa, sudah seperti pemerintah negara ini. Solusi dari kurangnya ruangan kelas bukanlah ditambah, melainkan kuliah online, alias nggak perlu ruangan fisik lagi.
Jadi, mahasiswa baru yang masih kuliah satu bulan itu, sudah sering merasakan kuliah secara online. Lha, gimana, kelasnya nggak cukup, og. Akhirnya, para dosen juga memilih daring saja, daripada menunggu kelas, apalagi sampai rebutan. Buang-buang waktu.
Tapi, dalil kebenaran yang selalu digunakan untuk menepis isu ini adalah “hybrid learning”. Pihak petinggi sering mengatakan jika sistem ini bagus untuk mahasiswa. Biar belajarnya lebih fleksibel dan selalu siap beradaptasi terhadap perubahan. Prettt!
Begini, kalo sistemnya 50:50 itu baru bisa disebut hybrid learning, masalahnya di Unesa nggak begitu. Hampir 80% perkuliahannya dilakukan secara daring. Sialnya lagi, nggak ada bantuan kuota sama sekali. Jadi, mahasiswa unesa selalu nombok banyak, selain bayar UKT juga harus beli kuota terus. Ngesakke tenan, Lur.
Nah, fasilitas buruk, sistem yang nggak jelas, dan pemangku kebijakan yang nggak sadar ini adalah penyebab saya mengklaim kalo maba unesa adalah mahasiswa paling nelangsa. Oleh karena, buat adik-adikku, saya menyarankan dua hal yang bisa kalian lakukan. Pindah secepatnya atau tuntut hak-hak kalian!
Penulis: Naimatul Chariro
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Unesa Belum Perlu Membangun Kampus di IKN, Kampus Ketintang dan Lidah Wetan Aja Masih Mengenaskan