Sebagai pembaca setia tulisan di laman Terminal Mojok, dari mulai tulisan pertama sampai dengan ke-10 di setiap harinya, saya selalu sigap dalam meng-klik setiap artikel yang ditayangkan oleh redaktur. Tujuannya beragam, beberapa diantaranya mengisi waktu luang sekaligus menambah wawasan dari berbagai sudut pandang penulis. Pada tanggal 09 Agustus 2019, ada satu artikel berjudul “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya” dan ditulis oleh Abul Muamar. Sebelumnya, salam kenal Bang Abul. Semoga dapat menjadi sapaan yang baik dan berkenan bagi Abang, agar tidak dikira sombong, apalagi kurang pergaulan.
Sebelumnya, saya sudah membaca tulisan terbaru perihal jangan munafik perihal catcalling sampai dengan tiga kali—sudah seperti minum obat—karena ternyata ada sudut pandang lain perihal catcalling. Begini, Bang Abul sempat membahas bahwa jangan anggap catcalling sinonim dengan pelecehan seksual. Ditambah istilah itu berasal dari barat. Baik.
Secara harafiah, melalui Google Translate, catcalling sendiri bermakna: make a whistle, shout, or comment of a sexual nature to a woman passing by. Sederhananya, mengutip dari Kumparan, catcalling memiliki arti lontaran ucapan dalam suara keras yang memiliki tendensi seksual, misal berseru atau berkomentar pada perempuan yang lewat di jalanan dan merupakan salah sagu bentuk gangguan di jalan. Gimana? Sudah tidak kebarat-baratan lagi, kan?
Memang betul, perilaku catcalling sudah ada sejak dahulu. Beberapa teman saya juga melakukannya sedari dulu jika ada perempuan yang lewat. Tujuannya memang bukan untuk melecehkan, hanya untuk menggoda, iseng, dan menjadi kebiasaan ketika nongkrong. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh saya, karena bagi saya itu mengganggu kenyamanan orang lain.
Banyak dari teman perempuan hingga pasangan saya yang selalu risih dan merasa keamanannya terancam ketika ada yang catcalling. Hal tersebut tidak bisa dipisahkan oleh informasi negatif yang beredar di media, juga pengalaman pribadi. Teman saya, misalnya, ada seorang pria yang awalnya hanya menggoda, bersiul, dan memanggil. Saat tidak merespon, malah dibilang sombong, dilecehkan secara verbal, dan diikuti.
Apa itu tidak mengancam? Rasanya, dalam hal ini soal teori feminisme atau media tidak salah. Jika dilihat dari sisi lain, info yang beredar perkara catcalling malah membuat semakin mawas diri. Bahkan pasangan saya sampai membawa stun gun—alat kejut listrik—jika bepergian untuk menjaga diri. Ya, semengerikan itu akibat lanjut dari catcalling.
Melansir dari klikdokter, sebuah studi mengungkap bahwa pelecehan seksual nonfisik seperti perkara catcalling dapat meningkatkan gangguan pada mental, mulai dari depresi sampai rendah diri. Tapi, sayangnya studi ini dilakukan di Norwegia, salah satu negara di bagian Barat sana. Walau di Indonesia pun sudah banyak kasus perihal catcalling di sekitar—bahkan untuk pasangan saya sendiri.
Pasangan saya pernah bercerita secara terbuka, dia pernah mendapat perlakuan catcalling dari cowok yang menurutnya cukup tampan sampai dengan yang biasa saja. Baginya, perlakuan tersebut sama saja tidak menyenangkannya. Sudahlah tidak kenal, malah melecehkan. Kalau memang sangat ingin berkenalan, tentu ada cara yang lebih baik, bukan?
Di waktu lain, teman sekolah saya semasa SMA pernah menjadi korban catcalling sekaligus pelecehan seksual secara langsung. Sedih, marah, dan terpukul rasanya melihat seorang teman perempuan menangis histeris dan sangat down secara mental di depan mata kepala sendiri, Bang. Berawal dari apa? Catcalling. Dia sampai izin tidak masuk sekolah selama beberapa minggu karena sempat merasa rendah diri dan trauma. Syukur, setelahnya dia bisa mengatasi ketakutan secara perlahan dan menjalani hari secara normal.
Perkara catcalling jelas sangat berbeda dengan memuji. Menurut KBBI, memuji asal katanya dari puji/pu•ji/ bermakna rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan sesuatu. Rasanya kok ya beda jauh dengan catcalling yang cenderung ke arah pelecehan.
Seumur hidup, walaupun beberapa teman saya melakukan catcalling, saya sendiri tidak pernah melakukan hal itu. Bukan sok baik, sok bijak, apalagi ingin dipuji, lebih kepada saya tahu hal itu mengganggu—baik dari kenyamanan juga keamanan.
Oh, iya, Bang. Apakah saya boleh tahu sumber yang menyebutkan dalam kultur melayu dan turunannya terbiasa saling menggoda? Sebab, saya sudah coba googling namun belum ada info terkait itu. Atau mungkin karena google itu teknologi dari Barat, ya? Kalau yang dimaksud menggoda dalam hal berbalas pantun, tentu itu beda cerita, Bang.
Dari saya, seorang lelaki kelahiran tahun 1991 dan sama sekali tidak pernah ada keinginan sedikit pun untuk catcalling sampai dengan saat ini, juga tidak pura-pura amnesia akan hal itu.
Tabik. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.