Halo, Romo Magnis-Suseno. Perkenalkan, saya Hugo, seorang wartawan sepak bola yang berambisi mengubah Indonesia. Saya tampaknya terlalu mengimani slogan andalan dari Romo Soegijapranata yang bunyinya “100% Katolik 100% Indonesia”. Sebagai umat Katolik sekaligus rakyat Indonesia, bukankah sudah sepantasnya kalau saya ikut-ikut membahas negara?
Di sisi lain, saya malu sama Romo Magnis. Romo itu kan aslinya orang Jerman. Kebetulan masuk ordo Jesuit dan ditugaskan di Indonesia sejak 1961. Ndilalah Romo itu kok rasa cintanya pada Tanah Air ini munjul-munjuli saya yang pribumi.
Buktinya banyak. Romo Magnis-Suseno dengan kesadaran memilih jadi WNI. Di setiap foto, Romo selalu tampak mengenakan batik sebagai budaya khas Malaysia Indonesia. Belum lagi tulisan-tulisan Romo tentang Indonesia yang tidak mungkin saya inventarisasi dalam surat ini.
Tapi, Rom, saya baca lho tulisan terbaru Romo tentang Indonesia. Itu lho yang dimuat di Majalah Hidup minggu lalu. Baru baca judulnya saja saya sudah minder: Kita dan HRS. Sangat aktual dan bersahaja.
Romo tentu masih ingat dengan jelas isi tulisannya. Namun, izinkanlah saya menceritakan ulang apa yang Romo tulis di sana.
Kalau tidak salah menafsirkan, Romo Magnis-Suseno ingin membahas persoalan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari kacamata seorang Katolik. Menurut Romo, permasalahan HRS semata-mata adalah persoalan internal umat Islam.
Kita-kita ini yang Katolik tidak perlu lah ikut campur tetek bengek. Apalagi sampai ikut-ikut menurunkan dan atau memasang kembali baliho-baliho bergambar HRS. Itu sudah bagiannya TNI, begitu kan Rom?
Sebagai umat Katolik, yang terpenting itu tetap menjaga hubungan baik dengan kawan-kawan yang beragama Islam. Selain untuk menjaga ajaran Yesus tentang cinta kasih, hubungan baik antarumat beragama juga penting bagi stabilitas negara.
Jelas-jelas Romo menyatakan seperti ini (saya kutip langsung tanpa mengubah ndak masalah to Rom?):
“Dan satu hal mesti jelas: pemerintah dapat mengandalkan loyalitas kita… Sumbangan kita adalah agar di Indonesia tetap benar bahwa Bhinneka Tunggal Ika… Untuk itu kita harus menjadi kawan terpercaya umat-umat lain di Indonesia.”
Maafkan saya bila lancang Rom, tapi membaca tulisan itu reflek saya tertawa. Kata loyalitas mengingatkan saya pada seorang satpam yang mendendangkan yel-yel loyalitas pada satuannya. Bedanya, satpam itu menggunakan kata-kata “yolalitas” alih-alih “loyalitas”.
“Adakah yolalitas di matamu? Adaaa! Adakah 292 di dadamu? Ada! Di mana? Di siniii!”
Ah, saya jadi melantur.
Kembali ke tulisan Kita dan HRS, Romo Magnis-Suseno sama sekali tidak lupa mencantumkan kesadaran bahwa umat Katolik kerap menerima perlakuan intoleran dari oknum-oknum tak bertanggung jawab. Mulai dari terganggunya perayaan Natal sampai susahnya membangun Gereja.
Menurut Romo, paling-paling setahun cuma ada 20-30 kasus intoleransi di seluruh Indonesia. Toh yang mendapat toleransi dari umat lain jauh lebih banyak. Ditambah lagi, teologi Katolik itu kan berpusat di salib ya, Rom? Artinya penderitaan harus kita pikul sebagai silih atas dosa, begitu tidak Rom?
Masalahnya di sini Rom, umat Katolik tampaknya mulai gedek menderita. Pada 10 Desember kemarin, 147 pastor yang berkarya di Papua meminta supaya Gereja bisa segera membangun komunikasi dengan pemerintah untuk menyelesaikan konflik.
Ini sudah bukan umat lagi, melainkan para imam yang jadi wajah Gereja. Kita sama-sama tahu lah, Rom, rumitnya persoalan Papua. Saya yang tinggal di Sumatera tentu tak punya kapasitas menjelaskan apa yang terjadi di sana.
Namun, menurut Pastor John Bunay, Pr, selaku jubir para pastor di Papua, Gereja Indonesia yang diwakilkan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) telah abai pada konflik-konflik di Indonesia khususnya Papua, baik berbau agama maupun tidak. Kalau menurut saya sih ini gawat Rom.
Saya membaca, Gereja Indonesia selama ini hanya bisa mengembangkan mental prihatin. Seruan-seruan tentang keprihatinan selalu diutarakan oleh Gereja dalam setiap konflik kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.
Misalnya peristiwa teroris di Sigi, Sulawesi Tengah, awal Desember kemarin. KWI bergerak cepat menemui Mahfud MD selaku Menko Polhukam. Entah apa yang dibahas, saya hanya tahu bila KWI merasa prihatin dengan peristiwa naas itu. Tindak lanjutnya? Sepertinya hanya Tuhan yang tahu.
Kalau cuma bisa menunjukkan rasa prihatin, tak perlu jauh-jauh ke KWI. Romo-romo di gereja sudah setiap Minggu berkotbah tentang keprihatinannya pada peristiwa di sekitar. Toh sama seperti KWI, tidak ada tindak lanjut yang berarti dalam kehidupan sehari-hari umat Katolik.
Saya masih ingat, dalam buku Menalar Tuhan (2010) yang saya gunakan sebagai acuan skripsi, Romo menulis penderitaan sebagai tantangan dalam filsafat. Penderitaan jadi persoalan genting dalam tatanan ontologi manusia, sebab semua orang mengalami. Bahkan orang-orang yang percaya pada Tuhan pun ikut jadi korban.
Kalau sudah seperti itu, harusnya loyalitas pada negara bukan jadi jawaban. Carut-marut pemerintah menangani pandemi Covid-19 harus jadi luka yang perlu kita akui bersama-sama keberadaannya. Bukannya malah kita tutupi sambil berkata “aku baik-baik saja”.
Saya memang tak punya kapasitas apa pun untuk menasihati Romo, baik secara filsafat maupun keimanan. Saya hanya alumnus filsafat yang lulus setelah enam tahun kuliah. Dalam hal iman, saya hanya sanggup bertahan tiga tahun saat menjalani pendidikan calon imam. Tentu tak bisa dibandingkan dengan Romo yang profesor filsafat dan rohaniwan selama puluhan tahun.
Namun, sebagai seorang umat, izinkanlah saya meminta pada Romo, untuk tidak diam seperti Adam di Taman Firdaus. Karena sikap diamnya saat Hawa menawarkan buah terlarang, manusia terjerumus pada dosa asal yang tak terhindarkan.
Mungkin Romo bisa mengajak Gereja Indonesia (kalau tak ingin menyebut KWI) mencontoh apa yang dilakukan oleh Konferensi Wali Gereja Sri Lanka pada pertengahan Oktober lalu. Kalau Romo belum tahu, Sri Lanka Oktober kemarin baru saja mengganti amandemen konstitusinya. Celakanya, penggantian amandemen itu berpotensi memberikan kekuasaan dan kekebalan hukum kepada para eksekutif, termasuk presiden.
Melihat kondisi itu, Konferensi Wali Gereja Sri Lanka tidak menerbitkan tulisan yang menyatakan loyalitasnya pada pemerintah. Dengan tegas, lewat surat pernyataan pada 13 Oktober 2020, Uskup-uskup di Sri Lanka menekankan “pemusatan kekuasaan dalam diri seseorang tanpa pengawasan dan keseimbangan tidak memberikan pertanda baik bagi republik sosialis dan demokratis.”
Jika itu sulit, sekiranya Romo bisa mempertimbangkan gerakan Teologi Pembebasan yang berkembang di Gereja-Gereja Amerika Latin, yang juga melahirkan Paus Fransiskus. Romo tentu tahu, bahwa Teologi Pembebasan berkembang dari semangat imam-imam Jesuit, ordo Romo sendiri, yang menolak berbagai bentuk penindasan dari pemerintah kepada rakyat (yang kebanyakan miskin). Lewat Teologi Pembebasan, kita belajar bahwa Yesus yang kita imani tidak sekadar jadi tokoh yang pasrah pada penderitaan melainkan juga revolusioner memperjuangkan kebenaran.
Teologi Pembebasan memang kurang pamor di Indonesia karena Gereja adalah minoritas. Tapi, harusnya inti dari teologi itu tidak terletak pada jumlah umat Katolik, melainkan jumlah rakyat yang tertindas. Seandainya pun ingin menggunakan kuota umat, harusnya suara pastor-pastor di Papua bisa jadi alasan yang kuat.
Sikap seperti itulah yang saya harapkan muncul dari Romo Magnis-Suseno selaku sosok terpandang dalam Gereja Indonesia. Saya, dan mungkin umat Romo yang lain, menginginkan sosok imam yang menuntun kami pada tindak nyata untuk membawa kebaikan yang lebih-lebih bagi hidup manusia. Bukan sekadar loyal pada pemerintah yang tak jelas juntrungnya.
Kami ingin salib-salib ini punya arti. Bukan hanya dimaknai sebagai penderitaan, tetapi keimanan yang bersandar pada harkat dan martabat kehidupan.
BACA JUGA Dikenang Bak Pahlawan karena Tambal Ban.