Masalah parkir di Jogja ini adalah salah satu masalah paling sering dibahas di media sosial. Yang pro dengan tukang parkir banyak, yang kontra apalagi. Benar-benar sebuah masalah yang bisa memantik perdebatan alot nan panas.
Bahasan tentang parkir ini beragam. Mulai dari aliran dana yang tak jelas, status legalitas, serta tindak-tanduk tukang parkir yang dianggap menyebalkan. Tapi, sebagai mahasiswa, izinkan saya menyampaikan uneg-uneg tentang masalah parkir di Jogja.
Di Kota Pelajar ini, selain ditanya KTP setiap mau meliput sultan ground, serta susah dapat kos karena jadi orang Timur, parkir adalah salah satu kekesalan yang bikin saya pusing. Kekesalan terhadap tukang parkir di Yogyakarta sebenarnya sudah bercokol sedari dulu, sedari kaki pertama kali menapak di Tanah Kesultanan ini.
Bagaimana tidak, hampir semua tempat di Yogyakarta “dikuasai” tukang parkir. Mulai dari tempat elit sampai tempat orang-orang dengan ekonomi sulit seperti saya.
Tapi, begini, saya masih maklum kalau tempat elit di Jogja itu dipenuhi tukang parkir. Sudah lumrahnya. Hanya saja, kalau tempat proletar dan tempat-tempat yang harusnya nggak butuh tukang parkir malah dijaga oleh mereka-mereka ini, ya boncos.
Saya jadi bertanya-tanya, ada kode etik nggak sih profesi ini?
Daftar Isi
Datang tanpa kontribusi, pergi bawa retribusi
Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana bisa tukang parkir itu disebut penyedia jasa jika mereka tak berjasa?
Maksud saya begini. Kalian datang ke suatu tempat, nata motor sendiri, parkir sendiri. Ketika cabut, kalian diminta biaya parkir. Apa itu masih bisa dibilang jasa? Bagi saya sih, tidak. Wong mereka nggak melakukan apa pun yang bisa disebut sebagai jasa, kok.
Oke, kalau ada yang berpendapat bahwa yang mereka lakukan itu sesuatu yang dibutuhkan, beberapa tempat ini, sebenarnya nggak butuh tukang parkir.
Baca halaman selanjutnya
Masak lapangan ada tukang parkirnya? Kebangetan
Bersihkan tempat ini dari tukang parkir
Jogja, bagi saya nggak hanya sebagai Kota Pelajar, bisa juga disebut sebagai “The Land of Dreams”.
Maksud saya begini. Pendidikan, bagi orang desa dan nggak mampu, adalah tiket bagi mereka meraih mimpi dan keluar dari kesengsaraan. Artinya, Jogja ini, adalah tujuan bagi banyak orang desa dan orang tak berpunya. Itulah kenapa kafe-kafe proletar macam Basabasi begitu laku, ya karena memenuhi hasrat mahasiswa untuk nongkrong dengan harga yang jelas tak mencekik. Dan banyak lagi tempat seperti itu di Jogja.
Masalahnya adalah, tempat murah di Jogja pun nggak luput dari tukang parkir. Bahkan dari yang saya temui, semuanya “dijaga” oleh tukang parkir. Inilah masalah parkir di Jogja yang menurut saya yang paling berat.
Saya kasih daftarnya ya, mana saja yang ada tukang parkir.
Tempat pertama, tempat orang jualan sayur. Baiklah, saya nggak bisa memungkiri warung sayur itu ramai, dan jadi lahan basah untuk parkir. Tapi perlu diingat, warung sayur itu tempat belanja orang yang mau ngirit. Makan saja mereka pangkas uangnya, mosok masih dibebani parkir?
Kedua, minimarket. Ini sih udah jadi keresahan semua orang. Nggak perlu lah saya jelaskan berlarut-larut.
Ketiga, ini nih yang paling unik: Kali Code. Walau Kali Code memang masuk objek wisata, dan layak untuk ditarik parkir, tapi mbok ya nggak semahal itu. Masak ya lima ribu, Bos?
Terakhir, dan yang paling lucu adalah lapangan. Saya nggak mau sebut mana, tapi, AYOLAH, lapangan lho.
Bagi saya, tempat-tempat tersebut nggak sepatutnya ditarik biaya parkir. Entah kenapa masalah parkir di Jogja jadi separah ini. Saya mempertanyakan etik aja sih.
Harapan besar perbaikan tata kelola parkir di Jogja
Disclaimer, saya tidak bermaksud untuk mencela profesi tertentu karena apa pun profesi yang dijalankan dengan halal dan legal pastilah baik. Persoalan parkir sebenarnya menjadi persoalan kompleks tidak hanya menjadi persoalan kultural, tetapi juga persoalan struktural.
Bahkan kalau kita lihat secara kritis fenomena berjibunnya tukang parkir ilegal bisa jadi disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan tukang parkir yang legal. Atau mungkin karena kurangnya kemampuan penyerapan tenaga kerja sehingga masyarakat harus berjibaku dengan pilihan-pilihan sulit. Salah satunya dengan memilih sebagai tukang parkir ilegal.
Sehingga dalam hal ini besar harapan untuk tukang parkir bisa meningkatkan profesionalitas agar apa-apa yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Di samping itu juga pemerintah sebagai stakeholder bisa lebih baik dalam tata kelola jasa parkir, terutama harus memperhatikan kesejahteraan tukang parkir.
Tapi kalau solusi seterang ini nggak dilakukan, ya… gimana lagi?
Penulis: Maliki Sirojudin Agani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bisnis Lahan Parkir Tidak Pernah Sederhana, bahkan Penuh Darah dan Mafia