Surat Terbuka kepada Makhluk Gaib: Persetan Hidup Berdampingan, Hidup Manusia Sudah Susah!

Surat Terbuka kepada Makhluk Gaib: Persetan Hidup Berdampingan, Hidup Kami Sudah Susah!

Surat Terbuka kepada Makhluk Gaib: Persetan Hidup Berdampingan, Hidup Kami Sudah Susah! (Pixabay.com)

Makhluk gaib itu nggak tahu diri kadang-kadang

Pada suatu malam yang dingin, seorang suami duduk di teras rumahnya. Menikmati rokok terakhir sambil berpikir keras. Lusa, anaknya harus beli seragam pramuka. Istrinya juga butuh uang untuk melunasi paylater. Sembari memegang dahi, suami itu sibuk memeras otak. Tiba-tiba, sosok pocong muncul di seberang pagar. Memasang wajah seram, berusaha meneror. Menurut Anda, apakah si suami tadi pantas untuk marah?

Saya pikir sangat pantas, kudu marah malah, geger kalau perlu. Ayo gek ndang gelut, majuo!

Inilah ketimpangan dalam relasi hidup manusia dan makhluk gaib. Dan ketimpangan dalam semangat hidup berdampingan antar makhluk ini. Untuk yang menganggap makhluk gaib itu halu dan potensi schizophrenia, silahkan minggir dulu. Kali ini biarkan mereka yang percaya hal gaib untuk bersuara. Menuntut keadilan dari relasi yang timpang selama ini. Antara manusia yang hidupnya susah, dengan demit yang hidupnya mbuh.

Tentu Anda sering mendengar cerita gangguan makhluk gaib. Apalagi gangguan di dalam rumah. Dari bunyi misterius, perabot rusak, sampai penampakan. Dan kita diminta untuk hidup berdampingan dengan para makhluk gaib. Apalagi kalau dianggap makhluk gaib ini sudah lebih dulu berdiam di rumah. Situasi jadi serba salah bagi manusia. Terus ada kata-kata begini, “Mengalah saja, memang sudah sepantasnya manusia dan makhluk gaib hidup berdampingan.”

Sek, sek, LHA KOK BISA KITA YANG HARUS MENGALAH?! Kenapa kita yang dituntut untuk hidup berdampingan? Apalagi ketika kita, manusia, sudah hidup dalam kesesakan.

Rumah seadanya, dan kadang masih KPR. Kerjaan bejibun, dan masih dipepet gaji humble. Tiap bulan harus melunasi cicilan beli perabotan. Tiap hari masih harus nyapu, ngepel, dan nyuci piring. Kalau hujan, harus siaga genteng bocor. Belum lagi ancaman kemalingan, kebakaran, dan ancaman bencana alam lain. Dan yang paling berat: meladeni bacotan tetangga dan ribut gara-gara parkir sembarangan.

Apa yang dilakukan para demit? Kalau rumah kotor, bikin ribut. Kalau rumah terlalu ramai, bikin ribut. Kalau salah menaruh cermin, bikin ribut. Punya anak bayi, bikin ribut. Punya peliharaan, bikin ribut. Bahkan ketika rumah sudah layak dan pantas, masih saja bikin ribut. Lalu di mana unsur hidup berdampingan? Yang ada manusia dibuat tidak nyaman.

Jika berdampingan, mana sumbangsih para makhluk gaib penghuni rumah? Mereka tidak pernah bersih-bersih. Tidak juga menjaga rumah dari bencana alam. Apalagi berharap mereka ikut patungan mencicil KPR. Yang ada malah menuntut diberi makanan macam dupa dan bunga. Dan ketika rumah akan dijual, para demit ini tidak mendukung dengan promosi. Yang ada malah makin menghancurkan harga properti karena angker.

Semangat hidup berdampingan ini terlalu overrated. Tidak realistis dan tidak berimbang. Manusia tidak punya ruang untuk menuntut para demit mau hidup berdampingan. Tapi, manusia terus dituntut untuk berdamai sepihak. Ketika harus diusir, masih saja menuntut ini itu. Entah sesajen ayam cemani, kembang tujuh rupa, atau minyak wangi mahal. Padahal manusianya saja nggak pernah beli parfum.

Relasi manusia-demit ini tidak berimbang. Dan cenderung ada relasi kuasa yang tidak sehat. Para demit tidak peduli dengan kesulitan hidup manusia. Namun terus menuntut untuk dihargai dan dipenuhi kebutuhannya.

Kalau mereka bikin ribut di gua atau puncak gunung sih, saya maklum. Atau menampakkan diri di tengah hutan, karena itu rumah mereka. Tapi, tetap saja yang diganggu masih manusia madesu yang ingah-ingih. Mana ada demit meneror pemilik perusahaan kayu yang membalak hutan dengan membabi hutan?

Tapi ini sudah bicara teritorial. Para manusia (yang tidak brengsek) saja tahu batasan ketika berada di rumah orang lain. Lha ini sudah beda dimensi, tapi masih saja merecoki. Kalau merasa tergusur, manusia juga sama saja, mit! Kami juga terancam gusuran dengan dalih pembangunan. Bedanya, kami butuh rumah layak. Kalau kalian kan, bisa hidup di pohon atau batu besar.

Kalau mau hidup berdampingan dalam satu atap, tunjukkan kontribusi. Syukur-syukur bisa membantu cicilan rumah. Tapi paling tidak, kalian tidak usah mengganggu. Cukup anteng hidup di rumah kami! Sepele lho permintaan kami.

Jangan bebani manusia dengan urusan gaib. Kami sudah muak dengan pemerintah yang embuh bikin kebijakan. Kami sudah lelah dengan tuntutan kerja dan hustle culture. Kami sudah capek dengan hierarki sosial dan mulut tetangga. Plis, kalian jangan menambah beban hidup kami!

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Delapan Tahun Tinggal di Rumah Hantu

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version