Terus terang saya nggak mengerti kenapa banyak mahasiswa yang memilih merantau ke Surabaya. Yah, meskipun harus diakui kalau banyak hal menarik di kota ini, tapi mosok kalian nggak mempertimbangkan soal kenyamanan, sih? Apalagi kalau membahas soal cuaca di Surabaya yang nggak ramah buat mahasiswa rantau.
Menurut saya, Surabaya saat ini punya 4 cuaca, yaitu panas, panas banget, hujan, dan hujan ekstrem. Saya nggak lagi bercanda ya, memang beneran gini. Bahkan, kalian bisa merasakan panas yang menyengat dan hujan ekstrem di satu hari yang sama. Kurang aneh apa coba?
Makanya sebelum menyesal, saya ingin mewanti-wanti kalian yang punya keinginan merantau ke Surabaya agar pikir-pikir lagi.
Daftar Isi
Repotnya mahasiswa rantau saat musim kemarau di Surabaya
Seorang teman pernah mengatakan kalau Surabaya saat musim kemarau nggak ramah bagi mahasiswa rantau. Saya nggak marah, malah saya jawab kalau Surabaya saat musim kemarau juga nggak ramah buat orang Surabaya sendiri. Ibarat neraka bocor halus, puanas, Lur.
Satu bulan yang lalu, suhu rata-rata harian Surabaya berada di angka 37 derajat Celcius. Sebagai gambaran, sinar matahari sudah terasa menyengat mulai jam 7 pagi. Bayangkan, kombinasi macetnya jalanan Surabaya ditambah teriknya matahari merupakan perpaduan yang cocok untuk membuat mahasiswa rantau menyesali keputusannya merantau ke Kota Pahlawan.
Selain itu, seorang teman yang lain juga pernah bercerita kalau dia pernah menggunakan dua kipas angin untuk mengantisipasi panasnya cuaca di Surabaya. Namun, alih-alih membuatnya merasa sejuk, justru kipas tersebut mengeluarkan angin yang panas. Jadi serba salah, nyalain kipas panas, nggak dinyalain makin panas. Hadeh.
Musim hujan justru membuat mahasiswa rantau makin kerepotan
Kalau kalian mengira Surabaya hanya menyebalkan saat musim hujan, sepertinya kalian perlu ditampar realita kalau keduanya sama-sama merepotkan. Ada untungnya satu sih, kalau musim hujan udaranya jadi lebih sejuk.
Akan tetapi, bukan berarti udara yang lebih dingin membuat semua masalah jadi terselesaikan, ya. Ingat, masih ada banjir.
Jangan kalian kira Surabaya sebagai kota metropolitan sudah terbebas dari banjir. Justru beberapa titik di kota ini masih rawan banjir misalnya di Jalan Ketintang, Jalan Mayjen Sungkono, Jalan Ciliwung, dan lain-lain. Ketinggian airnya juga nggak main-main, lho, minimal di atas mata kaki. Maksimal ketinggian air banjir di sini bahkan sampai membuat motor kalian tenggelam.
Hal tersebut membuat beberapa teman saya ndersulo karena mereka jadi kesulitan untuk pergi ke mana-mana. Meskipun sebenarnya bisa diakali dengan menggunakan transportasi umum seperti Suroboyo Bus, tapi tetap saja angkutan ini masih belum menjangkau seluruh wilayah di Surabaya. Jadi, pilihan utamanya tetap menerjang hujan menggunakan motor berbekal jas hujan dan kresek.
Merantau ke Malang jauh lebih masuk akal
Menurut saya, Malang jauh lebih masuk akal untuk dijadikan opsi bagi mahasiswa yang ingin merantau. Tentu saya sudah menyiapkan alasan untuk mendukung pernyataan ini.
Pertama, cuaca di Malang relatif lebih sejuk saat musim kemarau. Yah, meskipun sama-sama rawan banjir, tapi minimal di sana kalau musim kemarau masih sejuk.
Kedua, Malang merupakan daerah dengan perguruan tinggi terbanyak setelah Surabaya di Jawa Timur. Berdasarkan data BPS, daerah ini memiliki total 59 perguruan tinggi negeri dan swasta. Jadi, dengan jumlah kampus sebanyak ini dapat membantu kalian lebih fleksibel dalam menentukan pilihan.
Terakhir dan nggak kalah penting, biaya hidup di Malang lebih terjangkau daripada di Surabaya. Seorang teman pernah mengatakan kalau dirinya hanya perlu membayar Rp500 ribu untuk biaya sewa kos. Sedangkan, di Surabaya harga sewa kos saat ini berada di atas Rp 700 ribu.
Menimbang ketiga alasan tersebut, saya kira Malang jauh lebih cocok untuk mahasiswa rantau. Selain itu, daerah ini juga memiliki lebih banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi saat ingin menghilangkan penat di sela-sela kuliah. Harus diakui kalau dari segi mana pun, Malang tetap jauh lebih ramah untuk mahasiswa rantau. Setuju kan, Gaes?
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sebenarnya, Surabaya Maunya Jadi Apa?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.