Jogja adalah daerah yang dikenal dengan branding yang luar biasa. Romantis, istimewa, dan murah selalu melekat dengan Jogja. Maka dari itu, banyak orang punya mimpi untuk kuliah di Jogja. Tapi, harus saya katakan di sini kalau semua hal yang melekat dengan Jogja itu nggak lebih dari omong kosong. Faktanya, kota ini sama saja dengan banyak daerah lain. Dan yang jelas sama dengan Surabaya, tempat saya tinggal. Ini saya serius.
Kesimpulan tersebut saya dapat setelah berdiskusi dengan banyak orang, baik pendatang atau warga asli Jogja. Dari diskusi ini saya jadi punya pemahaman baru kalau Surabaya jauh lebih masuk akal. Setidaknya, jika kalian ingin menempuh pendidikan tinggi dan merantau di Kota Pahlawan.
Daftar Isi
UKT di kampus Jogja lebih mencekik dan sulit banding
Merujuk data BPS tahun 2021, Jogja menjadi provinsi dengan biaya kuliah tertinggi di Indonesia dengan rata-rata Rp21,10 juta per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Jawa Timur yang hanya Rp14,76 juta per tahun. Di Terminal Mojok, kalian juga bisa menemukan beberapa sambatan mengenai mahalnya UKT di Jogja. Salah satunya tulisan Mbak Tsabita di sini.
Singkatnya, kuliah di Jogja itu mahal.
Sebagai pertimbangan, saya punya teman yang juga masuk melalui jalur mandiri di Unair. UKT-nya jelas mahal, sekitar Rp14 juta. Tapi, dia bisa mengajukan banding sampai sekitar Rp12 juta. Tetap mahal, tapi lumayan. Kawan saya yang lain di Unesa ada yang bisa mengajukan potongan UKT sampai 50 persen.
Saya nggak akan bilang kalau pengajuannya mudah, sebab ada syarat administrasi dan tetek bengek lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, selama ini teman-teman saya nggak pernah ditolak saat banding UKT. Bahkan, beberapa kawan saya ada yang UKT-nya antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta aja.
Harga makanan di Jogja nggak lebih murah daripada di Surabaya
Jogja digadang-gadang sebagai daerah dengan biaya hidup yang murah. Branding ini tentu menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi calon mahasiswa yang bermimpi kuliah di Jogja. Sayangnya, harus saya katakan kalau branding murah di Jogja itu hanya sekadar omong kosong.
Saya akan membandingkan dari hal paling sederhana, yakni harga makanan. Di Jogja, harga untuk satu porsi ayam geprek dan es teh itu antara Rp15 ribu sampai Rp18 ribu. Lalu, apakah di Surabaya lebih mahal? Nggak juga, di sini harganya juga segitu. Bahkan, saya masih dengan mudah nemu nasi kuning yang harganya cuma Rp7 ribu.
Dari hal paling sederhana saja Jogja tetap nggak lebih murah daripada Surabaya. Terus, kenapa Jogja bisa seyakin itu mengklaim diri sebagai daerah dengan biaya hidup murah. Lha, faktanya malah menjadi provinsi dengan biaya UKT tertinggi, harga makanannya pun nggak murah-murah amat. Woo mbujukan!
Baca halaman selanjutnya
Nggak ada “KTP ngendi koe, su?!”
Kultur Surabaya yang lebih ramah pendatang
Saya sering menemui guyonan di sosial media yang membahas soal masyarakat Jogja yang nggak ramah untuk pendatang. Misalnya, kalau kamu nggak ber-KTP Jogja, maka kamu nggak boleh berkomentar apa-apa soal Jogja. Bahkan, kalau kalian mau sambat ke akamsi, mereka akan melemparkan pertanyaan, “KTP-mu asli endi?”
Belakangan, saya baru tahu kalau ternyata itu bukan guyonan. Warga Jogja emang beneran ada yang kayak gitu. Beruntungnya, hal serupa nggak akan kalian temui di Surabaya.
Bisa dibilang, mayoritas teman saya di kampus adalah pendatang dari berbagai daerah. Beberapa dari mereka sepakat kalau nggak merasakan diskriminasi dari warga Surabaya. Paling mereka nggak nyaman karena bahasanya lebih kasar dan sering misuh. Sisanya, teman-teman saya bisa membaur dengan baik bersama warga lokal.
Di Surabaya, kalian nggak perlu khawatir pulang malam
“Kuliah di Jogja itu yang wajib diingat adalah sebisa mungkin jangan pulang di atas jam 9 malam, apalagi kalau kosmu lewat jalan sepi,” kata teman saya melalui telepon. Dia adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jogja, dan kebetulan pernah hampir berpapasan dengan klitih. Beruntungnya dia langsung sadar dan putar arah mengambil jalan lain.
Di Surabaya, kalian akan lebih aman dari kejahatan serupa. Yah, meskipun saya nggak bisa menutupi kalau di sini ada gangster yang juga bikin rusuh, tapi setidaknya mulai dari wali kota sampai aparat langsung ambil tindakan. Saya juga sering nemu mobil polisi yang patroli tengah malam. Masih lebih baik daripada nggak ada tindakan sama sekali.
Namun, meskipun serupa, kasus gangster di Surabaya tetap nggak bisa disamakan dengan klitih di Jogja. Skalanya beda, di Surabaya masih terhitung kecil dan jarang. Jadi, saya kira Surabaya tetap lebih aman kalau mau keluyuran di malam hari.
Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya kalian harus mempertimbangkan Surabaya sebagai daerah tujuan untuk menempuh pendidikan tinggi dan merantau ketimbang kuliah di Jogja. Biaya pendidikan di sini relatif lebih murah, warganya ramah pada pendatang, nggak perlu khawatir klitih, dan yang lebih penting adalah kulinernya murah dan enak.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.