Supeltas berdiri tegak, ketika fajar memaksa kita untuk menghadapi meja kerja. Di pertigaan, perempatan, atau perberapalah itu, mereka sigap membantu kita menyibak keramaian jalan, bersama polisi.
Oh, Anda kira supeltas adalah bagian dari polisi? Bukan, bukan. Mereka sukarelawan, yang sama gerahnya dengan kalian melihat kemacetan.
Sayangnya, polisi yang (harusnya) menjadi garda terdepan dalam ketertiban berkendara itu, hanya ditemukan di lapangan sampai kisaran pukul sembilan pagi, selebihnya entah ke mana. Dan, terjadilah peralihan tongkat estafet, tugas pengaturan lalu lintas dilanjutkan oleh supeltas yang setia menemani para pengendara.
Padahal jalan raya, khususnya yang masih belum ada lampu merahnya, itu sangat membutuhkan pengatur lalu lintas. Dan, kemacetan nggak selalu hanya terjadi di pagi hari, melainkan siang, sore bahkan malam nggak luput dari kemacetan. Lah, kok ndilalah jam sembilan pagi para polisi lalu lintas (polantas) itu udah cabut. Dan, yang nongol dan tetap bertahan cuma supeltas.
Daftar Isi
Kemacetan Benowo yang mengerikan
Pertigaan Terminal Benowo, Surabaya misalnya. Meskipun di sekitar area kemacetan itu ada pos polisi, tapi setelah jam 9, dah nggak ada polisi. Malah justru yang riweh yang ngatur totalitas banget itu supeltas. Di samping terminal itu udah jelas banget ada pos polisi, tapi ya gitu, pekerja pos itu hanya eksis nggak lebih dari jam sembilan pagi. Selebihnya semuanya dihendel oleh supeltas yang sampek keriwehan mengatur macetnya kendaraan.
Saya sendiri sering banget berangkat ke kampus dari Gresik ke Surabaya di waktu pagi untuk menghindari panasnya Surabaya. Dan memang saya temui ada polantas yang ngatur lalu lintas di sekitaran terminal. Namun, ketika saya pulang dari kampus, di sore hari, polantas tersebut hilang, lenyap, entah ke mana. Padahal, di sore hari, di pertigaan Terminal Benowo itu muacet pol. Orang pulang kerja, jemput anak sekolah, semuanya numplek di situ. Tapi kok ya nggak ada polisi satu pun. Yang ada malah supeltas aja yang tetap giat dari pagi hingga malam.
Orang-orang Gresik-Surabaya dan sekitarnya sudah pasti tau bagaimana kondisi kemacetan di Terminal Benowo itu. Bahkan kemacetannya berjarak lintas daerah hingga ke kecamatan Menganti, Gresik. Dan, itu dapat dipastikan setiap hari macet, mulai pagi hingga malam hari. Dan, kenapa polisi lalu lintas hanya bekerja di pagi hari aja? Lantas buat apa pos polisi kalau kosong penghuninya? Greget banget, bisa nggak sih kerja yang bener?
Supeltas nggak digaji, tapi kerjanya totalitas
Sebenernya yang digaji oleh pajak kita itu siapa, sih? Polisi atau supeltas? Padahal, setiap tahun kita harus bayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), lima tahun sekali kita harus bayar Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), telat dikit aja kena denda. Dan, semua uang itu salah satunya untuk mendapatkan fasilitas berkendara di jalan raya yang nyaman, bebas kemacetan, karena lalu lintasnya telah terkondisikan. Tapi, kenyataannya apa yang kita dapatkan di lapangan?
Kita hanya menemui supeltas yang sama sekali nggak mendapatkan uang pajak dari kita. Tapi mereka tetap teguh, totalitas, berkomitmen, untuk mengatur lalu lalang para pengendara di jalan. Nggak sedikit dari mereka mendapatkan uang receh untuk mengusap keringat mereka sebagai bentuk belas kasih, altruisme, dan bahkan sindiran bagi polisi lalu lintas yang kita bayar tapi nggak melakukan apa-apa.
Lebih geramnya lagi, polisi lalu lintas di pagi hari itu, seperti hanya sebuah formalitas yang telah menyelesaikan tugas aja gitu. Saya sering banget ngelihat ada polisi lalu lintas yang ngefotoin temennya ketika sedang ngatur lalu lalang kendaraan. Dan, setelah selesai ngefotoin, mereka bergantian untuk mendapatkan pose foto yang sama seolah-olah sedang mengatur lalu lintas. Buat apa sih sebenarnya itu?
Padahal, foto itu nggak perlu menurut saya, yang penting hasilnya. Kalau jalan raya nggak macet, berarti polisinya beneran mengatus lalu lintas, rating kepuasan masyarakat meningkat, dan tentu nggak perlu lapor ke atasan, tinggal cek aja di lapangan macet atau nggak. Kalau masih macet, berarti gagal. Sesederhana itu.
Slogannya saja, Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa. Tapi, pengabdiannya tidak lebih dari jam sembilan pagi. Kalau menurut saya, yang mengabdi pada masyarakat banget itu ya supeltas itu. Sebagaimana kepanjangannya “sukarelawan pengatur lalu lintas”. Sukarelawan yang secara totalitas mengatur lalu lintas, mulai pagi, siang, sore bahkan malam.
Nggak nunggu macet, tapi mencegah macet
Menurut saya, nggak hanya kerja lebih dari jam sembilan pagi, polisi lalu lintas itu seharusnya juga ke lapangan nggak nunggu macet, melainkan selalu stand by di lapangan sebelum kemacetan terjadi. Begitulah yang dilakukan oleh supeltas. Mereka ngatur lalu lintas itu nggak nunggu macet, melainkan sebelum macet mereka udah di jalanan.
Seperti sebuah pepatah, mencegah lebih baik dari pada mengobati, sedia payung sebelum hujan. Tapi apa yang terjadi, polisi kita nggak lebih giat daripada supeltas meskipun mereka digaji memang untuk itu.
Kalau boleh saya katakan, eksisnya supeltas itu justru bentuk betapa nggak becusnya polisi lalu lintas kita. Karena polisi nggak hadir untuk mengatur lalu lintas kendaraan di atas jam sembilan pagi, akhirnya muncullah supeltas yang menjadi garda terdepan dalam melayani masyarakat agar lalu lalang kendaraan berjalan dengan lancar.
Supeltas adalah bentuk antitesis, sebuah kesadaran masyarakat untuk melayani sesama masyarakat. Rakyat bantu rakyat. Supeltas adalah bentuk kekosongan polisi kita yang seharusnya mengabdi pada masyarakat, bukan mengabdi pada mereka yang berpangkat.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Supeltas: Hadir Raganya, Terabaikan Jasanya