Sunset di Tanah Monarki: Rakyat Jogja diusir oleh Investasi

Sunset di Tanah Monarki: Rakyat Jogja diusir oleh Investasi

Sunset di Tanah Monarki: Rakyat Jogja diusir oleh Investasi (Pixabay.com)

Rakyat Jogja ditelan investasi, pelan, tapi pasti

Widji Thukul pernah berseru, “ini tanah airmu. Di sini kita bukan turis.” Bait penutup di Sajak Kepada Bung Dadi ini terdengar seksi, membara, dan melawan. Tapi bagi orang Jogja, puisi ini terlalu ndakik-ndakik. Sajak yang harusnya terdengar indah ini harus ditelan bersama realita pahit. Warga Jogja pelan-pelan jadi turis di tanah air mereka sendiri. Menikmati keindahan dan romantisnya Jogja, tapi tidak mampu membeli sepetak tanah.

Kalau Anda pikir karena upah minimum di Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) rendah, ada benarnya. Jika yang terlintas adalah harga tanah di Jogja terlalu tinggi, ini juga benar. Tapi yang sering terlewat dan dinormalisasi adalah kata “investasi”. Dan rakyat Jogja tidak bisa lepas dari persilangan antara rumah sebagai tempat bernaung dan sebagai investasi.

Harga tanah dan rumah di Jogja hari ini memang keterlaluan. Bahkan rumah di daerah pelosok Pleret, tanpa keramik, dan butuh banyak renovasi dipatok harga 200 juta lebih. Rumah ini jauh dari fasilitas umum dan mobil tidak bisa berpapasan. Jalan juga belum aspal, masih cor-coran khas pedesaan. Bahkan urusan keran dan toilet saja harus beli dahulu.

Kok saya tahu? Karena itu adalah rumah budhe saya sendiri.

Padahal 5 tahun lalu, harga tanah dan rumah di daerah pelosok Pleret kelewat murah. Maklum karena jauh dari pusat kota dan fasilitas umum. Bahkan dari pusat Kabupaten Bantul saja jauh. Fenomena naiknya harga tanah dan rumah di Jogja memang fantastis. Bahkan bisa naik dalam hitungan minggu saja.

Bapak saya sendiri merasakan fenomena ini. Ketika masih aktif jadi makelar tanah, blio biasa menjual tanah yang baru saja dibeli dalam waktu cepat. Beberapa kali bapak saya membeli tanah dan dijual seminggu kemudian. Bahkan belum sempat balik nama! Kenaikannya pun lumayan, kisaran 10-30 juta. Bayangkan pekerjaan macam apa yang menghasilkan 10 juta dalam seminggu. UMR Cikarang pun iri.

Inilah momen di mana tanah dan rumah di Jogja dipandang jadi aset investasi. Masalahnya, hampir seluruh tanah di Jogja mengalami fenomena yang sama. Mau tanah di pesisir pantai, di puncak bukit, sampai di tengah sawah. Pokoknya ada listrik dan bisa dilewati satu mobil saja, pasti harganya terus meroket.

Investasi menuntut harga aset terus naik. Kalau malah turun, bagaimana investasi menjadi menguntungkan. Di satu sisi, rakyat Jogja masih butuh rumah sebagai tempat bernaung. Tapi ketika semua rumah dan tanah menjadi aset investasi, bagaimana kami bisa beli rumah? Bahkan dengan mengorbankan fasilitas paling dasar seperti akses jalan, harganya tetap susah dijangkau.

Fenomena yang bahasa kerennya adalah gentrifikasi ini tidak terjadi di Jogja saja. Bali juga mengalami fenomena serupa. Bedanya, Bali Utara masih memiliki area adat di mana harga tanah dan rumah tidak terjamah model investasi. Di Jogja? Tanah adat bertajuk Sultan Ground saja tidak pernah bisa diakses rakyat. Kalaupun bisa, harus siap digusur kapan saja. Lha wong ga jelas itu tanah adat atau tanah privat milik Kraton.

Tentu banyak orang yang ingin investasi di Jogja. Pemilik modal dan masyarakat ekonomi atas berbondong-bondong menyesaki daerah istimewa ini. Apalagi melihat fenomena yang dialami bapak saya. Tapi jika tiap jengkal tanah jadi investasi, lalu mana tanah dan rumah yang jadi tempat tinggal? Ikatan emosional antara manusia dan rumah akhirnya dikorbankan karena semangat investasi ini.

Sialnya, tidak ada intervensi dari pemerintah. Tidak ada batasan area investasi dan pemukiman yang jelas. Sultan Ground juga belum dimanfaatkan sebagai perumahan rakyat. Padahal tanah Kraton ini bisa jadi solusi karena bisa dikelola secara adat. Tentu tanah ini bisa menahan arus makelar dan pemegang modal demi pemenuhan kebutuhan atas rumah.

Maka saya tidak melihat ada jawaban dari krisis tanah dan rumah di Jogja. Rakyat mau membuat model arisan seperti beberapa daerah lain, toh tidak sepadan antara upah dan harganya. Model rusun saja terbukti gagal karena dipermainkan makelar. Kekacauan yang mboh ini bukan hanya ulah kapitalisme kalau kata mas-mas kiri, tapi karena sistem manajemen agraria yang sudah rusak duluan.

Ingat! Ikan busuk mulai dari kepala. Tanah dan rumah di Jogja busuk mulai dari sistem pengelolaannya.

Jadi, selamat menjadi turis di tanah sendiri. Bahkan bukan turis kaya, tapi cuma turis darmawisata yang beli kaos saja harus menawar satu jam. Jogja akan menjadi gudang uang bagi investasi, dan rakyatnya akan jadi kontraktor seumur hidup.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bolehkah Kami Hidup Tenang di Sultan Ground Jogja?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version