Nyetir di Jakarta itu ibarat main video game. Bedanya, kalau di video game kamu bisa coba lagi kalau salah. Kalau udah di jalan, salah belok bisa bikin kamu terdampar di tempat yang bahkan Google Maps aja gak bisa bantu.
Kadang sampai mikir apakah nyetir di Jakarta ini memang sengaja dijadikan sebagai ujian hidup. Karena serius, salah jalur dikit aja bisa bikin hidupmu berubah drastis.
Daftar Isi
Pertarungan melawan jalan dan waktu
Salah satu kesalahan terbesar yang sering terjadi adalah salah pilih lajur. Entah kenapa, lajur di Jakarta punya aturan tak tertulis: kalau kamu salah ambil lajur, yaudah goodbye! Sampai ketemu di kehidupan selanjutnya!
Misalnya nih, kamu lagi nyetir di Sudirman, niat hati mau belok kiri ke arah SCBD, eh tiba-tiba kepalang sudah di lajur kanan. Niat mau pindah ke kiri? Good luck! Begitu kamu salah ambil lajur, ya udah, siap-siap aja terjebak hingga akhirnya berujung di pintu tol Senayan. Dari situ, petualangan hidupmu berlanjut ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah kamu pikirkan.
Pernah suatu kali, saya otw dari TB Simatupang ke Sentul. Awalnya semua baik-baik saja, sampai di titik saya menyadari kalau saya salah ambil lajur. Posisinya saya nggak berani ambil risiko motong jalur yang padat, apalagi di tol. Alhasil harus keluar dulu di exit tol terdekat, dan muter lagi untuk masuk gerbang tol. Secara jarak sih bisa dibilang relatif dekat. Sayangnya, definisi “dekat” itu kayak ilusi optik aka fatamorgana. Kelihatan dekat, tapi nyampenya entah kapan. Intinya semua itu palsu.
Salah belok di Jakarta, berakhir di dunia lain
Bicara soal salah belok, ini juga masalah akut. Belok di Jakarta adalah seni yang penuh dengan jebakan. Di beberapa tempat, plang petunjuk jalan kadang telat muncul atau bahkan hilang di saat genting. Jadilah, kamu mengandalkan feeling—dan feeling di jalan Jakarta, sering kali berujung salah.
Ada satu pengalaman tak terlupakan, waktu itu saya salah belok di daerah Kuningan. Awalnya, niat cuma mau putar balik, tapi karena nggak paham mana yang belokan legal dan mana yang ternyata satu arah, saya berujung diklakson mati-matian oleh pengendara lain. Karena panik dan menghindari amukan massa, saya memutuskan belok ke gang yang pertama saya lihat. Sudah bisa ditebak endingnya, malah tersasar ke jalur yang bikin saya puter-puter kayak nggak ada ujungnya. Belokan demi belokan, sampai akhirnya menyerah.
Google Maps? Waze? Jangan harap. Kadang, aplikasi ini malah jadi pengkhianat. Di tempat-tempat tertentu, peta bisa delay beberapa detik—dan beberapa detik itu sangat fatal. Begitu kamu sadar salah belok, semuanya sudah terlambat. Selamat, kamu sudah resmi tersesat!
Perilaku berkendara yang serba kesusu
Selain tantangan jalan dan rambu, ada faktor lain yang bikin nyetir di Jakarta semakin dramatis: pengendara lain. Bisa jadi keberadaan kamu bukan sebuah masalah di jalan, tapi pengendara lainlah masalahnya. Ini nggak bercanda. Percayalah, di sini aturan lalu lintas kadang seperti sekadar saran. Yaa kamu nggak salah baca, sekadar saran.
Orang nyetir seolah-olah terlibat dalam balapan dadakan setiap kali lampu merah berubah hijau. Belum lagi pengendara motor yang muncul dari segala arah, bikin kita selalu misuh di jalan.
Nyetir di Jakarta sama saja mencari tantangan hidup
Pada akhirnya, nyetir di Jakarta adalah sebuah seni, strategi, dan ujian kesabaran yang menantang jiwa raga. Salah jalur, salah belok, atau salah taktik bisa berujung fatal—fatal karena harus muter berkilo-kilometer atau, yang lebih parah, berakhir di area yang kamu bahkan nggak tahu eksistensinya.
Jadi, kalau kamu mau nyetir di Jakarta, pastikan kamu nggak cuma punya SIM, tapi juga punya kesabaran berlebih, feeling tajam, dan skill navigasi ala ninja. Karena di Jakarta, yang namanya salah belok atau salah jalur bukan sekadar kesalahan kecil, tapi adalah pintu gerbang menuju petualangan tak terduga macem Alice In Wonderland.
Penulis: Ken Elsaning Savitri
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lebih Enak Mengkritik Jakarta ketimbang Jogja yang Baperan dan Mudah Tersinggung karena Cinta Buta