Suka Membuli Jomblo, Padahal Hubungannya Sendiri Toksik dan Bikin Melongo

membuli jomblo

Suka Membuli Jomblo, Padahal Hubungannya Sendiri Toksik dan Bikin Melongo

Suatu hari sebuah tangkapan layar membikin saya ketawa miris. Isinya percakapan antara sepasang karib, si lajang dan si berpasangan. Si berpasangan dengan entengnya bilang, “Minjem duit lu dong, Bro. Gue lagi banyak keperluan nih. Lu mah kan enak masih jomblo, pengeluaran belum banyak.” Tak ayal ucapan itu membuat si lajang muntab. Sebab, sebelumnya si berpasangan ini hobi banget meledek kejombloannya seolah-olah tidak ada lelucon yang lebih berkelas. Tapi, pas lagi kepepet, dia seakan lupa bahwa orang yang sering jadi obyek ledekannya ternyata dia butuhkan.

Dalam esai Alasan Mengapa Masyarakat Gemar Melecehkan Kaum Jomblo, Feby Indirani menulis dua sebab orang berpasangan gemar menjadikan jomblo olok-olokan. “Pertama, karena kebiasaan meniru perilaku mayoritas orang secara otomatis, tanpa pernah berpikir ulang tentang alternatif yang lebih baik,” sebut Feby yang menulis buku 69 Things to be Grateful About Being Single. “Kedua, dan ini yang penting, orang berpasangan gemar melecehkan lajang karena mereka membutuhkannya sebagai mekanisme bertahan (dalam hubungan).”

Mungkin para pembuli jomblo menganggap apa yang mereka lakukan benar belaka. Tujuan mereka menghibur dan bercanda. Tapi, apa nggak ada bercandaan lain gitu? Asal tahu saja, seperti lelucon bapak-bapak grup wasap dan lelucon jayus lain, lelucon soal jomblo itu sudah semestinya dibuang ke tong sampah. Pertama, mengolok-olok status seseorang itu nggak lucu dan nggak elok. Kedua, jomblo nggak semengenaskan yang kita pikirkan. Nggak semua jomblo itu jones. Menjadi jomblo malah banyak untungnya, loh!

Menurut riset Dr. Elyakim Kislev, profesor di Hebrew University of Jerusalem, kita harus mengubah konsepsi kita mengenai jomblo. Seorang jomblo bukan berarti kesepian dan gagal. Alih-alih menjadi sumber penderitaan, kejombloan justru bisa mendatangkan banyak keuntungan.

Jomblo pasti kesepian? Wah, itu mah cuma mitos. Dengerin nih kata Dr. Indra Cidambi, direktur medis yang berfokus pada kesehatan mental dan perawatan kecanduan di Pusat Terapi Jaringan di New Jersey: “Kesepian itu bukan karena seseorang sendirian, tapi karena persepsi tentang kesepian itulah yang membuat seseorang merasa kesepian.”

Makanya kita temukan ada banyak jomblo yang enjoy-enjoy aja. Sebaliknya tak sedikit orang berpasangan yang merasa kesepian. Entah karena pasangannya terlalu sibuk dan abai, atau karena dia kangen bergaul dengan teman-temannya tapi terkerangkeng oleh hubungan.

Seorang jomblo memiliki waktu lebih banyak dan luang untuk memaksimalkan dirinya. Ia bisa lebih sering baca buku dan nonton film tanpa harus ketakutan pasangannya ngambek karena merasa kurang diperhatikan. Ia juga bisa lebih bebas, terhindar dari toxic relationship, punya waktu banyak untuk bercengkerama dengan teman dan travelling, dan sederet keuntungan lainnya.

FYI aja nih, sungguh bejibun para jomblo yang keren dan berkontribusi kepada dunia. Emma Watson, salah satu aktris terhebat era ini, adalah jomblo. Dia lebih suka menyebut dirinya “self-partnered” alias orang yang berpasangan dengan diri sendiri. Lalu, kalau kita menengok sejarah, kita bakal menemukan banyak nama beken yang memilih hidup melajang. Plato, Leonardo Da Vinci, Voltaire, Nikola Tesla, hingga Tan Malaka—mereka semua itu jomblo until die. Mereka jomblo dan mereka keren.

Ada lagi jomblo keren—walaupun bukan jomblo until die, sih, tapi patut dijadikan pelajaran. Ialah Mohammad Hatta, salah satu founding father Indonesia. Si kutubuku yang necis itu punya tekat yang mantap betul. Beliau berikrar tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Benar saja, Hatta baru menikah dengan Rachmi Rahim tiga bulan setelah Indonesia merdeka, alias ketika Hatta berusia 43 tahun. Tuh lihat, beliau memerdekakan Indonesia dalam keadaan jomblo!

Sementara itu, berpasangan tak sertamerta membuat orang lebih bahagia daripada lajang. Kita bisa temukan dengan mudah orang yang ketika berpasangan hidupnya terasa seperti neraka. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal (KDRT/RP), perceraian, perselingkuhan, pembunuhan, dan trauma panjang lantaran suatu hubungan menjadi bukti bahwa berpasangan tak seenak yang kita kira.

Tentu kita tidak menampik orang-orang yang menjadi lebih baik setelah berpasangan dan pasangan-pasangan yang bahagia. Pasangan jenis itu ada dan nyata. Namun, bahwa hidup berpasangan tak pernah mudah adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Bahwa banyaknya orang yang sengsara karena berpasangan juga tak bisa ditampik. Para pengidap toxic relationship dan hubungan bermasalah lah yang biasanya suka membuli jomblo. Seperti kata Feby di atas, mereka membuli jomblo bukan karena mereka lebih bahagia daripada jomblo, tapi bulian itu mereka lakukan sebagai cara mereka bertahan dalam kehidupan berpasangan (yang penuh masalah).

Alangkah konyol kalau orang-orang berpasangan lebih suka membuli jomblo ketimbang memeriksa kualitas hubungannya sendiri. Apalagi, seperti ilustrasi yang saya sampaikan di awal, sudahlah hobi membuli jomblo, eh pas butuh duit ngutangnya ke jomblo. Kan absurd!!1!1!

Sudahlah, tak usah membuli jomblo. Bagimu hubunganmu, bagiku hubunganku. Urus hubungan diri sendiri aja. Jangan sampai hobi membuli jomblo, tapi hubungan sendiri toksik dan bikin melongo.

BACA JUGA Jomblo Lebih Bahagia, Setidaknya Itu Kata BPS atau tulisan Erwin Setia lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version