Sudah Berkali-kali Mahasiswa KKN ke Desa Saya, tapi yang Berubah Hanya Patok Pembatas Desa

Sudah Berkali-kali Mahasiswa KKN ke Desa Saya, tapi yang Berubah Hanya Patok Pembatas Desa

Sudah Berkali-kali Mahasiswa KKN ke Desa Saya, tapi yang Berubah Hanya Patok Pembatas Desa

Beberapa hari ke belakang, perdebatan tentang mahasiswa KKN di desa mencuat kembali di Terminal Mojok. Ada yang bilang mahasiswa KKN hanya menyusahkan masyarakat desa. Ada pula yang menyebut bahwa warga desa saja yang terlalu tinggi memasang ekspektasi. Terakhir, muncullah suara hati Mba Ifana yang tetap berjuang menjalankan KKN meski hanya bermodal uang 300 ribu hasil iuran.

Membaca opini yang saling tumpang tindih itu, saya jadi ikut terdorong untuk menyampaikan pandangan saya. Khususnya, terkait pelaksanaan KKN yang sudah berkali-kali dilakukan di desa saya.

Sebetulnya, saya tidak ada perasaan kontra tentang program KKN. Sebab, tujuannya memang mengharapkan mahasiswa agar bisa membawa manfaat bagi masyarakat desa. Apalagi kalau mendengar sambutan mahasiswa saat pembukaan program mereka. Sama sekali saya tidak kontra. The real agent of change! Si paling siap membawa perubahan!

Sayang seribu sayang, itu tidak sesuai tindakan.

Sangar pas sambutan, melempem pas bikin program

Ya, kini saya sudah bosan mendengar kata-kata agen perubahan mahasiswa, apalagi kalau diucapkan saat pembukaan program KKN di balai desa. Seperti kata Sukab ke Alina, “sudah terlalu banyak kata di dunia ini, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa”. Begitu pun kalian wahai mahasiswa KKN, sekedar kata-kata tidak akan membuat program kalian keren!

Saya mengatakan demikian bukan tanpa alasan. Alasan saya jelas. Ya, sudah berkali-kali mahasiswa datang ke desa saya. Mungkin sudah belasan kali. Namun, mereka hanya datang dalam sekedipan mata. Tak sampai sebulan. Bahkan, bisa susul-susulan tiap bulan. Baru saja Agustus kemarin ada yang selesai, bulan ini ada tim baru yang datang.

Nah, perubahan apa yang dihasilkan dari KKN sebelumnya? Jawabannya, tidak ada.

Tidak sampai sebulan, mereka datang, bikin program, abis itu pulang

Kehadiran mahasiswa KKN di desa itu bisa ditebak—setidaknya yang terjadi di desa saya. Siklusnya selalu berulang. Apa yang sudah dilakukan oleh tim KKN sebelumnya sering kali dibikin lagi sama tim berikutnya. Ya, nggak diulang gimana, wong mereka berkunjung ke desa cuma sebentar. Tidak ada waktu untuk mikir ide program yang benar-benar bermanfaat.

Bahkan di desa saya hanya 3 minggu, nggak sampai sebulan!

Bayangkan, minggu pertama mereka hanya datang abis itu nyusun program. Minggu kedua ngelaksanain program. Minggu ketiga udah mau siap-siap pulang. Dengan jangka waktu sependek itu bisa apa mereka. Untuk memahami kondisi dan situasi riil masyarakat desa saja itu sangat kurang.

Haduh! Coba jawab, dengan waktu tiga minggu, apa yang mau ditinggalkan buat warga desa, dokumentasinya saja?

Baca halaman selanjutnya

Hanya meninggalkan patok pembatas desa

KKN hanya meninggalkan patok pembatas desa

Sebetulnya, mahasiswa KKN bukan benar-benar tidak meninggalkan apa-apa. Selain dokumentasi, mereka juga ninggalin program utamanya kok. Yakni patok pembatas desa. Ya, ide kaleng-kaleng yang semua mahasiswa nganggapnya program paling keren!

Semua tim KKN, dari kampus mana saja, setiap ke desa saya tidak pernah ketinggalan dengan program ini. Sampai-sampai, di perempatan dekat rumah saya dipenuhi patok bekas mahasiswa KKN. Belum lagi ini datang tim KKN baru! Hadeh, please yang kreatif dikit gitu loh, kdo!

Ya sudahlah. Saya menulis ini bukan berarti sepenuhnya saya menyalahkan para mahasiswa yang ikut KKN. Saya tahu, mereka hanya memenuhi tuntutan formalitas dari kampusnya. Jadi bagi saya, kampusnya lah yang harus bertanggung jawab. Kok bisa jangka waktu program KKN diatur kurang dari satu bulan. Secara akal dan logika saja ini sudah tidak sehat kampusnya!

Dan lagi, kok masih ada juga desa yang menerima kedatangan mereka. Yakin deh pak/bu, KKN yang cuma tiga minggu pasti hasilnya tidak bermutu!

Penulis: Abdur Rohman
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA KKN Sudah Usang. Tidak Mendapat Pengalaman, Tidak Juga Membangun Desa, Mending Diganti Magang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version