Susahnya jadi rakyat Indonesia itu, bener saja salah. Kemarin ada yang bahas Indonesia rendah pejalan kaki, salah rakyat. Pandemi sampai hampir 3 tahun, salah rakyat. Sekarang subsidi BBM membengkak, salah rakyat lagi. Padahal rakyat cuma ingah-ingih melihat nurut sama pemerintah sambil mikir besok makan apa.
Wacana penghapusan subsidi ini terus menerus jadi minyak goreng. Yang digoreng adalah rakyat. Dari distribusi tidak tepat sasaran, sampai konsumsi yang kelewat tinggi. Kayaknya besok kalau harga minyak dunia naik, nanti salah rakyat juga.
BTW, dari dulu keluhannya kok salah sasaran terus. Aim-nya jelek, Bos?
Sebenarnya, kurang elok melihat pemerintah terlalu mudah menyalahkan rakyat. Sebagai penyelenggara hajat hidup negara dan bangsa, mosok kalah sama Wedding Organizer. Mereka diminta bikin dekor seperti Santorini saja tidak menyalahkan klien lho.
Kecuali kalau bajetnya nggak nyampe, tapi minta mewah. Ha itu pantes dibandem arit.
Balik ke urusan subsidi. Sebenarnya seberapa parah sih subsidi BBM di Indonesia? Kelompok masyarakat (sok patriot) tertentu memandang Indonesia terlalu memanjakan rakyat. Padahal negara sekelas Amerika Serikat saja masih rajin memberi subsidi BBM. Dilansir oleh e360.yale.edu, pada 2020 saja pemerintah Amerika Serikat menggelontorkan subsidi sampai $5,9 triliun pada bahan bakar fosil. Artinya, ada 11 juta dolar subsidi BBM tiap menit.
Wong koyok rakyat kok dibanding-bandingke, saing-saingke karo Amrik. Yo mesti kalah.
Perkara subsidi BBM sampai 25 persen dari APBN juga dipermasalahkan. Lha seperempat ini nggak hanya untuk bikin motor Ninjamu melaju. Lagian kebangeten kalau Ninja minum BBM bersubsidi. Tapi, subsidi BBM ikut menjaga harga kebutuhan lain. Nggak usah pakai teori ndakik-ndakik. Setiap harga BBM bersubsidi naik, harga kebutuhan pokok ikut naik.
Alasannya simpel: BBM bersubsidi juga menjadi konsumsi industri kecil. Dari pickup L300 sampai mesin giling padi, semua menjadi peminum BBM bersubsidi. Bahkan driver ojek online juga jadi konsumen. Subsidi sebesar 25 persen APBN ini menjaga konsumsi rakyat tetap terjaga. Sekaligus menjaga angka kemiskinan tetap rendah secara tidak langsung.
Jika Sri Mulyani menilai subsidi bisa dialihkan jadi pembangunan vital, ya nggak salah. Kan kalau secara angka, memang besar. Tapi, oper subsidi tidak sesepele itu jhe. Bukan seperti Anda yang mengoper uang bensin jadi topup judi slot.
Pada akhirnya, kenapa dulu ada subsidi? Kan yang membuat subsidi adalah pemerintah. Sekarang yang ngotot ingin subsidi dihapus juga pemerintah. Selama puluhan tahun subsidi BBM berlangsung, pemerintah ngapain saja? Kok tiba-tiba salah rakyat lagi, salah rakyat lagi
Jangan salahkan rakyat lagi dengan bilang, “Dulu kami subsidi agar ekonomi rakyat terbantu.” Ya memang peran pemerintah kan di situ. Menjaga hajat hidup rakyat tetap terpenuhi dengan layak. Jika sistem subsidi BBM ternyata tidak tepat sasaran, bagaimana kemarin sistem yang sudah puluhan tahun ini dijalankan dan dikoreksi.
Jika distribusi BBM bersubsidi bermasalah, ya bagaimana penyelenggara menjalankan? Bagaimana pemerintah menerapkan langkah preventif agar subsidi BBM tidak dikonsumsi kelompok masyarakat ekonomi atas? Mosok rakyat disuruh mikir lagi?
Mencabut subsidi akan menghasilkan efek domino. Bahkan dengan bantuan sosial, efek domino ini tidak bisa dihindari. Lha yang dapat subsidi rakyat ekonomi rendah, tapi yang terdampak malah sampai rakyat ekonomi menengah yang juga bergantung pada subsidi. Nanti kalau angka kemiskinan meningkat, salah rakyat lagi. Disebut beban negara lagi.
Rakyat juga lelah jadi kambing hitam. Karena rakyat sekadar menurut keputusan pemerintah. Keputusan menggelontorkan subsidi itu hasil kerja pemerintah (yang dalam teori melibatkan rakyat). Kalau salah sasaran, ya bukan salah mereka. Kalau kegedean, ya bukan salah mereka. Ketika rakyat disalahkan, yo emoh. Sudah bayar pajak jhe boss.
Merombak rakyat jelas bukan pilihan. Yang bisa dirombak adalah penyelenggara. Jadi kalau mengurus subsidi saja bingung, lebih baik [sebagian text hilang].
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sesat Logika Pertamina: Subsidi BBM kok Indikatornya CC Mobil?