Sedikit pesan buat Anda para pencita gunung untuk jangan mencoba-coba menjelaskan kepada seorang skeptis nikmat dan sensasi yang dirasakan saat naik gunung. Bagaimanapun Anda mencoba, dengan cara apa pun Anda menjelaskan semua akan gagal. Ia akan tetap menganggap naik gunung adalah perbuatan sia-sia, bodoh, membuang waktu, dan tidak berguna. Saya pernah mengalaminya.
Jika Anda pernah membaca tulisan saya sebelumnya yang menceritakan tentang bagaimana saya hampir mati di gunung ada baiknya Anda membacanya. Bukan karena tulisan saya bagus atau bagaimana, tapi biar nyambung saja. Baca di sini ya!
Di tulisan saya sebelumnya saya membahas pengalaman saya hampir mati naik gunung dan bukannya jera saya malah mengulanginya. Ada pengalaman spiritual yang saya rasakan, ada euforia ketika berhasil mencapai puncak, ada pengalaman yang susah untuk dilukiskan. Dan ketika saya mencoba untuk menceritakan saya menyesal.
Waktu itu saya sedang berkumpul bersama teman-teman saya, salah satunya adalah yang setia menunggu saya ketika hampir mati di gunung. Sang penyelamat nyawa saya, yang membuat saya bisa mewariskan gen saya dan mensukseskan evolusi. Mengapa saya katakan mensukseskan evolusi?
Karena anak saya ganteng, jauh beda dengan saya. Sebagai orang yang percaya teori evolusi maka saya meyakini jika si pewaris lebih baik daripada pemberi gen maka evolusi dikatakan sukses. Sebagai pemberi gen, saya merasa telah sukses dalam mewariskan gen yang baik, bahkan jauh lebih baik. Thanks God!
Balik lagi ke topik awal mengapa sebaiknya Anda jangan menyiksa diri untuk menceritakan betapa luar biasa pengalaman naik gunung kepada teman Anda yang skeptis. Daripada sakit hati, lebih baik Anda simpan sendiri kenangan itu. Meski Anda pernah nonton Into The Wild, film luar biasa yang diangkat dari kisah nyata itu.
Pada akhir cerita si tokoh utama, Christoper Johnson McCandless a.k.a Alexander Supertramp mengatakan bahwa dia tidak menyesali hidupnya, hidupnya bahagia, tapi ia menuliskan di papan “kebahagiaan hanya nyata ketika kita membaginya”. Saya rasa Christopher tidak punya teman skeptis. Karena kalau dia punya teman skeptis kutipan itu akan berubah, kebahagiaan itu nyata jika kamu tidak membaginya.
Saya dan teman saya mencoba menceritakan betapa luar biasa pengalaman naik gunung itu, tapi terus saja dibantahnya.
“Apa sih enaknya menyiksa diri, lelah-lelahan, udah gitu keluar duit dan buang-buang waktu naik gunung? Jangankan naik gunung, semua konsep tamasya itu absurd menurut saya,” begitu katanya. Kesal kan!
Akhirnya setelah membaca bukunya Dan Ariely, Predictably Irational: The Hidden Force That Shape Our Behaviour (2008) akhirnya saya sedikit memahami mengapa ia begitu kerasnya menolak konsep itu. Ariely yang seorang Profesor Psikologi dan Ekonomi Perilaku di Universitas Duke melakukan sebuah eksperimen untuk melihat bagaimana makna mempengaruhi perilaku seseorang. Ariely menyuruh partisipan untuk membangun robot dari lego yang kemudian para partisipan diberikan US$ 3 untuk robot pertama.
Setelah itu para partisipan ditanya apakah mereka mau membuat robot lego lagi. Tapi kali ini diberikan US$ 2,74 untuk robot kedua. Kemudian setelah selesai ditanyakan hal yang sama namun uang yang diberikan terus berkurang US$ 2,40 lalu US$ 2,10 dan terus turun. Partisipan dibiarkan memilih sampai kapan mereka memilih untuk berhenti untuk melihat sampai dimana membuat lego ini dinilai menjadi tidak berharga.
Eksperimen ini dilakukan dengan dua prosedur yang sedikit berbeda. Pada partisipan yang lain eksperimen dilakukan dengan prosedur di mana setelah partisipan menyelesaikan robot legonya kemudian robot legonya dihancurkan tepat di depan matanya. Kemudian setelah itu ditanyakan apakah mau membuat robot lego lagi dengan upah yang sama diberikan secara berkurang seperti prosedur sebelumnya.
Hasil dari eksperimen ini memperlihatkan partisipan yang melakukan eksperimen pada kondisi penuh makna di prosedur pertama menghasilkan rata-rata 11 robot lego dan pada partisipan kedua robot lego yang dihasilkan rata-rata adalah 7. Tidak sampai di situ Dan Ariely juga menanyakan ke pada para orang-orang yang tidak terlibat sebagai pertisipan dalam eksperimen untuk memprediksinya.
Orang-orang tersebut memprediksi dengan benar bahwa prosedur pertama akan menghasilkan jumlah yang lebih banyak, tapi mereka menganggap remeh makna. Mereka memprediksi perbedaannya tidak lebih dari satu robot, padahal perbedaanya begitu besar. Hal ini sama seperti ketika saya mencoba menjelaskan ke teman saya yang skeptis itu tentang bagaimana pengalaman naik gunung itu sangat bermakna. Namun bagaimanapun ia dijelaskan, ia tidak pernah bisa memahami.
Seseorang yang berada di luar pengalaman tersebut sama sekali tidak akan pernah bisa benar-benar mengerti pengalaman tersebut. Karena sistem sensor motoriknya tidak terkoneksi pada sirkuit neuron di otaknya sehingga otaknya tidak akan mengizinkan dia untuk mengerti pengalaman tersebut. Sudahlah jangan memaksakan diri untuk menjelaskan pengalamanmu kepada seorang skeptis jika ingin bahagia.
BACA JUGA Plis deh, Jangan Bawa-bawa Kebiasaan di Aspal ke Gunung atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.