Beberapa waktu lalu, lewat sebuah twit di lini masa saya dari Joko Anwar yang mengatakan kalau Indonesian wave cinema akan terjadi di penghujung 2021. Dengan kemenangan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Yuni di dua ajang penghargaan internasional yang bergengsi, tampaknya Indonesian wave cinema betul akan hadir untuk menutup tahun ini.
Saat akhirnya kedua film tersebut rilis, muncul pula film Indonesia lainnya yang tidak kalah ciamik. Ada Akhirat: A Love Story, Kadet 1947, Vidkill, dan film-film Indonesia lainnya. Saya sendiri jujur sangat menantikan Yuni. Selain karena penghargaan tertinggi yang mereka sabet di Toronto International Film Festival, isu dan tema film yang dibawa jarang diangkat oleh banyak film panjang Indonesia.
Meski begitu, untuk bisa memenuhi excitement ini, saya seperti dikejar-kejar oleh waktu dan harus buru-buru mencari kesempatan untuk bisa menonton film-film ini. Bukan karena deadline kerjaan, melainkan kebijakan para pengelola bioskop yang akan merampas jatah layar film ini untuk blockbuster milik Marvel Studios, Spider-Man: No Way Home.
Gusar sekali diri ini ketika sadar bahwa Indonesian wave cinema yang disebut-sebut akan mengguncang bioskop Indonesia di akhir tahun ini, harus disabotase oleh mereka-mereka yang hanya mementingkan cuan, cuan, dan cuan.
Maksud saya begini. Ini kan sedang ada momentum, ya. Mbok dimanfaatin gitu waktunya. Di saat para penggerak industri perfilman sudah mulai berani untuk kembali memasarkan film-filmnya di era pandemi, jangan malah menghadang perjalanan mereka. Kalian ini para pengelola semestinya kan merangkul dan mendukung. Bukan membuat mereka terkatung-katung.
Kemarin, 9 Desember rencananya akan saya gunakan untuk menonton film Akhirat. Ulasan yang sudah berseliweran di media sosial membuat saya sangat menantikan film ini. Foto-foto nobar dan konten dari BASE Entertainment selaku rumah produksi film tersebut juga menjadi alasan kuat saya harus menonton film ini. Apalagi ada Windy Apsari!
Namun, film yang baru rilis 2 Desember kemarin ini ternyata sudah habis layarnya! Di semua bioskop, dari yang hanya memiliki tiga huruf, sampe yang pakai angka romawi, sudah “memangkas” jam tayangnya hanya menjadi satu. Di bioskop yang jaraknya masih masuk akal untuk saya jangkau, hanya memiliki satu kali penayangan di sore hari. Sisanya, jarak ke bioskop tersebut harus saya tempuh lebih dari 10 km.
Bukannya tidak rela kalau harus menempuh jarak tersebut. Tapi, takutnya pas sampe sana udah terlanjur capek dan malah nanti ketiduran saat nonton. Belum lagi kalau saat ingin pulang kehujanan. Sangat tidak worth it.
Saya ingin membandingkan dengan satu film Hollywood, yaitu No Time To Die yang sampai sekarang masih memiliki jam tayang. Meski hanya ada di satu bioskop dan memiliki satu slot, tetap saja untuk film yang sudah rilis sejak 30 September kemarin ini tidak masuk akal jika masih dipertahankan. Pasalnya, banyak film Indonesia yang layak dan pantas mengisi slot tersebut.
Lantas, bagaimana dengan minggu depan saat Spider-Man: No Way Home rilis? Saya yakin saat tanggal 15 Desember nanti, film-film seperti Akhirat, Yuni, dan Seperti Dendam pasti sudah banyak hilang jam tayangnya. Mau di bioskop mana pun, pasti akan tergusur oleh Peter Parker cs. Eh, saya ralat. Akan digusur oleh para pengelola bioskop. Saya sependapat dengan twit berikut ini.
Soal film Marvel yang makan slot screen, ini udah jadi hal yang diwajarkan semenjak uhh… 2013/2014. Sebenernya film lain yang rame pun juga udah biasa dapet treatment begitu, cuman kadang yang bikin sebel adalah film yang kurang laku langsung turun padahal belom ada seminggu.
— This World is Ours, All Others Pay Rent (2021) (@txtdarisinefil) December 8, 2021
Pemahaman saya tentang bisnis bioskop ini memang dangkal. Saya mengakui hal tersebut. Namun, jika alasan memangkas jam tayang karena kurang menguntungkan, itu sudah tidak masuk akal. Hal tersebut tidak terjadi sekali dua kali. Sudah sangat sering! Ini jadi seperti sesuatu yang sudah membudaya, di mana jika film blockbuster Hollywood tayang, film-film lainnya harus terpaksa angkat kaki. Biasanya, film Indonesia lah yang akan disuruh untuk buru-buru pergi dan memberi slot mereka untuk film blockbuster ini.
Mungkin mereka memang sudah memiliki kebijakannya masing-masing mengenai pemberian jam tayang. Tetapi, saya rasa kebijakan tersebut perlu dikaji ulang kembali agar bisa menguntungkan mereka penggiat industri film Indonesia. Sineas kita ini sudah diakui oleh publik internasional, loh. Masak, sih, seolah-olah harus dinomor duakan di negara sendiri?
Sumber Gambar: Unsplash