Kalau dilihat desainnya, Stasiun Tanjung Priok ini megah, tapi sayang rasanya jauh banget dari mana-mana. Orang Jogja can’t relate ke sini.
Sebagai penyuka bangunan tua utamanya peninggalan Belanda, bangunan-bangunan stasiun kereta di Jawa menurut saya adalah salah satu keajaiban arsitektur kolonial yang nggak mungkin untuk dilewatkan. Saya kerap memperhatikan bangunan-bangunan tersebut. Tentang sejarahnya, bentuknya, fungsinya, serta fakta unik dan menarik dari masing-masing stasiun. Ada banyak stasiun apalagi stasiun besar yang memiliki bentuk bangunan cantik dan megah.
Banyak orang mungkin tahu stasiun peninggalan Belanda yang megah di antaranya Stasiun Tugu Jogja, Stasiun Jatinegara, Stasiun Pasar Senen, atau Stasiun Surabaya Gubeng, karena stasiun-stasiun tersebut sering dilewati kereta jarak jauh, jadi sudah terkenal. Akan tetapi kalau saya boleh memilih, ada satu stasiun peninggalan Belanda yang megah dan unik tapi cukup underrated. Stasiun tersebut adalah Stasiun Tanjung Priok.
Daftar Isi
Stasiun Tanjung Priok masuk dalam stasiun paling ikonik di Jakarta
Beberapa waktu lalu ada satu tulisan di Terminal Mojok yang menyebutkan bahwa Stasiun Tanjung Priok merupakan satu dari lima stasiun KRL paling ikonik di Jakarta. Saya sangat sepakat dengan tulisan tersebut lantaran Stasiun Tanjung Priok memang seikonik itu. Bahkan nggak berlebihan kalau stasiun ini juga disebut stasiun paling ikonik di Jawa, bukan hanya di Jakarta. Selama menjadi pengguna kereta, rasanya inilah stasiun paling megah. Saya selalu terpukau kalau masuk ke emplasemennya.
Gimana nggak megah, stasiun yang dibangun tahun 1925 itu berarsitektur art deco khas Eropa yang indah dihiasi kaca patri dan marmer. Kanopi emplasemennya beratap lengkung dari baja yang tinggi, panjang, dan sangat besar. Mengingatkan saya pada hangar pesawat Jerman atau Amerika era perang dunia. Karena bangunannya yang besar, megah, dan ikonik itulah Stasiun Tanjung Priok sering jadi tempat untuk pemotretan bahkan syuting film. Seingat saya film Gundala karya Joko Anwar juga mengambil gambar di sini.
Selain itu, yang bikin stasiun ini tambah unik adalah bentuknya yang terminus. Stasiun terminus adalah stasiun akhir atau awal perjalanan yang letak relnya berakhiran di stasiun tersebut alias relnya mentok atau buntu. Stasiun tipe ini termasuk jarang lantaran kebanyakan stasiun di Indonesia berbentuk paralel yang bangunannya sejajar dengan relnya.
Boleh dibilang Stasiun Tanjung Priok miriplah sama Stasiun Gare de Lyon di Paris, Prancis. Bisa jadi mereka adalah saudara kembar tapi beda negara.
Hanya melayani KRL
Saya tadi bilang stasiun megah ini agak underrated karena cenderung sepi nggak seperti stasiun besar lain di Pulau Jawa atau bahkan Jakarta. Padahal dulu, Stasiun Tanjung Priok merupakan salah satu stasiun terpenting dan paling ramai di Jawa. Ini ada hubungannya dengan Pelabuhan Tanjung Priok.
Jadi, zaman dulu kan belum ada pesawat terbang. Orang yang mau keluar pulau bahkan keluar negeri, misalnya naik haji, harus naik kereta dulu kemudian turun di Stasiun Tanjung Priok. Setelah itu barulah bisa naik kapal di pelabuhan.
Kini, Stasiun Tanjung Priok sepi karena hanya melayani perjalanan KRL, nggak ada kereta jarak jauh yang lewat sini. Atau kadang stasiun ini jadi tempat langsir atau tempat tunggu kereta peti kemas yang mau masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan stasiun ini sempat non-aktif selama beberapa tahun, lho.
Selain itu, stasiun ini juga tak seperti Stasiun Jakarta Kota atau stasiun lainnya di Jakarta yang sama-sama stasiun KRL tapi punya banyak jalur. Di stasiun ini cuma ada satu rute, yakni Tanjung Priok-Jakarta Kota PP.
Bagi perantau Jogja seperti saya, Stasiun Tanjung Priok jauh dari mana-mana
Di balik sejarahnya yang panjang dan bangunannya yang megah, menurut perantau asal Jogja, Stasiun Tanjung Priok ini sangat nggak worth it karena jauh dari pusat kegiatan Jakarta. Saya punya teman asal Jogja yang merantau ke daerah Tanjung Priok yang selalu mengeluh kalau mau ke mana-mana terasa sangat jauh. Waktunya habis di jalan kalau mau ke Jakarta Pusat atau Selatan. Ia jadi lebih mlih untuk nggak ke mana-mana dan hanya ndekem di kosannnya.
Misalnya, kalau mau ke Stasiun Sudirman di Jakpus, dia harus naik KRL dari Stasiun Tanjung Priok kemudian turun di Stasiun Kampung Bandan, lalu ganti kereta yang Cikarang line baru nanti sampai di Stasiun Sudirman. Total perjalanannya sekitar 50 menit.
Bagi orang Jogja, waktu 50 menit di jalan sudah dikategorikan sebagai perjalanan yang sangat jauh apalagi harus berpindah-pindah kereta atau moda transportasi lain. Makanya dia menganggap kalau Tanjung Priok sangat jauh dari mana-mana.
Sebagai orang Jogja, teman saya terlena dengan apa-apa yang dekat. Kampus dekat, sekolah dekat, mall dekat, tempat hiburan juga dekat. Pokoknya apa-apa bisa diakses pakai motor.
Selain itu, transportasi umum di Jogja juga nggak sekompleks Jakarta. KRL cuma satu line dan Trans Jogja kurang diminati. Jadi, sebenarnya bukan salah Stasiun Tanjung Priok yang jauh, memang warga Jogja saja yang kurang siap ke mana-mana pakai transportasi umum.
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Stasiun KRL Paling Ikonik di Jakarta, Bisa Jadi Sarana Rekreasi Murah Meriah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.