Di Surabaya ada empat stasiun warisan Belanda yang masih beroperasi hingga hari ini. Keempat stasiun tersebut adalah Stasiun Pasar Turi, Stasiun Wonokromo, Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut), dan Stasiun Gubeng. Di antara keempat stasiun tersebut, Stasiun Surabaya Gubeng adalah yang paling besar, sekaligus paling banyak dikunjungi orang.
Stasiun Gubeng sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Gubeng Lama, dan Baru. Kedua stasiun tersebut memang masih dalam satu area, namun memiliki fungsi yang berbeda.
Penting untuk dicatat, Stasiun Gubeng Lama melayani rute kereta lokal, pintunya berada di sebelah barat, dekat dengan Rumah Sakit DKT dan memiliki ciri khas arsitektur bergaya kolonial dengan banyak jendela besar dan ornamen besi. Sementara Stasiun Gubeng Baru pintunya berada di timur, dekat dengan PDAM Kota Surabaya. Stasiun Gubeng Baru melayani kereta api antarprovinsi (termasuk kereta bisnis dan eksekutif), terutama kereta dari jalur selatan. Berbeda dengan Stasiun Gubeng Lama yang bangunannya bernuansa penjajah, Stasiun Gubeng Baru bangunannya lebih luas dan modern.
Bangunan B saja, pelayanan istimewa
Kalau dilihat dari bangunannya, Stasiun Gubeng Baru memang jauh dari istimewa. Arsitekturnya terlihat B aja dan nggak estetik sama sekali. Namun jika bicara pelayanan dan fasilitas di dalam stasiun, boleh dibilang stasiun ini nyaris sempurna.
Pernah suatu hari saya kebingungan mencari loker penitipan dan nggak menemukannya. Akhirnya saya mencoba menitipkan koper ke petugas stasiun, eh beneran dibantu dong, Rek. Padahal kalau ditolak pun sebenarnya nggak masalah dan saya nggak akan marah. Ha wong bukan tugas blio, kok.
Dulu, saat mesin cetak tiket otomatis baru diperkenalkan, di sebelah mesin ada petugas yang siap membantu siapa pun yang kesulitan mengoperasikan mesinnya. Semua petugas yang berjaga pun ramah. Sampai detik ini, saya nggak memiliki pengalaman buruk terkait pelayanan di Stasiun Surabaya Gubeng.
Fasilitas umum di Stasiun Gubeng memang terbaik
Di hampir semua fasilitas umum yang ada di Indonesia, kebersihan toilet sering menjadi momok utama. Akan tetapi di Stasiun Gubeng, nggak usah takut ketemu toilet yang jorok. Sebab, di sini toiletnya bersih.
Nggak cuma area toilet, hampir semua area di stasiun ini memang bersih. Di ruang tunggu, musala, hingga deretan toko oleh-olehnya bersih semua. Mohon maaf nih, stasiun besar di kota lain seperti Stasiun Tugu Yogyakarta dan Stasiun Pasar Senen pasti minder dengan kebersihan Stasiun Surabaya Gubeng.
Satu-satunya hal yang membuat saya sedih saat ke Stasiun Surabaya Gubeng adalah porternya. Beberapa waktu lalu saya duduk bersebelahan dengan seorang porter. Kami pun sedikit mengobrol.
Blio bercerita, saat stasiun ramai, misalnya saat mudik Lebaran, pendapatan para porter di stasiun bisa mencapai Rp400 ribu sehari. Namun saat sedang sepi atau hari-hari biasa, mendapatkan uang Rp100 ribu saja kadang sulit.
Menurut penuturan porter yang saya temui, penumpang kereta biasanya memberi ongkos Rp20 ribu. Namun, ada juga yang hanya memberikan uang Rp10 ribu. Duh, Rek, mbok ya jangan pelit-pelit, lho. Di Surabaya uang Rp10 ribu cuma cukup buat parkir di Royal Plaza.
Kalau saya lihat, porter di sana juga nggak memaksa, kok. Mereka nggak saling berebut sampai kasar seperti porter di pelabuhan. Sikap mereka yang sopan tersebut justru tak jarang membuat iba.
Kalau boleh menyarankan, meskipun kalian bisa membawa koper sendirian ke dalam kereta, kalau kebetulan sedang punya uang berlebih, nggak ada salahnya mencoba jasa porter. Lumayan, Rek, selain nggak bikin capek, kalian juga membantu roda perekonomian porter dan keluarganya.
Baca halaman selanjutnya