Slow living di Jogja itu amat mungkin dan jelas bisa, tapi syaratnya kamu kaya dulu. Mana ada slow living tapi miskin, nggak masuk akal itu
Coba bayangkan ini: alarm berbunyi di pukul 8 pagi. Anda terbangun bermandikan cahaya matahari yang menyelinap di antara tirai. Senyum mekar disambut balutan angin yang lembut. Anda membuat kopi, lalu menyeruputnya di teras. Sejauh mata memandang, Gunung Merapi berdiri di belakang hamparan padi menguning.
Kira-kira inilah mimpi seseorang yang ingin hidup di Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta). Memang betul, hidup di Kota Istimewa memang terdengar nyaman dan damai. Kombinasi dari daerah yang masih asri dengan kultur budaya Jawa yang teduh.
Saya tidak bisa memungkiri, kota ini memang cocok untuk slow living. Apalagi ketika dibandingkan dengan daerah pusat bisnis dan industri. Toh syaratnya gampang untuk merasakan slow living di Jogja. Kamu cukup jadi orang kaya saja.
Daftar Isi
Jogja memang selambat itu
Sebenarnya saya bingung kenapa orang bisa slow living di Jogja. Mungkin saya yang golongan Orang Dengan Gaji Jogja kelewat sibuk merasakan. Tapi setelah dipikir-pikir, masuk akal juga.
Betul, Jogja itu semrawut. Betul juga kalau Jogja (kecuali daerah pegunungan) itu panas. Tidak semua orang Jogja sekalem dan sesantai stigma di FTV dan movie series. Tapi seruwet apa pun Jogja, ia masih berjalan dengan lambat.
Jogja pinggiran adalah suburban yang menyatukan kota (menuju) besar dengan suasana pedesaan yang sejuk. Fasilitas dasar sudah merata. Kebutuhan pokok bisa diakses dengan mudah. Sederhananya, Jogja itu pedesaan yang metropolitan.
Penat dan letih pasca aktivitas bisa terbayar dengan menikmati lingkungan sekitar. Belum lagi ribuan kafe dan coffee shop, dari modern sampai retro. Belum lagi dengan ratusan pilihat tempat wisata. Dari konsep khas budaya Jawa sampai konsep tabrak lari ala “Jogja rasa Korea.”
Inilah hidup slow living. Tidak ngos-ngosan dikejar budaya kerja rodi ala area industri. Pulang kerja bisa dilanjut hangout ataupun menikmati senja di teras rumah. Tidak ada desak-desakan maupun dahi yang tegang oleh pekerjaan.
Slow living memang menyenangkan. Maka saya memaklumi jika Anda juga menginginkan hal yang sama. Tapi mimpi harus realistis. Apakah Anda siap untuk slow living dan boros living?
Slow living adalah boros living
Satu hal yang dilupakan dari mimpi slow living adalah perkara keuangan. Anda pikir slow living berarti santai secara fisik, batin, dan moneter? Jelas tidak! Untuk mendapat kenikmatan bagai liburan sepanjang hari, ada harga yang harus Anda bayar.
Tidak mungkin Anda bisa slow living di kamar kos yang mirip sarang gangster. Apalagi tanpa kamar mandi dalam dan akses internet cepat. Anda juga harus sering belanja. Dari kebutuhan mandi yang satisfying sampai makan enak. Bahkan mau masak sendiri, Anda perlu ke supermarket dengan produk impor premium.
Biaya sosial jelas harus dianggarkan. Anda perlu rutin menyesap caramel macchiato di coffee shop yang estetik. Belum lagi meladeni jadwal hangout dengan rekan sejawat. Apalagi jika circle Anda doyan dugem atau minimal karaoke. Ingat, slow living berarti harus membebaskan diri dari lelah penat pekerjaan.
Slow living di Jogja bukanlah nongkrong di angkringan yang temaram dengan lincak yang lengket. Bukan pula ngopi di warmindo sambil melihat driver ojol curhat satu sama lain. Slow living di Jogja adalah boros living. Tanpa boros, Jogja akan terlihat sesak dengan kemiskinan dan kertak gigi.
Sudah dapat kata kuncinya? Betul! Anda harus kaya untuk slow living di Jogja!
Mau hidup lambat di Jogja tapi miskin? Mikir!
Jangan mimpi slow living di Jogja dulu. Apalagi membayangkan hidup seperti selebgram yang memamerkan hidup lambat di Jogja. Coba cek slip gaji Anda. Sudah 5-6 kali dari UMR Jogja? Coba cek tabungan Anda. Sudah bisa beli Hyundai 3 tahun 2022 secara kontan? Kalau belum, tolong sedikit tahu diri.
Di balik santainya content creator itu, ada ekonomi mapan dan stabil. Di balik vlog bule sedang jogging di pinggir sawah, ada perusahaan yang memakai nama pegawai lokal untuk beli tanah. Semua yang berkilau dari slow living di Jogja adalah emas.
Kalau gaji Anda masih mepet UMR, tabungan maksimal belasan juta, dan beli motor second saja nyicil, coba mikir sedikit. Slow living bukan untuk Anda. Bahkan ketika gaji Anda sudah dua kali UMR Jogja, hidup masih penuh perjuangan dan umpatan di perempatan Concat!
Tapi jika Anda kaya dan berstatus “financial freedom,” monggo slow living di Jogja. Biarkan kami jadi roda gigi pemutar ekonomi bawah. Anda silahkan nikmati hidup yang lambat tanpa tekanan? Urusan sesak dan ketimpangan sosial biarlah jadi makanan kami.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Daerah Tidak Ramah Perantau di Jogja yang Perlu Dihindari
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.