Saya sering membayangkan hal-hal aneh di kepala. Salah satu yang paling aneh tapi cukup menarik untuk direnungi adalah ini: bagaimana jadinya kalau di Sleman nggak ada kampus besar macam UGM atau UNY?
Sebelum ada yang mengangkat alis sambil siap-siap ngetik komentar defensif, “Lho, kok iso mikir ngono? Tanpa kampus ya Sleman sepi to, Mas!” Tenang, saya nggak sedang mengajak membenci kampus. Saya cuma ingin mengajak kita semua untuk berhenti sejenak, duduk di angkringan paling pojok, menyeruput teh manis panas, dan memikirkan satu hal. Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dan paling dirugikan dengan hadirnya kampus-kampus besar itu?
Tanpa kampus, jalanan Sleman lebih sepi
Mari mulai dari yang paling terasa dulu: jalanan.
Bayangkan Jalan Kaliurang di pagi hari tanpa deru motor matic mahasiswa UGM yang telat kuliah. Atau Jalan Gejayan tanpa macet sore akibat mahasiswa UNY yang pulang praktikum sambil jajan seblak. Sleman tanpa kampus besar bisa jadi lebih landai. Jalanan nggak terlalu sesak, klakson nggak terlalu ramai, dan mungkin saya bisa gowes lebih nyaman tanpa harus nyempil di antara dua Alphard yang menyebalkan.
Tapi ya itu, bayangan itu juga membawa kekosongan. Lalu siapa yang akan memadati warung pecel lele pinggir jalan? Siapa yang akan beli cilok dan susu kedelai tiap pagi? Siapa yang akan ngisi kos-kosan di Pogung, Karangmalang, Samirono, atau Klebengan? Kalau bukan anak-anak kampus, siapa?
Ekonomi rakyat yang tersusun dari mahasiswa
Kalau kita bedah dengan jujur, struktur ekonomi mikro di Sleman, terutama di wilayah-wilayah urban seperti Depok, Ngaglik, sampai ke Gamping dan Kalasan, itu sangat bergantung pada sirkulasi ekonomi mahasiswa.
Warung makan, laundry, fotokopian, rental motor, bahkan toko-toko kelontong—semuanya punya pelanggan utama bernama mahasiswa. Dosen juga sih, tapi kalau dosen lebih pilih makan di tempat yang ada AC-nya. Mahasiswa ini yang bikin warung angkringan laku, tempat nge-print nggak pernah sepi, dan pasar tradisional tetap hidup lewat belanjaan ibu-ibu pemilik kos.
Kalau UGM dan UNY hilang dari Sleman, bisa jadi banyak lahan kos yang akan kosong. Banyak pemilik rumah yang kehilangan tambahan penghasilan. Banyak tukang sayur yang kehilangan pembeli.
Tapi bukan berarti semuanya akan mati, bukan. Ini hanya semacam redistribusi dinamika. Karena Sleman, sebelum ada kampus, toh sudah hidup dengan ritme yang lain. Dengan petani, dengan pasar desa, dengan tradisi yang lebih membumi.
Identitas lokal kian tergusur
Masalahnya, keberadaan kampus besar juga mengubah lanskap sosial dan kultural Sleman secara perlahan.
Hari ini, kampung-kampung di sekitar kampus lebih mirip asrama raksasa ketimbang hunian warga. Banyak warga lokal yang pindah ke pinggiran karena tanahnya dijual untuk dibangun kos-kosan. Anak-anak muda lokal Sleman pun sering merasa “terasing” di tanahnya sendiri. Mereka bisa jalan-jalan di trotoar Gejayan tapi merasa seperti tamu, bukan tuan rumah.
Saya nggak bilang ini salah. Saya sedih saja karena identitas sosial Sleman pelan-pelan mulai dikendalikan oleh kultur urban akademik yang datang dari luar. Bahasa Jawa ngoko halus yang dulu jadi identitas warga, kini kalah dengan sapaan “lo-gue” ala mahasiswa Jakarta yang ngekos di Pogung.
Budaya lokal yang dulunya kuat kini harus bersaing dengan gaya hidup instan, modern, dan kadang nyebelin. Apakah ini salah kampus? Tentu tidak. Tapi apakah ini bisa dihindari? Mungkin iya, kalau kita mau memikirkan kembali keseimbangan antara pendidikan dan akar budaya.
Bukan ingin kampus pergi, tapi ingin keseimbangan hidup di Sleman kembali
Tulisan ini tidak sedang mengusir kampus. UGM dan UNY jelas berjasa besar. Mereka mencetak intelektual, memberi wajah modern pada Sleman, dan menjadi pusat gravitasi pembangunan. Tapi sekali lagi, pembangunan yang tidak disertai dengan keseimbangan bisa jadi alat pendesakan bagi warga lokal.
Saya membayangkan, andai kampus tidak mendominasi ruang hidup, mungkin anak muda Sleman bisa membangun desa berbasis teknologi pertanian. Mungkin pemerintah daerah lebih fokus membangun ekosistem usaha mikro lokal ketimbang mengandalkan geliat ekonomi musiman ala mahasiswa baru.
Sleman mungkin bisa lebih membumi. Lebih landai. Bukan lebih miskin, bukan lebih sepi, tapi lebih tenang dan punya pijakan yang kuat.
Menutup dengan sedikit sunyi
Membayangkan Sleman tanpa kampus besar memang terasa sunyi. Tapi dari sunyi itulah kita bisa mendengar suara-suara yang selama ini tenggelam: suara ibu-ibu petani yang ingin sawahnya tetap jadi sawah, suara anak muda lokal yang ingin kuliah tanpa harus kalah bersaing di tanah sendiri, dan suara para pemilik warung kecil yang ingin tetap hidup bahkan tanpa ada mahasiswa.
Mereka tidak muncul di brosur kampus dan tidak masuk dalam proyeksi pembangunan Rencana Tata Ruang. Tetapi mereka adalah denyut nadi asli Sleman.
Saya menulis ini bukan untuk mengajak membenci perubahan, tapi mengajak mencintai asal. Karena kadang, terlalu cinta pada masa depan membuat kita lupa rumah sendiri.
Dan Sleman, seindah apa pun hari ini, tetap butuh keseimbangan antara kampus dan kampung. Agar kita tidak cuma pintar dari buku, tapi juga cerdas dalam menjaga akar.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sisi Gelap Gamping Sleman yang Jarang Dibicarakan Orang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
