Beberapa waktu yang Menteri Koordinator bidang PMK, Muhadjir Effend mengatakan bahwa pendidikan Indonesia kurang berorientasi industri. Sehingga dunia pendidikan di Indonesia masih kalah jauh untuk bersaing dengan negara lain. Mungkin sekilas kita akan menyetujui pendapat itu. Itu jika kita menangkap maksud Pak Muhadjir bahwa sistem pendidikan kita memang sudah berorientasi pada angka. Riset sebatas skripsi dan tesis, atau apalah maksud pak menteri itu.
Hal ini menjadikan Sisdiknas tidak relevan lagi dengan kebutuhan industri di era sekarang. Tetapi ketika melihat realitasnya, bukankah selama ini dunia pendidikan di Indonesia memang diciptakan menjadi “lahan basah” industri?
Bukankah selama ini memang pendidikan kita sudah tidak wajar lagi untuk dikatakan “mencerdaskan” kehidupan bangsa. Bukankah setiap tahunnya dari ribuan sekolah yang ada di Indonesia selalu berebut bibit unggul saja?
Dengan kata lain, hari ini lembaga pendidikan yang ada di Indonesia cenderung memproduksi manusia yang nantinya dapat diperlombakan di dunia industri pendidikan, di mana setiap harinya penuh persaingan semu. Sehingga seolah-olah pendidikan kita –dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi- sebuah “pabrik manusia” yang diciptakan menjadi robot industri di masa depan.
Kita akan dapat menyaksikan betapa tidak ada “niat baik” pendidikan kita untuk menuju pendidikan berbasis riset dan justru jauh dari cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ketika melihat kasus “oknum” pegawai perpustakaan melakukan pembuangan hasil cetak skripsi, seperti membuang sampah di Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru Riau, beberapa waktu yang lalu.
Meskipun Rektor Unilak Junaidi melalui website kampus unilak.ac.id meminta maaf secara resmi. Serta telah memecat kepala pustaka Unilak dan “oknum” perpustakaan yang melakukan aksi lempar-lempar hasil cetak skripsi melalui jendela tersebut, tetapi hal ini tidak meredakan amarah civitas akademi se-Indonesia –Unilak khususnya-. Seperti kata Tao Ming Se, kata maaf itu sudah “tidak ada gunanya lagi” karena memang telah terlanjur melukai hati semua mahasiswa.
Kejadian ini memicu hujatan hingga berujung demonstrasi di kalangan mahasiswa Unilak sendiri. Mereka menganggap bahwa Kampus Unilak tidak menghargai hasil riset Mahasiswanya yang telah susah payah dalam menghasilkan skripsi-skripsi tersebut. Jerih payah mereka ternyata hanya dibuang begitu saja bagaikan sampah yang tidak berharga.
Meski Rektor Unilak telah berdalih bahwa skripsi-skripsi tersebut merupakan skripsi lama yang telah rusak dan telah dilakukan digitalisasi, beberapa pihak tetap menyayangkan kejadian tersebut, karena tak sepantasnya hal itu terjadi.
Menjadi hal yang wajar ketika mahasiswa Unilak marah. Itu semua karena mengetahui secara persis bahwa skripsi-skripsi tersebut ternyata “dijual ke tempat tukang loak”. Wow, amajing, sungguh membuka lahan industri baru budidaya “sampah skripsi”, yang pasti bisa menjadi terobosan inovatif kedepannya. Bayangkan skripsi yang dibuat oleh mahasiswa dengan perjuangan yang tidak mudah tentunya, dibuang begitu saja, seolah-olah hal itu tidak ada artinya bagi mereka.
Mereka “oknum”—terpujilah pencipta kata oknum—pegawai perpustakaan Unilak pasti tidak pernah merasakan betapa sulitnya menulis skripsi. Mereka mungkin tidak harus menerima teror dari keluarga dan kolega yang terus-menerus menanyakan perkembangan skripsi.
Hal itu, belum termasuk menghadapi dosen pembimbing yang sulit ditemui sehingga penyelesaiannya tertunda hingga hilangnya mood. Sekalinya bertemu sang dosen, revisi yang diterimanya adalah revisi total dan harus mengulanginya dari awal lagi.
Setelah itu, mereka harus mencari data lagi di lapangan. Harus bertemu dengan responden yang sama lagi dan berusaha terus menghindar karena seperti dikejar paparazi. Ketika dapat bertemu responden, ternyata mereka tidak merespon dengan baik karena merasa illfeel.
Pasti si “oknum” pegawai perpustakaan Unilak tersebut juga tidak pernah merasakan malam-malam penuh drama. Mempersiapkan sidang ujian skripsi yang lebih mendebarkan dibandingkan sidang “pelanggaran” lalu Lintas di Pengadilan. Makan jadi tidak enak, tidur pun susah. Sampai-sampai rajin-rajin beribadah untuk mengharapkan lulus sidang dengan baik, alias tidak dibantai oleh penguj.
Belum lagi, mahasiswa-mahasiswa tersebut dihadapkan dengan dilema kertas-kertas hasil revisi yang menumpuk. Galau mau dijual atau merasa sayang dan menyimpannya di gudang sebagai saksi dan bukti perjuangan. Lha, ini para oknum perpustakaan Unilak tanpa rasa simpati dengan mudahnya ingin menjual hasil cetak aslinya. Sungguh terlalu.
Memang seseorang itu akan mati rasa ketika ia tidak pernah mengalaminya sendiri penderitaan tersebut. Mereka yang membuang skripsi dengan mengatasnamakan “apapun”, pada hakikatnya telah menghina “harga diri dan perjuangan” mahasiswa.
Dengan kata lain, mereka telah menempatkan mahasiswa dengan skripsinya hanya sebagai robot industri ciptaan pendidikan di negeri ini, yang hasil risetnya sudah usang dan patut dihina karena sudah tidak menguntungkan lagi.
BACA JUGA Belajar dari Kolor Perdamaian Gus Dur dan tulisan Mubaidi Sulaeman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.