Tujuh tahun lalu, saya pernah membangun motor custom. Bahannya, Yamaha Scorpio tahun 2003. Saya sengaja memilih konsep street fighter—mayoritas pecinta motor custom menyebutnya japstyle—karena biayanya relatif bersahabat.
Setelah sebulan menunggu, motor yang biaya perombakannya cuma menghabiskan tiga juta rupiah itu pun jadi. Meskipun kaki-kakinya masih pakai part saat sebelum dimodifikasi, masih menggunakan fork dan swing arm bawaan pabrik, bannya tapak lebar ukuran 17 inci, hasilnya lumayan gagah. Warna bodinya hitam mengilat dengan dua racing stripe putih membelah motor dari ujung spakbor depan melewati tangki sampai ke spakbor belakang. Knalpotnya pakai knalpot stainles buatan Iron N Sun, yang kalau digeber bakal ngeblarrr sampai bikin orang jantungan.
Waktu itu, di kota saya motor custom masih jarang. Alhasil setiap dibawa jalan, tunggangan saya selalu menjadi pusat perhatian kaum pria terutama anak motor. Meskipun belum seujung kukunya buatan bengkel-bengkel custom terkenal, mengendarainya merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.
Sayangnya, bagian sukanya cuma sampai di situ saja. Bagian dukanya ternyata banyak. Apa saja? Nih saya ceritakan.
Sering dikira CB
Pada suatu hari, saya memandikan motor di tempat cuci steam. Saat saya sedang duduk menunggu motor selesai dimandikan, seorang bapak-bapak menghampiri saya.
“Motornya, Mas?”
“Iya, Pak.”
“Apik, Mas. Motor CB memang joss,” ucapnya sambil mengacungkan jempol.
Jleb. Saya tahu, CB memang motor legendaris yang melekat di benak kawula tua. Tapi please, deh, Pak. Ini Scorpio. Lihat noh tulisan “FOUR” di head cylindernya. Menyamakan Scorpio dengan CB 100 adalah sebuah ketidak adilan. Secara power, Scorpio berbeda dengan CB bermesin oplosan Megapro sekalipun.
Menjelaskan sesuatu secara panjang kali lebar kepada seseorang yang tidak saya kenal bukanlah kebiasaan saya. Akhirnya saya memilih untuk manggut-manggut saja. Sialnya lagi, kejadian semacam itu bukan cuma terjadi sekali.
Tempat saya bekerja memberlakukan peraturan mengenai kendaraan pribadi: sepeda motor selain Yamaha dilarang masuk ke parkiran. Yang nekat membawa motor yang tidak sesuai peraturan, akan diberi dua opsi. Pertama, motornya akan dijemur di parkiran bus. Kedua, disuruh pulang.
Sebelum dimodifikasi, selama bertahun-tahun motor itu mengantar saya ke tempat kerja. Setelah dimodifikasi, saya tidak berencana mengubah kebiasaan itu.
Namun nahas, sekuriti gerbang bukanlah orang yang melek otomotif. Lagi-lagi motor saya dikira CB. Akibatnya saya harus mengklarifikasi dulu kalau motor saya adalah Yamaha Scorpio dengan cek nomor mesin dan nomor rangka segala.
Saya bisa membuktikan bahwa secara identitas,motor itu layak masuk. Sayangnya saya terbentur peraturan lain: tidak boleh knalpot racing dan bobokan–rupanya ini peraturan baru. Saya tetap disuruh pulang. Setelah hari itu saya memilih berangkat kerja dengan menunggangi Vega-R milik Ibu saya saja.
Sudah nggak bisa dibawa petakilan
Seperti saya bilang di paragraf pembuka, biayanya memang relatif murah. Meski begitu, tetap saja saya tidak bisa serampangan dalam menungganginya. Karena kalau sampai jatuh dan penyok-penyok, dengan track record saya dalam menungganginya tidak mulus-mulus amat, memperbaikinya lagi sangat ribet bin mahal.
Dulu, kalau jatuh dan bodinya lecet atau pecah. Tinggal ganti atau di-scotlite. Sekarang kalau penyok, harus dibawa ke tukang ketok magic dan dicat ulang. Belum lagi knalpot custom yang nggak sekuat knalpot pabrikan. Kalau dibawa nyungsep dan penyok, harus langsung ganti.
Tidak mau rugi, dengan setengah hati saya harus mengendarainya secara pelan-pelan. Paling kencang cuma 70 Km/jam saja. Lebih dari itu, bodi-bodi dan spakbor bergetar hebat. Pernah motor itu saya geber 80 Km/jam, sampai di rumah, lampu seinnya copot satu.
Belum lagi karena rangkanya dirombak, keseimbangan motor berubah. Jadi demi keselamatan, kalau ada yang ngajak balapan, saya cuma bisa pura-pura gak ngeliat saja. Pait.
Direndahkan kaum hawa
Tanpa cek harga ke aplikasi jual beli, cewek mana tahu mana yang lebih mahal antara Vixion atau Estrella. Mereka menganggap semua motor sport itu keren. Dan tampilan motor saya yang mirip motor jadul ini tentu saja tidak masuk definisi mereka perihal kekerenan.
Akhirnya saya harus menerima tatapan merendahkan dari para wanita setiap kali saya melewati mereka saat mengendarai motor custom.
Awalnya sih saya cuek-cuek saja ketika diperlakukan begitu. Namun lama kelamaan kok gerah juga. Seperti harga diri tengah dijadikan keset. Dada rasanya ngilu-ngilu gimana gitu.
Sering diasapi orang
Dulu, waktu masih berwujud Yamaha Scorpio, jarang yang berani macam-macam dengan saya di jalan. Kalaupun ada, mereka pastinya bermodalkan N250, Ninja RR, atau minimal Vixion.
Setelah menjadi mirip CB dan jalannya pelan-pelan, jangankan Vixion, sekelas Suzuki Smash saja berani mengasapi saya.
Kok gak diuber?
Gak ah, takut kalah, sakit.
Susah dijual kembali
Kira-kira empat tahun lalu, saya berniat menjual motor itu. Rencananya uang hasil penjualan akan saya belikan sepeda. Saya mengiklankan lewat media sosial dan aplikasi jual beli barang bekas. Namun setelah setahun lebih, tidak membuahkan hasil.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa motor modifikasian—kalau gak bagus-bagus amat—susah dijual kembali.
Untuk mengakali itu, biasanya para pemilik motor modifikasian akan merekondisi motor ketika mau dijual. Itu pun dengan catatan modifikasinya tidak terlalu ekstrem: cuma bongkar pasang bodi kit dan lampu saja.
Kenapa saya nggak melakukan yang mereka lakukan? Berat. Mengubah motor custom ke bentuk semula adalah proyek yang lebih rumit dari memodifikasinya. Biayanya juga lebih mahal. Apalagi kalau rangka sudah dipotong sana sini, harus beli rangka lagi. Mau untung malah buntung. Mau tidak mau saya cuma bisa bersabar menunggu pembeli.
Hingga sekarang motor itu belum laku terjual. Karena saya malas memakai, motor itu pun terbengkalai bertahun-tahun. Mesinnya mati. Ia pun teronggok seperti besi tua yang menunggu dikilo.
Sempat terbesit niat untuk menghidupkannya kembali. Lumayan, buat dibawa ngabuburit keliling komplek. Namun mengingat hal-hal yang kurang menyenangkan tadi dan untuk menghindari diri dari doyan touring lagi, memuseumkan motor itu adalah langkah yang paling tepat.
BACA JUGA Belajar Menerima Penolakan Cinta dari Naruto atau tulisan Agung Setoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.